Bruder Canisius; Ahli Budaya Tionghoa yang Namanya Diabadikan jadi Nama Sekolah Kanisius

November 17, 2022
Last Updated

Bruder Canisius van den Ven [Foto: Dokumen Bruder MTB]

Canisius lahir di Tilburg pada 27 April 1890. Pada tahun 1903, saat usia 13 tahun, Canisius menyelesaikan sekolah tingkat dasar di Kota Tilburg. Tamat SD, Canisius mencari pekerjaan. Ia kemudian diterima sebagai tukang cat. Selama empat tahun, Canisius mengenakan baju putih tukang cat.

Canisius merasa dipanggil untuk hidup religius. Pada 10 September 1907, dia masuk Kongregasi Bruder-bruder MTB di Huijbergen. Canisius lalu diterima sebagai siswa SPG di Bergen op Zoom. Dia kemudian masuk novisiat. Pada 1 Januari 1910, ia menerima profesi pertama dan ditugaskan sebagai guru SD di Bergen op Zoom. Pada 1912, Bruder Canisius memperoleh ijazah Hoofd Akte sebagai kepala sekolah. Selama tahun itu, ia beberapa bulan mengajar di Huijbergen.

Ketika usianya memasuki 22 tahun, Canisius diminta sebagai dosen di SPG kita di Bergen op Zoom. Selain bekerja sebagai dosen, dia juga belajar Bahasa Prancis. Pada 1915, Canisius memperoleh ijazah Bahasa Prancis. Selama dua tahun, sejak 1915-1917, Canisius diangkat sebagai kepala SD di Kota Hulst. Selain melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah dan kegiatan belajar mengajar, dia juga meluangkan waktu untuk membina remaja, bahkan mendirikan kesebelasan sepak bola.

Pada 1917, Bruder Canisius diangkat sebagai Dosen Kweekschool (SPG) kita St. Fransiskus yang dipindahkan dari Bergen op Zoom ke Kota Breda. Pada waktu itu, ia juga belajar di IKIP Dr. Moller di Tilburg. Canisius kemudian memeroleh Ijazah Atas Pedagogi.


Di SPG Breda, Canisius mengajarkan beragam jenis mata pelajaran, yakni pedagogi, berhitung, dan sejarah. Sementara pengetahuan yang diperolehnya saat belajar di IKIP Dr. Moller diteruskan kepada siswa-siswa secara populer. Bahkan dalam pelajaran berhitung, kata Bruder Stanislaus, koleganya, Bruder Canisius masih membahas soal-soal yang berkaitan dengan filsafat. Misalnya, cerita Bruder Stanislaus, “Apakah suatu bilangan itu?” Dalam pelajaran sejarah, Bruder Canisius membahas secara detail tentang Thomas Aquino bagi gereja emansipasi umat Katolik di Nederland Liberalism Fruin dan Blok, dan lain-lainnya.


Kuliah di IKIP di Tilburg, membuat Bruder Canisius berkesempatan mempelajari teori pendidikan modern. Apa yang dipelajarinya dibagikan kepada siswa-siswanya di SPG kita. Hal serupa dilakukannya kepada siswa yang Kursus Hoofd Akte, yang lulusannya akan diangkat sebagai kepala sekolah. Di SPG, Bruder Canisius sangat populer di kalangan muridnya. Ia memberikan pembelajaran yang berbeda dengan Direktur SPG, Bruder Eligius, yang cenderung kaku dan tidak ramah. Kendati begitu, Bruder Canisius tetap menyesuaikan diri degan garis kebijakan direktur. Walau kadang kala, ia menyimpang dari peraturan-peraturan tersebut, seperti membacakan ceritera-ceritera dari surat kabar yang mengasikan kepada siswa-siswanya. Misalnya, pertandingan sepak bola. 


Bruder Canisius juga diberi tugas mengajar Bahasa Belanda untuk tingkat satu. Ia kemudian mengenalkan siswa-siswa itu dengan penyair-penyair terkenal. Bruder Canisius meminta anak didiknya membacakan dan menghapal syair-syair. Sementara di bidang politik, dia memiliki ide-ide tersendiri. Selama perang dunia pertama, 1914-1918, ketika Eropa-Jerman melawan Eropa-Latin, banyak warga Nederland memihak Jerman. Bruder Canisius menunjukkan sikap yang berbeda. Dia sudah mengerti bahwa Eropa-Latin diancam oleh teori-teori dari kekafiran Jerman, yang sangat digdaya pada zaman Hitler berkuasa.


