Katekis yang Paling Dicari Jepang, PJ Denggol Dituduh Menghasut Umat Katolik (Part-6)

November 07, 2022
Last Updated

[Foto: Dokumen Keluarga]

Ketika tak seorang katekis pun mau mendukung,maka pada 25 april 1943, Denggol pergi ke Sekadau bersama dengan Pantau, kepala kampung Pakit untuk menyerahkan segala data tentang pendidikan dan karya. Demang menginterogasinya secara panjang lebar. Kadangkala seperti orang bodoh. Sehingga sekali lagi, semakin jelas bagi Denggol bahwa maksudnya ingin memperlambat pengiriman permohonannya ke Pontianak.

Demang bertanya mengenai siapa atasannya? “Atasan saya adalah Uskup dan Pastor Edmundus. Tetapi mereka sudah tidak lagi di sini. Saya berjanji untuk meneruskan karya mereka. Justru itulah saya memerlukan surat izin,” kata Denggol menjawab pertanyaan Demang.

Demang ingin tahu, berapa jumlah orang Katolik yang ada di daerah Mualang. Denggol mengakui, terdapat sepuluh orang, yakni  keluarganya, keluarga Buan, dan keluarga Lebong. Denggol tidak menyebutkan berapa anak yang sudah dibaptis. Ia tidak ingin menyulitkan orang tua anak-anak tersebut. Ia juga tidak memberitahukan bahwa dirinya sudah mempermandikan orang-orang yang lanjut usia, yang minta dipermandikan sebelum meninggal dunia. Namun, Denggol mengakui cukup banyak orang yang ingin masuk agama Katolik. Saat ini, mereka sedang mempersiapkan diri, tetapi harus menunggu hingga para misionaris datang kembali.

Demang memandang rendah ketiga keluarga yang sudah menjadi Katolik. “Apakah kamu benar-benar mengharapkan misionaris datang kembali?” tanya Demang kepada Denggol.

“Sesudah perang pasti akan datang lagi misionaris. Tetapi saya tidak tahu dari mana? Saya sudah berjanji pada diri saya untuk sementara waktu bertindak sebagai pemimpin agama,” jawab Denggol.

Tetapi tidak diberikan izin kepadamu untuk mengajarkan agama,” kata Demang,Kalau tidak ada izin, maka engkau harus berhenti dengan pekerjaan itu.

Sudah empat bulan yang lalu, Denggol mohon izin kerja, tetapi belum mendapat jawaban. Sekarang sudah jelas bahwa permohonan Denggol belum diteruskan ke Pontianak. Ia tidak menyatakan kemarahan, tetapi menyinggung bahwa keterlambatan itu tentu disebabkan oleh satu dan lain hal. Demang menekankan kesibukkan  di kantornya, sekaligus menekankan ketelitian yang sangat diperlukan dalam setiap urusan penting. Demang mengulang lagi bahwa tanpa izin resmi, tidak boleh melaksanakan tugas sebagai guru agama. Demang berbicara dengan nada tinggi, sehingga Denggol mengerti bahwa akan terjadi bahaya kalau masih meneruskan kerja.

Demang kemudian mulai berbicara tentang harta benda gereja yang dipakai.Segala milik orang–orang yang sudah diinternir, haruslah disimpan dan dilindungi oleh pemerintah,” katanya.

Tetapi banyak barang yang sudah dicuri dan dibawa lari. Apakah kamu masih memiliki barang, Misi?” tanya Demang.

“Rumah pastor dan gedung gereja di Sanggau sudah disegel. Di dalamnya ada semua barang pribadi pastor. Barang yang kami gunakan bukanlah milik pastor, tetapi milik umat Katolik. Kami memakainya dengan izin dari Misi,” kata Denggol.

Demang menganggap hal itu sebagai perbedaan yang sulit  dimengerti. Menurut Demang, segala barang Misi haruslah diserahkan. Kali ini, Demang tidak lagi menuduh Denggol salah dalam hal ini.

