PJ Denggol; Katekis yang Diburu Kempetai Jepang (Part-4)

November 03, 2022
Last Updated

[Foto: Koleksi Pribadi]


Dalam buku Sejarah Pertobatan Suku Mualang Kalimantan Barat yang ditulis oleh Pastor Gentilis van Loon, OFMCap. Pastor Gentilis menceritakan tentang kedatangan misi di antara suku Mualang. Masa awal itu disebut sebagai masa pionir. Banyak tantangan bagi misionaris pertama waktu itu. Pada buku itu juga ditulis penuturan Pastor Wilbertus de Wit, yang mengisahkan masa pemerintahan Jepang dan pengalamannya dengan katekis Petrus Josef Denggol.

Pada tahun 1940, saya tinggal di pastoran Sintang bersama Pastor Justianus Goosens. Pastor Justianus berumur 60 tahun lebih. Pada tahun 1917, bersama dua murid sekolah, dia berangkat  dari Laham ke Pontianak. Dalam tempo dua bulan, dia menempuh  jarak dua kota itu, sekitar 1000 Km. Ia berjalan kaki, bila tidak menggunakan perahu. Inilah perjalanan melintasi Borneo. Perjalanan yang paling membosankannya adalah waktu melewati pegunungan pemisah antara Kalimantan Timur dengan Kalimantan Barat,” kata Pastor Wilbertus de Wit.

Selama empat hari, ia tidak berjumpa dengan siapapun. Pertama kali berkarya, penulis mengambil beberapa kutipan dari buku di atas yang menceritakan jejak langkah PJ Denggol sebagai katekis pada masa perang dunia kedua dan awal kemerdekaaan, hambatan, dan rintangan sebagai katekis pada masa itu. Katekis adalah  pembantu, sekaligus rekan pastoral pastor. Terutama katekis setempat, perannya sangat sentral di dalam menyiapkan jalan bagi karya-karya pastoral.

Petrus Denggol adalah seorang muda dari daerah Ketapang. Ia belajar di Seminari Menengah di Pontianak selama lima tahun. Jadi, ia sudah dikenal baik oleh Bapa Uskup maupun oleh pastor di situ. Ia terkenal sebagai orang yang rajin dan mahir, kata Pastor Wilbertus de Wit tentang katekis bernama PJ Denggol.

Pastor Wilbertus juga mengisahkan, “Pastor Edmundus Gijsbers punya kesan yang mendalam tentang orang Mualang. Di matanya, banyak sisi positif orang Mualang, terutama dalam kesediaan dan kesiapan mereka menerima Kabar Gembira. Itulah sebabnya, ia lalu memohon kepada bapa Uskup untuk mengangkat seorang katekis bagi daerah Mualang. Pada September 1940, ia mengunjungi Janang Ran.

Tahun 1940, pesawat Jepang hampir setiap hari mengebom wilayah Kalimantan Barat. Hal itu menimbulkan banyak kerugian material dan korban manusia. Pada 1941, tentara Dai Nippon mendarat di pantai utara Kalimantan Barat, yaitu Pemangkat, Sambas, dan Pontianak. Bersamaan dengan kedatangan Jepang, Petrus Joseph Denggol memulai karir sebagai Goeroe Agama Katolik. Hal itu seperti tertulis:

Berdasarkan salinan Surat Apostolisch Vicariat van Pontianak yang ditandatangani HJ van Valenberg, tanggal 15 Juni 1939 menetapkan terhitung tanggal 1 Juli 1939 menetapkan Petrus  Denggol diangkat menjadi goeroe agama di Sanggau. Dari Besluit van den Inspectur van het onderijs in het 7 de ressort te Banjarmasin Van 21 Februari 1941 No. 113/22/w, tertulis nama Petrus Denggol anak dari Sali dan Ibu Satar terlahir pada tahun  1915 di Tandjoeng Beringin.

Setelah mendapat tugas dari Keuskupan Agung Pontianak, PJ Denggol bertugas pertama kali di Sanggau. Dalam bukunya Pastor De witt menuliskan, “Pada bulan Agustus 1941, Pak Denggol dan istrinya sampai di Sanggau. Sesudah beberapa minggu, saya mengantar mereka ke Janang Ran. Perabot rumah yang mereka bawa ditinggalkan di Sanggau. Saya melantik Denggol sebagai katekis. Kemudian saya mengunjungi bagian timur daerah Mualang. Suasana dan harapan di sana baik.

