[Foto: Ilustrasi] |
Tulisan ini murni pengalaman Penulis yang lama tinggal di Pulau Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat. Saya mulai merantau ke Kalimantan sejak 2004, setahun setelah diwisuda.
Mula pertama saya tinggal dan kerja di Samarinda kemudian pindah ke Kembaru dekat dengan Danau Isuy di Kabupaten Kutai Barat yang notabene berpenduduk mayoritas suku Dayak dari sub suku Tunjung Benuaq.
Setelah sempat balik ke Jawa dan berkeliling ke Sumatera dan Sulawesi, tahun 2013 kembali lagi ke Kalimantan Timur untuk kerja di wilayah Sangatta. Setahun kemudian dimutasi ke Sintang Kalimantan Barat sampai saat ini.
***
Suku bangsa Dayak sudah terlatih melawan labeling serba-minor, mempertahankan kehormatan, tanah ulayat, budaya dan adat, eksistensi klan tanpa kekerasan. Kecuali "keterlaluan", lewat tariu dan mangkok merah. Jangan sampai mereka "keluar dari tawak", lompat dari dunia nyata ke dunia babae.
Lalu apa itu Tariu?
Tariu
berarti berteriak keras dengan nada yang panjang dengan cara seperti
Huuuu...huuuuuu...
Tariu tidak dilakukan sembarangan yaitu dengan melakukan ritual adat tariu. Pada zaman dahulu adat tariu dilakukan dalam rangka pengayauan (Headhunting) berperang mencari kepala musuh untuk upacara notokng.
Adat tariu dilakukan oleh seorang Panglima Dayak sebagai persiapan dalam memulai peperangan. Panglima akan membacakan mantera-mantera memanggil roh-roh leluhur untuk meminta pertolongan dan kesaktian.
Kemudian
apa itu Babae?
Babae adalah keyakinan suku Dayak jika Tetua-tetua adat meninggal , maka akan bertansformasi menjadi Burung Enggang. Roh dan kesaktiannya siap dipanggil dengan upacara adat, jika suku Dayak mengalami musibah.
Dan kini, restu dari para Babae, leluhur telah diminta. Gara-gara ocehan nggak mutu orang itu yg sekarang sedang viral
***
Ya, di Tanah Kalimantan (Borneo Land), merekalah yang paling disegani dan dihormati.
Sakti, jumawa, kharismatik, mistiknya yang masih kuat, membuat salah satu suku tertua di Indonesia ini juga begitu ditakuti.
Satu hal lagi yang membuat Dayak makin disegani.
Apakah itu?
Adalah tentang eksistensi sosok penting mereka yang sering disebut sebagai Panglima Burung.
Sosok
satu ini begitu dipuja dan dihormati oleh orang Dayak.
Ia adalah pahlawan yang akan membantu orang-orang Dayak menyelesaikan masalah pelik yang berat.
Dan tahukah Kamu?
Panglima Burung/Pangkalima seorang tokoh legendaris yang dipercayai sebagai pelindung dan pemersatu suku Dayak.
Panglima Burung digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat serta karakter sebagai "Orang Dayak Sejati", yaitu cinta damai, mengalah, suka menolong, pemalu, sederhana, tapi akan berubah kejam dan gagah berani ketika posisi terancam.
Biasanya masyarakat Dayak melakukan ritual Tari Perang khusus untuk memanggil nya, hingga melakukan ritual "Mandau Terbang".
Ritual
dimulai dengan menyiapkan mangkuk merah, yang merupakan sebuah tradisi dalam
adat Dayak yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama rumpun Dayak
serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang.
Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.
Perlengkapan
untuk ritual:
- Panglima adat perlu mempersiapkan sejumlah perangkat dalam upacara memanggil roh atau dewa.
- Mangkuk dari teras bambu atau tanah liat yang berbentuk bundar, sebagai wadah untuk meletakkan peralatan yang lain.
- Dasar mangkuk diolesi getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian pertumpahan darah. Jaranang adalah sejenis pisang dengan kulit berwarna merah namun isinya seperti pisang biasa.
- Perlengkapan lain nantinya dikemas dalam mangkuk kemudian dibungkus kain merah.
- Bulu atau sayap ayam yang mengandung pengertian cepat, segera, kilat seperti terbang.
- Daun rumbia mengandung pengertian bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh hujan karena sudah dipayungi.
- Longkot api (bara api kayu bakar yang sudah dipakai untuk memasak di dapur) yang mempunyai pengertian bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh petang (gelap) malam hari karena sudah disediakan penerangan.
- Tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
- Umbi jerangau merah yang melambangkan keberanian.
- Mandau.
Panglima Adat membawa mangkuk merah ke panyugu (tempat suci yang dianggap keramat) pada saat matahari terbenam.
Di sana, ia meminta petunjuk dewa.
Diyakini bahwa roh suci akan menjawab melalui tanda-tanda alam yang kemudian diterjemahkan oleh panglima apakah mangkuk merah sudah saatnya diedarkan atau belum.
Jika dianggap layak, tubuh panglima akan dirasuki oleh roh dewa dan pulang ke desanya dengan meneriakan kata-kata magis, kemudian beberapa orang diutus untuk membawa mangkok merah ke desa lain untuk menyampaikan berita yg telah diberi arahan mengenai maksud dan tujuan kepada ahli waris di desa tersebut, konon mereka yang terpilih membawa mangkok merah tidak boleh menginap atau singgah terlalu lama meski hujan lebat bahkan hari menjelang petang mereka harus meneruskan perjalanannya.
Upacara mengedarkan mangkuk merah berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh.
Jika diperlukan untuk hal-hal bersifat pertahanan dan perlawanan kepada musuh, barulah Mandau Terbang "dimainkan"...
Mengagumkan bukan?
Penulis:
Didien Khoerudin
Artikel Lain: Benarkah Ada Perang Perbudakan di Tanah Dayak?