Selanjutnya, Demang mulai dengan pokok yang ketiga. Ia sudah menerima surat berisi tuduhan bahwa Denggol telah menghasut semua orang di Janang Ran dan Pakit agar mereka tidak membayar pajak. Ia tidak menyebut nama penulis surat itu. Denggol mengatakan, tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Kepala Kampung Pakit, Pantau menambahkan, sebaliknya Denggol mengajak semua orang untuk melunasi pajak, asalkan pajak itu adil.

Tuduhan di sini ada. Karena itu harus dilakukan pemeriksaan,” kata Demang.

Tetapi, ia tidak menyinggung hal itu lagi. Pertemuan di kantor  agak obyektif dan berjalan ramah. Denggol membuat laporan dengan sangat teliti. Demang telah tiga kali menuduh mereka dan dengan ancaman tindakan dari pemerintah, kalau mereka tidak bertindak dengan sangat hati-hati.

Mendesak Tanda Bukti Pajak

Berikut ini penuturan Buan mengenai usahanya setelah mendesak pejabat pemerintah, baru diperoleh bukti bahwa pajak gedung gereja sudah dibayar.Pertengahan tahun 1943, saya pindah ke Pakit. Sampai waktu itu, saya sudah membantu Denggol  dalam tugasnya. Ketika itu, saya terlalu sibuk. Saya menggantikannya. Jadi, saya bertindak sebagai katekis pembantu. Saya mengambil alih karyanya di Pakit, sehingga kami masing-masing mempunyai distrik sendiri. Walaupun tidak diakui oleh pemerintah atau Gereja,” kata Buan.

Pada 2 Agustus 1943, Kepala Kampung Pakit menerima suatu ketetapan pajak untuk gedung gereja,yang belum selesai dibangun tetapi tidak dipakai oleh umat. Tahun lalu, dipaksa membayar denda karena telah menebang pohon–pohon tanpa izin resmi. Sekarang dijadikan pajak tahunan, yang dinaikkan sampai Rp15.Saya sangsi, Apakah uang itu masuk ke kas negara? Setelah berunding dengan Denggol, saya pergi ke Sekadau untuk mencari informasi,” kata Kepala Kampung Pakit.

Demang tidak terbuka dalam hal itu. Demang menjelaskan dengan kata-kata yang tidak jelas. Ketika didesak, ia mengaku terlalu sibuk untuk perhatian kepada hal-hal kecil seperti itu. Ia mendukung semua bawahan di kantornya. Ia tidak mau membahayakan segala praktik yang dilakukannya sendiri.

Mereka harus berunding cukup lama di Kantor kehutanan, tetapi hasilnya menyatakan ketetapan pajak hanya dikurangi sampai Rp10 saja. Setelah mengumpulkan uang dan pergi membayar pajak, petugas di Kantor Kehutanan tidak bersedia memberikan tanda bukti pembayaran. “Saya menuntutnya dan tidak bersedia membayar pajak, kalau tidak diberi tanda bukti resmi. Yakni bukti pembayaran pajak yang ditanda tangani langsung oleh Kepala Kantor Kehutanan. Baru kemudian, tuntutan saya diindahkan. Surat tanda bukti itu saya simpan baik-baik,katanya.

Dianggap Makar

Tuduhan makar menjadi salah satu trik bagi penguasa untuk membungkam atau menghabisi siapa saja yang dianggap sebagai ancaman. Tuduhan itu ditimpakan pada Petrus Denggol untuk menghentikan langkahnya memelihara dan menyebarkan iman Katolik di antara suku Mualang.

Begini kisah lengkapnya:

Sejak beberapa waktu, setiap pertemuan yang terdiri atas lebih dari tiga orang sudah dilarang. Dari waktu ke waktu, kami mendengar mengenai pemberontakan dan sabotase, yang kemudian disusul dengan kekerasan. Orang-orang Jepang mulai takut. Kami di pedalaman tidak menghiraukan aturan–aturan seperti itu.