Sebelum berangkat ke Janang Ran, PJ Denggol mengajar agama di kampung Nyandang. Dia tinggal di pastoran Sanggau, dekat dengan aliran Sungai Liku. Rumah ini oleh masyarakat pada waktu itu disebut Rumah Hitamkarena catnya berwarna hitam. Rumah hitam ini juga merangkap asrama untuk anak-anak dari sekitar Sanggau yang bersekolah di Sanggau. Rumah merangkap asrama ini terletak di depan Gereja Katedral Sanggau. Jarak kampung Nyandang dengan Sanggau sejauh 3-4 Km ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak.

Sebelum ditangkap tentara Jepang, Pastor Edmundus sempat membaptis beberapa orang tokoh masyarakat Mualang. Mereka menjadi buah pertama dari pertobatan. Pada tanggal 8 Desember  1941, negeri Belanda memaklumkan perang kepada Jepang. Akhir  tahun 1942, tentara Nippon mendarat di pantai barat Kalimantan. Banyak sekali pengungsi, baik orang sipil maupun militer telah lari ke Sanggau dengan harapan akan hidup aman di Kapuas Hulu.(hal 28).Saya bergegas pergi ke Suku Mualang untuk menguatkan mereka dalam masa sulit nanti. Mereka baru beberapa bulan menjadi katekumen, tetapi saya telah menaruh kepercayaan besar kepada Pak Denggol, karena ia dibantu oleh sekelompok orang yang sangat setia,” tulis Pastor Wibertus de Wit dalam catatannya.

Tahun 1942, tentara pendudukan Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Setelah mereka menyapu wilayah Asia Pasifik untuk memudahkan pengawasan daerah pendudukannya, Jepang membagi Indonesia menjadi tiga bagian yaitu: Sumatera di bawah kekuasaan komandan pasukan angkatan darat yang berkedudukan di Bukittinggi. Jawa di bawah kekuasaan komandan pasukan darat dan berkedudukan di Jakarta. Kepulauan lainnya berada di bawah kekuasaan komandan pasukan laut yang berkedudukan di Makassar. Kalimantan Barat menjadi daerah di bawah kekuasaan pasukan laut Dai Nippon (Jepang), yang berpusat di Makassar. Kalimantan Barat pada waktu itu masih berberstatus karisidenan (Syuu, Jp).

Menurut Pastor Edmundus, pada waktu itu di Sungai Kapuas, kapal-kapal Jepang hilir mudik. Selama beberapa hari, terlihat kepulan asap, sebab pasar Sintang terbakar. Di Sanggau, berjubel serdadu-serdadu Jepang. Di Janang Ran akan diadakan pembatisan, seperti yang ditulis Pastor Edmundus.

Buan dan Lebong begitu penuh semangat kristiani karena usaha sendiri, sehingga saya merasa bertanggung jawab untuk membaptis keluarganya. Saya memberikan nama baptis Petrus dan Paulus. Petrus untuk Buan dan Paulus untuk Lebong. Petrus Buan dan Paulus Lebong merupakan dua tiang penyangga, yang akan menopang gereja Mualang yang muda,” tulis Pastor Edmundus.

Pembaptisan dilaksanakan pada 19 Februari 1942 dalam kapel Janang Ran. Setelah membaptis Petrus  Congradus Buan dan Paulus Lebong, pada 24 Maret, Pastor Edmundus pulang ke Sanggau. Para pastor sudah tidak diperboleh lagi meninggalkan halaman pastoran.Pada 14 Juni, kami diangkut ke Pontianak. Kemudian bersama-sama dengan warganegara Belanda, para pastor dipaksa untuk naik kapal ke arah Kuching,” tulis Pastor Edmundus.

Bertugas di Janang Ran

Setelah dua tahun menjadi guru agama di Kampung Nyandang, Sanggau, PJ Denggol memulai tugas perdana sebagai guru agama Katolik pada suku Dayak Mualang. Banyak tantangan dan hambatan yang menimpa dalam hidup, di antara suku yang tidak dikenal  kebiasaan dan adat istiadatnya. 