Bruder Clemens pernah menjadi siswa Bruder Canisius di SPG. Clemens juga ikut Kursus Hoofd Akte. Ia bercerita tentang Bruder Canisius. Bruder Canisius, cerita Bruder Clemens, mengajar sejarah. Hampir tidak ada buku yang baik untuk sekolah Katolik. Bruder Canisius menyusun buku diktat yang menarik bagi siswa.


Bruder Clemens melanjutkan ceritanya, seorang siswa dari Normaal School (Sekolah Guru) di Kota Axel, yang beragama Protestan menerima satu buku metode Bruder Canisius. Tidak lama kemudian, semua siswa di sekolah itu memiliki salinan buku karya Bruder Canisius. Buku itu dianggap lebih baik daripada semua buku sejarah waktu itu.


Ketika Clemens belajar Hoofd Akte, Bruder Canisius menjadi dosen Ilmu Pendidikan. Pelajaran-pelajaran ini disampaikan dengan cara yang menarik. Tidak terbatas pada bahan-bahan yang sudah terdapat dalam buku-buku ajar. Namun, tetap memberikan perhatian kepada apa yang sudah terbit dalam literatur kesusastraan.


“Saya beruntung diperbolehkan mengikuti pelajaran-pelajaran Bruder Canisius itu. Bahkan, setelah lulus ujian, saya ikut terus pengajarannya,” kata Bruder Clemens.


Minatnya, Clemens melanjutkan, tidak hanya terarah kepada pengetahuan. “Ia (Canisius) juga ikut memerhatikan politik, bahkan ada waktu untuk olahraga dan sepak bola. Kami sering mengajaknya agar mau mulai berceritera mengenai hal-hal itu.”


Bruder Canisius selalu menunjukkan diri sebagai orang yang berbakat dan pengetahuan besar sebagai seseorang yang pandai meneruskan pengetahuannya kepada anak didik. Kami, kata Clemens, kerap melanggar kebenaran terhadap Canisius kalau mengenangkan bakat yang besar itu. “Kami lupa bahwa ia yang seorang Bruder MTB yang sejati. Tak bisa disangkal, ia memberikan kesaksian yang murni tentang gereja dan hidup membiara di dalam banyak lingkungan yang dipengaruhinya,” kata Clemens.


Pada 1920, seperti permintaan Mgr Pasifikus Bos, Vikaris Apostolik di Kalimantan, Bruder Canisius mendaftarkan diri untuk memberikan pelayanan di Kalimantan. Kendati dia khawatir kalau kecil kemungkinan akan diutus karena masih mengajar di SPG. Namun, Bruder Canisius dipilih. Ia kemudian diutus sebagai kepala mendampingi empat bruder lainnya, yakni Br. Maternus, Br. Serafinus, Br. Longinus, dan Br. Leo.


“Alangkah sayang,” kata Inspektur Sekolah, Tuan Verbeeten, “orang yang berbakat luar biasa itu tak bisa lagi dimanfaatkan pada SPG.” Di Kalimantan, Bruder Canisius tidak menguburkan talenta-talenta yang dimilikinya.


Pada 15 Januari 1921, bersama empat kawannya, Bruder Canisius berangkat ke Kalimantan menggunakan Kapal Laut Patria dari Matskapai Rotterdamse Loyd. Ikut juga bersama kelima bruder itu, yakni Mgr. Bos, Pater Casianus, dan Bruder Sergius OFM Cap. Mereka tiba di Singkawang pada 10 Maret 1921, setelah hampir dua bulan perjalanan.


Selain mengelola yang sangat sederhana dan penuh kekuranga, tugas berat lain juga menanti, seperti membangun rumah yang pantas bagi para bruder, tempat penginapan yang baik bagi anak-anak asrama, mengusahakan pembangunan gedung sekolah baru dengan subsidi pemerintah mendapat gaji bagi para bruder-bruder, dan lain-lain.


