Calon Menantu Ibu

November 11, 2022
Last Updated


Nurul mematut diri di cermin rias. Ujung jilbab merah bata yang semula dililitkan ke bahu kanan ia buka, diubah ke bahu kiri. Disematkannya bros putih perak kecil berbentuk bunga matahari tepat di posisi dada kiri. Setelah jilbab rapi Nurul memandangi inci demi inci wajahnya yang oval, bentuk mengecil di daerah dagu. Kulit putih. Hidung mancung. Bibir merah jambu. Dahi lebar mengingatkannya pada seorang perempuan. Mirip! Perempuan itu tak lain adalah ibunya sendiri.  Ya, ibunya pun berwajah oval, dahi lebar.

Nurul menarik napas panjang teringat ibu di Ketapang. Kemarin pagi ibu video call memintanya segera pulang. Perempuan umur lima puluh tujuh itu hendak mengenalkannya dengan seorang lelaki sebagai calon suami, namanya Mahendra. Setelah berkenalan tak perlu waktu lama, sesuai kesepakatan antara ibu dan temannya,  Nurul dan Mahendra harus menikah. Selanjutnya Nurul  mengikuti suami pindah ke Pontianak. Praktis pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Dasar Tanjung Niipah selama tiga tahun harus ditinggalkan.

Nurul menyentuh bibirnya dengan jempol kanan, masih tampak pucat. Dikeluarkannya lipstik dari tas kecil. Buka mulut sedikit memoles bibir bawah dan bibir atas bergantian, mengatupkannya beberapa kali sekadar memastikan polesan lipstik telah rata menutupi bibir yang tak lagi merah jambu tetapi telah lebih cerah.

Masih terngiang di telinganya percakapan ibu selama video call tentang Mahendra anak tunggal teman sekelasnya semasa SMA, lelaki pekerja bank yang tekun, sekarang menjadi kepala unit. Ibu benar-benar tak mau tahu dengan Ray yang selama ini menjadi kekasih Nurul seorang perawat di puskesmas Tanjung Nipah.

“Kamu pulang ya, Ul. Bisa segera bertemu Mahendra, calon suamimu, calon menantu ibu yang datang langsung dari Pontianak,” ucap ibu berkali-kali, nadanya penuh harap. Nurul mengangguk-angguk saja.

Usai video call dengan ibu, Nurul menghubungi Ray untuk pamit meninggalkan Tanjung Nipah pulang ke Ketapang.

“Kenapa  harus buru-buru, Uul?” tanya Ray menyebut nama kecil Nurul sewaktu siang mereka bertemu di selasar sekolah yang sepi, pukul dua belas para siswa telah pulang ke rumah masing-masing.

“Ibu yang menyuruhku, Bang.” Nurul menebar pandang ke halaman sekolah, tanah kuning yang basah tersiram hujan semalam. Ujung jilbabnya warna cokelat tua berpadu dengan seragam kuning kheki melambai pelan terembus angin. “Mungkin aku tak pernah kembali ke sini.”

“Kalo gitu kita putus! Kenapa, Uul? Pasti ada alasannya,” desak Ray masih mengenakan stelan putih-putih kemeja lengan pendek.

“Aku ...!” suara Nurul tercekat. Hampir saja ia keceplosan bicara soal yang sebenarnya hendak pulang karena sebuah perjodohan.

“Setelah satu tahun hubungan kita baru kali ini kau menyembunyikan sesuatu dari aku. Baiklah,” Ray mengangguk-anggukan kepala, wajahnya memerah tak dapat menyembunyikan amarah. “Nanti aku pasti akan tahu sendiri kenapa kau jadi begini, tiba-tiba memutuskan pergi dari Tanjung Nipah dan meninggalkan aku.”

“Maafkan aku, Abang. Aku hanya memenuhi keinginan ibu,”

“Ibu lagi, ibu lagi!”  Suara Ray meninggi. “Kau bisa bicara apa saja, banyak alasan menolak keinginan ibu!”

Nurul menggeleng.

“Ndak bisa gitu. Bagiku ibu adalah segalanya. Andai ibu memintaku untuk melepaskan satu-satunya nyawa yang kupunya, aku rela, Bang.”

“Kapan kau berangkat ke Ketapang?”

“Pukul sebelas besok.” Maaf, aku harus pergi sekarang,” Nurul melangkah pelan di selasar berlantai papan belian hitam dipel dengan minyak solar, turun ke halaman sekolah.  Hati-hati ia berjalan di tanah kuning yang basah melekat di tapak sepatu pantofel hitam menuju parkir sepeda motor. Nurul langsung tancap gas tanpa mengenakan helmet. Tak dihiraukannya lagi suara Ray  memanggil namanya secara lengkap; “Hei, Nurul..! Aku belum selesai bicara, Nurul Apriliyana...!”

***

Nurul telah berada di steiger, di pinggiran sungai besar menunggu giliran hendak turun ke speed boat yang membawanya ilik ke Ketapang. Bahunya ditepuk seseorang dari belakang disusul suara lembut;

“Bu Guru mau ke mana?”

Nurul menoleh ke sumber suara.