Tantangan paling berat dari pihak pemerintah Jepang yang berkuasa. Kehidupan begitu sulit akibat perang dunia kedua. Negeri Belanda terlibat perang dengan Dai Nippon. Kendati Pastor Edmundus sudah ke Sanggau, Denggol tetap melanjutkan tugasnya berkat dukungan gereja dan masyarakat Mualang untuk mengajar Agama Katolik.

Inilah kegundahan hatinya seperti yang dalam surat dan kisah yang disampaikan kepada Pastor Wilbertus de Wit.Setelah Bapa Uskup dan pastor ditangkap oleh tentara Jepang, saya tidak memperoleh gaji lagi. Saya mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain sehingga ada nafkah untuk menghidupi keluarga saya. Akan tetapi dengan perantaraan Buan, seluruh kampung  berjanji akan memberikan nafkah bagi saya dan keluarga, asalkan saya masih bersedia meneruskan pekerjaan sebagai katekis. Boleh  dikatakan, uang hampir tidak ada. Namun mereka akan memberikan semua yang diperlukan untuk hidup. Usul mereka itu sangat mengharukan saya. Sebab nyata sekali bahwa kehadiran dan karya saya, mereka hargai.    

Mendirikan Sekolah di Kampung Pakit.

Sebagai katekis PJ Denggol memberikan memberi pengajaran agama, terutama kepada orang dewasa di Kampung Janang Ran dan Pakit. Ia juga menjelajahi kampung lain dengan menembus jalan setapak atau naik perahu untuk memberikan pengajaran. Orang dewasa dan anak-anak mendengarkan pengajaran yang dilakukan di serambi rumah. Pengajaran ini berkembang dan menjadi kebutuhan masyarakat. Usaha ini mengalami hambatan dan tantangan yang tidak sedikit dari pemerintahan Jepang. Intimidasi pembunuhan dihadapi PJ Denggol dalam menyebarkan agama Katolik di daerah Mualang.

Pada 15 Mei 1942, kepala kampung Janang Ran menerima surat dari kantor Panembahan Sekadau mengenai aturan Pemerintah Pontianak. Surat itu ditujukan kepada semua tempat dan resor. Isi surat  menyatakan bahwa diperlukan izin dari Departemen Pendidikan dan Agama di Pontianak untuk mengajar agama. Hendaknya izin itu diminta sesegera mungkin. Surat diawali dengan kata-kata begini, “Sekolah agama dalam Propinsi Kalimantan Barat, baik Islam maupun Kristen Protestan atau Katolik, juga sekolah partikulir, boleh dibuka setelah mendapat izin dari Departemen Pendidikan  dan Agama di Pontianak. 

Bagian kedua dari aturan baru itu menyebutkan segala data yang harus dikirimkan bersama dengan surat permohonan:

  1. Daftar semua buku  yang telah/akan digunakan di sekolah
  2. Nama semua tenaga pengajar
  3. Jumlah murid dalam tiap-tiap kelas menurut kelaminnya
  4. Jadwal pelajaran

Surat ini membuat kebingungan pengajar agama dan masyarakat Mualang, karena kondisi waktu itu dalam keadaan perang. Uskup dan Pastor sudah tidak ada di tempat. Mereka sedang dalam pengungsian akibat perang yang sedang terjadi antara sekutu dan Jepang. Para pengajar kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dibuat. Sebab, mereka tidak mempunyai sekolah dengan gedung yang permanen, tidak ada jadwal, tidak ada buku buku pelajaran.

Gedung gereja di Janang Ran lebih merupakan tempat sembahyang daripada sebuah gedung sekolah. Demikian juga fungsi kapel di Pakit. Orang dewasa dan anak-anak mendengarkan pengajaran di serambi rumah. Pertemuan seperti ini bisa disebut sebagai acara agama, tetapi haruskah dianggap sebagai sekolah agama? Haruskah para pendengar dicatat sebagai murid-murid? Apakah mereka yang sudah dewasa dapat disebut sebagai murid? Bagaimana dengan mereka yang hanya hadir karena ingin tahu saja dan tidak mau dianggap katekumen?