Selama tujuh tahun berkarya di Singkawang, Bruder Canisius berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Subsidi dari Pemerintah Belanda segera diberikan. Pada 1 Januari 1923, bruderan baru sudah diresmikan. Pada 1925, sebagian asrama sudah selesai. Pada 1927, diterima izin membangun gedung baru Hollands Chinese School (HCS) dengan subsidi dari pemerintah. 


Bruder Canisius memahami bahwa pengetahuan harus menjadi salah satu dasar dari karya misi. Karena itu, bersama bruder yang lain, Canisius mempelajari bahasa-bahasa, bahasa Melayu dan bahasa Tionghoa. Mereka juga mempelajari kebudayaan dan sejarah Tionghoa. Bruder Canisius berhasil dengan baik, bahkan menjadi ahli Bahasa dan Kebudayaan Tionghoa.


Pada 1927, Bruder Canisius menyelesaikan laporan tentang Pengaturan Pengajaran Belanda di Kalimantan Barat. Laporan itu memuat pengajaran kepada anak-anak Tionghoa di Kalimantan Barat. Bersama Pater Tarcisius (bakal uskup) dan Mgr. van Valenberg, Canisius berangkat ke Batavia untuk menyerahkan serta membahas laporan tersebut dengan Direktur Onderwiis en Eredienst, semacam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Pada saat yang sama, mereka juga membahas pendirian Sint Jozef Stichting atau Yayasan St. Yosep), sebuah yayasan yang akan menerima subsidi dari pemerintah untuk asrama-asrama di Kalimantan Barat. Selama enam tahun sebagai pemimpin Bruderan, Bruder Canisius pindah ke Pontianak. Ia kemudian menetap di Pontianak hingga 1960. Di Pontianak, Bruder Canisius mengajar di Hollands Chinese School. Ia juga menjadi anggota Dewan Misi hingga berangkat ke Belanda pada 1960.


Pada 1930, Bruder Canisius bercuti ke Belanda selama satu tahun. Ia menetap di Amsterdam, dekat Kota Leiden. Di Leiden, ia seringkali mengikuti kuliah Bahasa Tionghoa. Ia berkenalan dengan Profesor Duivendak, ahli Bahasa, Kebudayaan, dan Sejarah Tionghoa. Dalam semua komunitas, Bruder Canisius diterima dengan suka untuk berceritera tentang Kalimantan Barat.


Krisis dunia, pada 1930-1940, juga terasa di Hindia Belanda. Ekonomi merosot dengan cepat. Pemerintah melakukan penghematan dengan memensiunkan banak pegawai, terutama yang sudah tua dan yang mendapat gaji tinggi. Bruder Canisius, Bruder Maternus, dan Bruder Rafael dipensiunkan pada 1935, walaupun usianya baru 45 tahun.


Bruder Canisius diberi kesempatan untuk studi bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Bruder Canisius kemudian membuka sekolah Tionghoa murni di Siantan, seberang Sungai Kapuas. Sekolah itu kemudian dinamai Hoi Sen atau Bintang Laut (sekarang disebut Sekolah Kanisius). Ia mulai sangat sederhana dalam gedung tua, sering bergaul dengan penduduk di Siantan. Penduduk umumnya misin, buruh di pabrik kayu, pabrik karet, dan kerjainan rumah seperti membuat kretek. Bruder Canisius tak hanya jadi guru. Ia juga mengunjungi orang-orang. Dengan cara itu, ia meletakkan dasar Paroki Siantan (sekarang Stella Maris), yang kemudian hari didirikan. Pada 1937, gedung sekolah yang pertama selesai dibangun.


Rentang 1937-1939, Bruder Canisius berada di Tiongkok untuk studi Bahasa, Kebudayaan, dan Sejarah Tionghoa di universitas katolik yang terkenal di Peking. Ia berhasil menyelesaikan dua judul buku pelajaran Bahasa Tiong Hua Hakka. Buku-buku itu dicetak dengan perantaraan Profesor Duivendak. Pada 1939, Bruder Canisius kembali dan mengajar lagi di sekolah Hoi Sen. Ia kemudian dibantu suster-suster untuk membantu di sekolah dan poliklinik. Para suster kemudian membuka komunitas di Siantan. Karena sudah ada susteran, maka secara teratur para pastor datang untuk membantu pelayanan iman terhadap umat di Siantan. Para relilgius ini bekerjasama dengan umat untuk persiapan membangun sebuah paroki.