Orang Jepang tidak berani datang melalui jalan tikus daerah kami. Mereka khawatir akan semua orang Dayak yang mungkin berdiri di balik pohon-pohon dengan sumpitnya, suatu tindakan yang bisa membunuh mereka diam-diam. Setiap malam, seluruh kampung duduk seperti dulu. Kami bercakap-cakap tentang perang, tentang zaman yang serbasulit, dan kapan perang berakhir? Tidak seorangpun memikirkan komplotan atau pemberontakan melawan musuh yang terlalu besar dan kuat bagi kami. Pada hari Minggu, kami berkumpul di gereja dan berdoa agar diberikan rahmat.

Orang Melayu sama sekali lain. Dari dulu, mereka sudah aktif dalam politik. Sampai kini mereka masih sibuk akan hal itu. Mereka bermimpi juga mengenai suatu zaman di mana sultan akan mempunyai kuasa yang tidak terbatas. Beberapa di antara mereka mencoba menghayati cita-cita itu dengan aksi bawah tanah, dan dengan komplotan melawan Jepang. Dari lingkungan mereka, banyak sudah yang ditangkap dan dibunuh. Ada juga yang mengabdi kepada penguasa Jepang, dengan harapan dapat mengambil alih kekuasaan setelah perang selesai. Tidak seorangpun menghendaki agar Belanda kembali, karena Belanda selalu mengurangi pengaruh mereka; sedangkan kebanyakan orang Dayak mengharapkan kuasa pemerintah dari dulu. Penguasa selalu melindungi kaum Dayak terhadap China dan juga terhadap kesewenang-wenangan orang Melayu.

Kami tidak didatangi oleh orang-orang Jepang, tetapi oleh orang-orang Melayu. Mereka memancing-mancing orang-orang kami, menakut-nakuti mereka dengan tuduhan-tuduhan, memberitahu kepada atasan mengenai apa yang mereka curigai serta mencoba memperoleh  tambahan untuk gaji yang tidak cukup. Kulek dan Delan adalah dua mata-mata yang sering mengunjungi daerah kami. Mereka sangat antiagama selalu mengamat-amati saya dengan seksama. Katolik dan Belanda sama saja, kata mereka.

Belanda tidak ada lagi. Karena itu, agama mereka juga harus diusir juga. Setiap penganut agama Kristen, membuktikan bahwa ia memihak musuh negara. Mengapa Gereja Janang Ran masih terus dipakai? Barangsiapa ke gereja, ia bersalah karena ada aturan mengenai pertemuan.

Mengapa katekis masih mengelilingi daerah? Mengapa ia mengorganisasikan pertemuan-pertemuan yang lebih dari tiga orang? Mengapa masih ada barang-barang Belanda yang tidak diserahkan kepada pemerintah? Benarkah bahwa di Janang Ran disembunyikan seorang pastor?

Mula–mula, saya tidak menghiraukan semua omongan fitnah itu. Tetapi, umat sendiri menjadi takut, walaupun saya berusaha meyakinkan mereka agar jangan membiarkan diri ditakut-takuti sesuatu apapun. Saya menjamin, saya yang menanggung semua risikonya. Mereka tidak perlu khawatir. Saya merasa, mereka  sudah tidak suka lagi melihat saya waktu saya datang mengajar agama. Kalau demikian, saya tidak boleh bekerja lagi. Saya tidak boleh membawa bahaya bagi umat dan bagi diri sendiri. Saya memutuskan, agar menghentikan saja karya saya dan menutup gereja.

Menjelang Natal tahun 1943, saya mengumumkan bahwa semua pertemuan doa ditiadakan. Saya mengajak semua orang berdoa di keluarga masing-masing saja. Sekurang-kurangnya sekali sehari hendaknya mereka mengucapkan doa Salam Maria dengan seruan pendek ini,Maria, Ratu Perdamaian, doakanlah kami!”

Saya beritahukan juga bahwa saya selekas mungkin akan pergi ke Pontianak untuk secara pribadi mengurus izin kerjaku. Secara spontan, umat mengumpulkan Rp37 untuk biaya perjalanan saya. Tetapi rupanya tidak ada kesempatan lagi untuk berangkat ke arah pantai, sebab segala kendaraan bukan militer telah dilumpuhkan.

Penulis: Paulus Lukas Denggol

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: PJ Denggol; Katekis yang Diburu Kempetai Jepang (Part-5)

Selengkapnya