Mereka tidak memiliki solusi. Mereka kemudian bermusyawarah dengan semua pihak agar terhindar dari larangan pengajaran agama seperti yang dikehendaki penguasa. Baru sebulan kemudian, saya selesai menyusun suatu teks yang dapat disetujui semua orang. Surat tersebut dibuat pada tanggal 29 Desember 1942,” kata Denggol.

Teks yang dikirimkan berbunyi:

Yang bertanda tangan di bawah ini, hambamu yang rendah, serorang Indonesia Dayak berasal dari kampung Serengkah, Kerajaan Matan ketapang, sekarang berdiam di Janang Ran, Kerajaan Sekadau, bernama Petrus Josef Denggol. Menerangkan bersama ini dengan rendah hati bahwa di bawah Pemerintah Belanda dulu hambamu memangku jabatan sebagi guru agama Roma Katolik (SK. Onderwijs en Eredienst,tanggal 8 Juli 1939 No. 18890/F dan SK Uskup  Pontianak tanggal 22 0ktober 1941 No. AG/23-b), yang menetapkan hamba sebagai gru agama bagi mereka yang mau belajar agama Katolik di daerah pedalaman Sekadau sampai Belitang. Mohon dengan hormat izin, agar dapat melaksanakan jabatan dengan berjanji akan setia dan mentaati peraturan dan persyaratan dari Departemen Onderwijs en Erediens di Pontianak dengan patuh. 

Memberitahu dengan hormat, bahwa oleh murid-murid agama Katolik di daerah ini telah dibangun 2 (dua) buah rumah sembahyang; sebuah di Janang Ran ukuran 4x3 depa, dengan bahan ramuan kasar tidak diketam. Tiang-tiang dari kayu belian bulat yang tidak licin ditarah atau digergaji. Dinding lantai dari papan kasar dan atap ditutup dengan sirap kayu lempung temau. Bangunan ini sudah selesai, siap dipakai sebagai ruangan sembahyang dan lokal sekolah di masa Pemerintah Belanda dulu. Rumah ini didirikan dari 2 September sampai 9 Oktober.

Awal intimidasi Surat Panembahan Sekadau yang melarang  mengadakan pengajaran agama inilah yang kemudian memacu untuk  bersama masyarakat mulai memikirkan dan mengusahakan untuk mendirikan sekolah dan gereja serta mengirimkan anak-anak Mualang untuk bersekolah ke Nyarumkop.

Sekolah Pakit diberi nama Lamur Pagi, yang berarti Cahaya Pagi Bersinar. Sekolah ini berkembang. Selanjutnya dikelola oleh Yayasan Perum kemudian diserahkan kepada Yayasan Karya yang berpusat di Keuskupan Sanggau. Sekolah Rakyat di Kampung Pakit oleh Prefek Sekadau, dipindahkan Ke Sungai Ayak, ibu kota kecamatan, menjadi pastoran dan pusat pendidikan di daerah Mualang. Rintisan perjuangan di daerah Mualang membuahkan hasil. Pada 1986, didirikan SMA Santa Maria Sui. Ayak oleh anak PJ Denggol nomor tujuh, Drs Maria Yosef Fransiskus Xaverius Denggol, yang bertugas di Sui Ayak bersama pastor di tempat itu. Ia juga diangkat menjadi kepala sekolah yang pertama.

Sedangkan sekolah di Kampung Nyandang, kampung tua sebagai pusat pendidikan misi dipindahkan ke pusat kota Sanggau dengan didirikan SMP dan SMA di bawah Yayasan Sehat, yang dikelola oleh Konggregasi Imam Kapusin. Adapun SMP bernama SMP Soegiyopranoto dan SMA bernama SMA Don Bosco. Tahun 1987-1995, anak PJ Denggol, bernama Drs. Paulus Lukas Denggol pernah bertugas sebagai kepala sekolah di SMA tersebut. Di samping itu, banyak putra putri dari Mualang yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi baik di Kalimantan Barat maupun luar Kalimantan Barat. Salah satunya Drs. Stevanus Buan yang menjadi dosen jurusan bahasa Inggris tamatan IKIP Sanatha Dharma.

Penulis: Paulus Lukas Denggol

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: PJ Denggol; Katekis yang Diburu Kempetai Jepang (Part-3)

 

Selengkapnya