Pada 8 Desember 1941, Perang Pasifik pecah. Jepang menyerang dan mengebom Pearl Harbour. Jepang juga mulai menyerang Hindia Belanda. Pada 19 Desember 1941, Pontianak dibom oleh sembilan kapal terbang Jepang. Ratusan orang diperkirakan menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Bruder Canisius, Mauritius, dan Bruno memilih tinggal di Siantan untuk menenangkan umat. Selama tiga minggu, hampir setiap hari bahaya udara. Mereka juga membantu tentara, bila ada prajurit pulang pergi dari dan ke lapangan terbang Singkawang II di Sanggau Ledo, yang dekat dengan perbatasan Sarawak, Malaysia.


Pada 29 Januari 192, tentara Jepang masuk ke Pontianak. Malam itu juga, sejumlah bruder, pastor, dan pegawai Belanda ditahan dan dikurung di rumah bruder. Bukan hanya yang di Pontianak, tetapi semua bruder, pastor, dan pegawai Belanda di pedalaman juga ikut ditahan. Jumlahnya mencapai 106 orang. Semuanya dikurung di rumah bruder yang sempit tersebut. Jepang menyuruh Bruder Canisius menyusun buku pelajaran bahasa Jepang. Bruder Bernulfus memperbanyak dengan cara menstensilkan untuk semua tawanan.


Pada 16 Juli 1942, para tawanan itu dipindahkan ke Kuching, Sarawak. Di kamp tahanan, Bruder Canisius mengajar bahasa Tionghoa kepada para pastor yang ingin belajar. Tahun-tahun terakhir di kamp tahanan, kesehatan Bruder Canisius semakin menurun. Seperti banyak tahanan lainnya, ia juga menderita busung lapar, kakinya bengkah, dan penglihatan semakin berkurang.


Pada akhir 1945, Bruder Canisius tinggal di markas besar tentara Australia di Pulau Labuan selama tiga bulan. Bruder Canisius menolak diungsikan ke Nederland ketika kesehatannya membaik. Ia memilih berangkat ke Kalimantan Barat bersama sejumlah bruder lainnya. Mereka tiba di Pontianak pada 6 Desember 1945.

Br. Canisius bersama guru-guru SD Kanisius (Hoi Sen) di Siantan ketika berpamit pulang ke Belanda pada 1960 [Foto: Dokument Bruder MTB]

Pada Januari 1946, Bruder Cansius membuka lagi Sekolah Hoi Sen. Beberapa bulan kemudian, ia mengambil cuti ke Nederland. Waktu cuti diisi Canisius berkunjung ke universitas di Kota Leiden.


“Bruder, dari kuliah saya, bruder tidak dapat belajar apa-apa lagi. Pengetahuan bruder telah jauh melampaui apa yang saya berikan dalam kuliah itu,” kata Profesor Duivendak, pada suatu hari.


Pada 1947, Bruder Canisius telah kembali ke Pontianak. Pada tahun yang sama, Tuan Meyer datang dari Batavia ke Pontianak untuk mengurus sekolah-sekolah Tionghoa. Setelah bertemu Bruder Canisius, Tuan Meyer meminta kepada Bruder Clemens, pembesar umum, yang sedang berkunjung ke Pontianak.


“Apakah Bruder Canisius bisa diangkat sebagai kepala organisasi dan sistem pendidikan anak-anak Tionghoa,” kata Tuan Meyer kepada Bruder Clemens.


Sekolah Hoi Sen berkembang pesat. Bersama Pastor Modestes, umat Katolik di Pontianak juga berkembang pesat. Pada 1965, Bruder Canisius bisa membangun gedung sekolah kedua. Pada 1958, ada berita dari Jakarta yang mewajibkan semua sekolah Tionghoa ditutup dan diganti dengan sekolah Indonesia. Berita buruk bagi Bruder Canisius. Namun, hal itu sudah diperhitungkan oleh Canisius dengan memulai pengajaran bahasa Indonesia sejak beberapa tahun sebelumnya, sebagai bahasa kedua di sekolah Hoi Sen. Canisus bahkan telah membuat metode dengan buku-buku pelajaran untuk sekolah Hoi Sen. Namun, Canisius harus menghapus nama Hoi Sen dan menggantinya dengan Bintang Laut. Kesehatan Bruder Canisius semakin menurun. Bruder Markun kemudian ditugaskan untuk membantu Canisius dalam beraktivitas.


