PJ Denggol; Katekis yang Diburu Kempetai Jepang (Part-5)

November 05, 2022
Last Updated

[Foto: Koleksi Keluarga]

Pada 5 Juni 1942, dibangun tempat sembahyang di Kampung Pakit. Menurut adat, beberapa macam pohon tidak boleh ditebang, meskipun hak milik tetap diperhatikan dengan seksama. Selain itu, orang bebas menebang pohon sesuai dengan keperluan. Untuk pembangunan kapel, masyarakat menggunakan kayu yang tidak terlalu mahal dan jenis itu banyak terdapat di hutan. Waktu orang kampung sibuk dengan bangunan itu datang pegawai-pegawai kehutanan ingin melihat surat izin.

Pegawai kehutanan memberitahu bahwa Jepang telah memaklumkan aturan baru untuk menebang pohon tanpa kecuali diperlukan surat izin. Di samping itu, diperlukan izin untuk membangun gedung. Mereka tidak pernah sekalipun mendengar tentang izin. Masyarakat didenda dan diwajibkan membayar 15 rupiah. Semua pekerjaan harus segera dihentikan. Apa boleh buat, umat harus menbayar denda dan menghentikan pembangunan itu.

Dalam suratnya, PJ Denggol juga menulis: “Memberitahu dengan hormat bahwa oleh murid-murid agama Katolik di daerah ini telah dibangun 2 (dua) buah rumah sembahyang. Sebuah di Janang Ran  dengan ukuran 4x3 depa, dengan bahan ramuan kasar tidak diketam. Tiang-tiang dari kayu belian bulat yang tidak licin ditarah atau di gergaji. Dinding lantai dari papan kasar dan atap ditutup dengan sirap kayu lempung temau.

Bangunan ini sudah selesai, siap dipakai sebagai ruangan sembahyang dan lokal sekolah di masa Pemerintah Belanda. Rumah ini didirikan dari 2 September  sampai 9 Oktober 1941. Satu buah bangunan yang didirikan di Pakit ukuran 5 x 4 depa. Bahan bangunan dari kayu kasar, tidak dikerjakan secara halus. Tiang-tiang dari kayu belian bulat  tidak diketam. Lantainya papan kayu lempung dan atap dari sirap dari kayu temau. Bangunan itu mulai didirikan pada 5 Juni 1942, akan tetapi sampai hari ini tidak selesai karena untuk ini kami belum mendapatkan keputusan dari Pemerintah.

Kami mengharapkan kemurahan hati dari afdeling Onderwiyes en Eredients di Pontianak dan kerelaan dari Yang Mulia Panembahan Sekadau serta berharap mereka memberikan izin menyelesaikan  kedua bangunan tersebut dan menggunakannya tanpa harus bayar pajak, karena tidak dipakai untuk maksud perdagangan atau keuntungan, melainkan hanya untuk keperluan ibadat dari agama Katolik. Sambil menunggu dengan hormat. Surat kami disertai empat buah lampiran: 

Dalam lampiran 1: Denggol menulis, setiap buku yang digunakan pada sekolah yaitu, 4 buku Injil dan Kisah Para Rasul, 1 buku dengan  bacaan 1 dan 2 buku untuk hari-hari Minggu, 1 buku dengan 100 cerita dari Perjanjian Lama, 1 lagi dengan cerita Perjanjian Baru, 1 buku katekismus besar, 1 Katekismus kecil dan 1 buku keterangan dari katekismus itu, 2 jilid meditasi dari Vercruysse, 2 buku doa, dan 3 buku nyanyian.

Dalam lampiran 2: Denggol menyebutkan, nama satu-satunya guru, yakni Petrus Josef Denggol bin Sali, umur kurang lebih 27 tahun  berasal dari Kampung Serengkah.

Dalam lampiran 3: Denggol menyebutkan, harus mencatat jumlah murid per kelas menurut kelamin. Saya menerangkan bahwa kami hanya mengajar agama dan juga di sekolah kami tidak ada perbedaaan kelas. Saya memberitahukan pula bahwa tidak ada gedung sekolah, tetapi tiap tiap bulan saya pergi dari kampung untuk memberikan pengajaran agama. Dari setiap kampung saya laporkan jumlah anak yang ikut setiap pengajaran, yaitu 66 anak laki-laki dan 32 perempuan. Jumlah orang dewasa, saya tidak memberitahukan.

Lampiran 4: Denggol menyebutkan, mengenai jadwal pengajaran, saya hanya dapat melaporkan bahwa diberikan pelajaran agama, bernyanyi dan berdoa; semuanya dilaksanakan pada waktu yang tak tentu, karena tergantung jarak antara kampung–kampung dan juga karena saya sebagai tenaga tanpa gaji harus bekerja untuk mencari nafkah.