“Anita? Aku mau ilik lok. Eh, Anita koq di sini? Bukannya kamu ngajar di Sukadana?” katanya menatap perempuan yang telah menepuk bahunya, teman kuliah di Fakultas Keguruan sebuah universitas negeri terkemuka di Kota Pontianak empat tahun lalu.

“Yaa, aku sengaja pulang kampung hendak mengenalkan calon suami kepada orang tua. Rencananya kami hendak menikah di bulan haji tahun ini.”

“O ya? Alhamdulillah, aku turut senang mendengar rencanamu. Mana calon suamimu?” Nurul penasaran.

“Tuh,” tunjuk Anita pada lelaki muda berkulit kuning bersih tak jauh di depan mereka sedang memindahkan travel bag dari speed boat ke steiger. “Namanya Mahendra.”

“Mahendra?” Ulang Nurul. “Kerja di bank?”

“Ya. Benar, Uul. Kamu kenal?”

“Ndak!” Nurul cepat menggeleng. “Aku hanya menebak saja.”

“Uul, udah yaa. Hati-hati di jalan,” Anita merangkul Nurul. Keduanya saling cipika-cipiki. “Salam untuk ibu,”

“Nanti kusampaikan,” ucap Nurul tersenyum melirik seorang lelaki menghampiri Anita, menatapnya sejenak lantas berlalu. Lagi-lagi ia menarik napas panjang menghadirkan wajah ibu dalam benak. Hati nuraninya jelas berkata; “Mahendra telah memiliki kekasih, Ibu. Kekasihnya itu temanku!”

***

Ibu benar-benar menunggu Nurul pulang. Jelang Asar, betapa girang ia melihat si anak bungsu dari tiga bersaudara bergegas masuk rumah setelah berucap salam di muka pintu.

“Pukul berapa dari Tanjung Nipah, Uul? Badanmu makin kurus yaa,” sapanya mengamati tubuh Nurul dari atas kepala sampai ujung kaki lalu memeluknya erat.

“Pukul sebelas lebih sedikit, Ibu,” ujar Nurul melepaskan pelukan.

“Jangan ke mana-mana lho. Bentar lagi Mahendra datang. Tadi ibunya telepon, bilang sama ibu kalo Mahendra datang dari Pontianak pake pesawat pagi langsung ke sini.”

“Tetapi, Bu..” sahut Nurul. Ia ingin bicara yang sebenarnya bahwa Mahendra itu ...

“Sudahlah kamu tenang saja. Nervous  ya ketemu sama calon menantu ibu.”

“Ah, Ibu. Ndak gituu,” Nurul tersipu.

“Terus kenapa pipinya merah jambu gitu?” goda ibu.

Nurul diam, tak kuasa lagi hendak bicara yang sebenarnya.

Ibu masih ingin bicara dengan Nurul ketika ponselnya berdering.

“Ya, Jeng. Belum. Ya, Mahendra belum datang ke sini,” suaranya bicara dengan seseorang lalu diam. “Lho koq bisa gitu, Jeng? Padahal sekarang Nurul ada di rumah baru nyampe dari Tanjung Nipah.”

Pembicaraan terputus. Ibu melangkah gontai mendekati Nurul.

“Kenapa, Bu?” Nurul heran. Wajah ibu berubah muram. Sepasang matanya berkaca-kaca.

“Kata ibunya tadi Mahendra ndak datang ke sini, Uul. Dia malah ke Tanjung Nipah mau dikenalkan perempuan sana sama orang tuanya. Bulan haji tahun ini mereka akan menikah. Ya, Allah, Ul. Gagàl lagi ibu punya menantu dari kamu.”

“Buuu...!” suara Nurul bergetar merangkul erat sang ibu. Ia telah tahu Mahendra memang bukan calon suaminya, bukan calon menantu ibu.

Rangkulan Nurul pada ibu terlepas ketika terdengar ketukan pintu disusul suara lelaki di muka rumah berucap salam:

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” sahut Nurul melangkah tergesa hendak membuka pintu. Sewaktu pintu telah terbuka tahulah ia siapa yang datang beserta belasan orang berpakaian rapi seperti hendak pergi kenduri. Di antara mereka, beberapa perempuan membawa bingkisan kotak kado, tersenyum memandang  Nurul.

“Bang Ray?!” suaranya tercekat.

“Nurul Apriliyana, izinkan aku masuk bertemu ibu untuk melamarmu jadi istriku,” Ray membuka kotak kecil warna merah berisi sebentuk cincin belah rotan. “Diam-diam aku menyusulmu dengan speedboat milik Pak Kades. Sebelum berangkat kuhubungi satu-satu keluarga di sini untuk mempersiapkan  keperluan lamaran. Selama empat jam perjalanan dari Tanjung Nipah ke Ketapang persiapan selesai, bisa dibawa ke sini,”

Nurul termangu. Ia bingung sebenarnya. Terkejut. Haru. Bahagia. Ray datang tiba-tiba. Maksud kedatangannya pun tak terduga.

“Bu. Ibuuu...!” suara perempuan dua puluh tujuh tahun itu bergetar memanggil ibu dari ambang pintu.[]

Penulis: E. Widiantoro

Artikel Lain: Perempuan yang Menunggu Hari Interview

 

 

Selengkapnya