“Selama 25 tahun, Bruder Canisius bertindak sebagai pionir di seberang Sungai Kapuas di Siantan. Pagi-pagi naik sampan kecil menyeberangi Sungai Kapuas. Sore atau malam hari kembali. Akhir-akhir ini, beliau merasa sangat lelah. Di rumah malam hari, biasanya terpaksa berbaring di atas kursi malasnya. Beliau mempunyai sahabat yang banyak. Bisa dikatakan, semua penduduk di Siantan menjadi sahabatnya,” kata Bruder Markun.


Penduduk Siantan mengagumi Bruder Canisius karena pengetahuannya tentang bahasa, kebudayaan, dan sejarah Tionghoa. Bisa disebut, bruder Canisius lebih paham Tionghoa daripada Tionghoa itu sendiri di Pontianak. Maka ketika akan berpisah pada 1960, murid-murid, guru-guru, dan penduduk Siantan, termasuk dirinya, sungguh berat.


Dewan Misi memutuskan untuk memindahkan Bruder Canisius ke Pati agar bisa beristirahat. Sesudah pelayaran yang sangat berbahaya karena angin ribut di Laut Jawa, Canisius tiba di Pati. Enam bulan kemudian, dokter menasehatinya agar kembali ke Nederland.


Pada 31 Oktober 1960, Bruder Canisius diopname di Rumah Sakit Tilburg. Dia didiagnosis menderita penyakit kanker. Pada 14 November 1960, Bruder Canisius kembali ke Huijbergen. Pada 13 Desember 1960, Bruder Canisius menerima sakramen untuk orang sakit. Pada 20 Desember 1960, tujuh hari setelah menerima sakramen perminyakan suci, Bruder Canisius berpulang dalam usia 70 tahun di Huijbergen. Selama 40 tahun hidupnya, Canisius habiskan di Kalimantan Barat untuk berkarya.


Selama 40 tahun berkarya di Kalbar, Bruder Canisius berperan dalam mengubah dan memengaruhi mentalitas orang Tionghoa. Apalagi, dia menguasai bahasa Tionghoa sehingga sangat memahami karakter mereka. Kendati dia menderita sakit, itu tak membuatnya putus asa.


Mgr. van Valenberg mengatakan, pada waktu ditahan oleh tentara Jepang di Kuching, Sarawak, keberanian dan ketenangan Canisius menjadi penopang. Keberanian ini yang selalu menemani Bruder Canisius sampai meninggal dunia.


Ketika kembali ke Nederland pada Agustus 1960, Bruder Canisius sangat kurus dan lemah karena penyakitnya. Kendati begitu, ia masih berencana bekerja lagi di daerah misi yang dicintainya. “Jika saya sekiranya tidak bisa berjalan lagi, maka saya akan coba mendorong diri dalam suatu kereta. Dengan begitu, saya tidak perlu menganggur,” kata Bruder Canisius.


Tiga bulan terakhir, keberanian Bruder Canisius tidak hilang. “Saya menerima maut,” katanya. Ia mengikuti pastor berdoa dengan suara nyaring sesudah menerima sakramen perminyakan suci. “Saya tidak pernah mengira bahwa seorang manusia dapat begitu berbahagia seperti saya sekarang,” kata Bruder Canisius kepada saudara perempuannya.


Hingga saat terakhir, Bruder Canisius mencintai dan mensyukuri konggregasi. Dalam surat-suratnya di masa lampau kepada Dewan Agung, kesetiaan kepada konggregasi selalu menjadi pedoman. Gaya bahasanya yang indah sekali mencerminkan penghormatan yang kekanak-kanakan kepada kewibawaan konggregasi.


[Sumber: Naskah disarikan dari buku ‘Mengenang para Pendahulu MTB di Indonesia 1921-2015’ yang diterbitkan oleh Bruder MTB]


Artikel Lain: Kisah Lima Bruder MTB Pertama dari Huijbergen Berkarya di Kalimantan

Selengkapnya