Pada 29 Desember, Denggol mengantar surat tersebut dengan keempat lampirannya ke Kantor Panembahan di Sekadau. Denggol ditemani oleh dua saksi, yaitu Ukun, kepala Kampung Entabo Darat dan Buan, wakil kepala Kampung Pakit. Demikianlah kami memberitahukan bahwa sekolah kami bukan hanya di Janang Ran. Kedua saksi hadir waktu saya menyerahkan surat. Kami bertiga menandatangani surat penyerahan. Kemudian, kami juga menerima surat tanda terima yang ditandatangani oleh kepala kantor, sehingga tidak pernah orang dapat berkata bahwa permohonan tidak pernah disampaikan.

Dalam buku ini diceriakan juga hambatan dalam pendirian gereja sebagai berikut. Setelah saya mulai lagi dengan tugas sebagai katekis, muncul lagi kesulitan yang lain. Orang-orang Melayu selalu tidak senang dengan kami. Tetapi karena sekarang Jepang yang berkuasa, mereka memakai alasan yang baru untuk mengkambinghitamkan kami.

Agama Kristen adalah agama Belanda,kata mereka. Barangsiapa menganut agama Kristen, ia memihak orang Belanda. Hal inilah yang sangat menakutkan saya dan semua orang. Segala bentuk perlawanan terhadap pemerintah, tentu akan diganjar dengan hukuman yang berat. Bahkan, orang-orang yang hanya diduga anti-Jepang, dapat hilang dari bumi tanpa bekas.

Sekarang, saya juga berada dalam bahaya. Apalagi mengingat saya bekerja tanpa izin resmi. Semua pegawai yang berurusan dengan kami, adalah orang-orang Melayu. Jadi seandainya mau berbuat jahat terhadap agama, mereka dapat saja menggunakan senjata itu. Saya mencoba melakukan tugas secara tak mencolok. Sesudah tiga bulan, pada 23 Maret 1943, saya menulis surat kepada Panembahan  Sekadau menanyakan surat permohonan sekaligus ingin tahu kepastian mengenai jawabannya.

Buan mengantar surat itu ke kantor panembahan di Sekadau. Buan diinterogasi oleh Demang secara panjang lebar dan penuh sindiran. Intinya, orang orang Dayak ingin memegang kuat cara hidup tradisional, tetapi bahwa justru kami mau memaksa mereka untuk masuk agama Katolik. Dua minggu kemudian, tanggal 7 April 1943, seorang pesuruh dari Sekadau datang ke Janang Ran. Pesuruh itu menyerahkan suatu daftar pertanyaaan yang harus dijawab secepat mungkin. Isinya, antara lain, kapan dan di mana saya lahir? Di mana saya studi? Diploma apa yang saya peroleh? Di mana dan kapan saya bekerja dahulu? Apakah saya sudah kawin? Berapa anak dan usia mereka? Apa agama yang saya anut?

Saya sama sekali tidak mengerti semua itu. Banyak dari pertanyaan sudah dijawab dalam surat permohononan tanggal 29 Desember 1942. Hal itu saya tulis dalam sepucuk surat yang saya serahkan kepada pesuruh kantor, agar dibawa kembali ke Sekadau. Pada 17 April, Panembahan memberi jawaban bahwa surat permohonan itu belum diteruskan ke Pontianak. Semua pertanyaan harus dijawab sebelumnya dengan lengkap. Sekali lagi, muncul pertanyaan-pertanyaan yang sama, yaitu mengenai kelahiran, pendidikan, ijazah, pekerjaaan, dan sebagainya. Jelas bahwa ada usaha untuk memperlambat dan mungkin menunda permohonan saya. Dengan demikian, terhalanglah penyebaran agama Kristen secara luas di kalangan suku Dayak.

Saya tidak tahu, apa yang saya buat. Saya merasa seolah–olah tidak bisa smelakukan apapun. Seandainya semua katekis bekerjasama, mungkin kami bersama-sama cukup kuat untuk memperoleh izin kerja. Dengan harapan itu, saya mengunjungi semua katekis misi di Distrik Sanggau supaya bekerjasama. Namun, usaha saya sangat mengecewakan. Banyak rekan katekis sudah berhenti bekerja sebagai katekis sebab tidak ada gaji lagi. Di sana sini masih ada orang yang memimpin sembahyang, tetapi mengelilingi daerah untuk memberikan pengajaran agama tidak dilakukan seorangpun. Saya merasa sendirian dalam upaya itu, tidak ada seorang katekis yang mau mendukung.

Penulis: Paulus Lukas Denggol

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: PJ Denggol;Katekis yang Diburu Kempetai Jepang (Part-4)

Selengkapnya