Rindu Serengkah, PJ Denggol Berniat Berhenti jadi Katekis (Part-8 -Habis)

November 11, 2022
Last Updated


Bertemu Paus Paulus VI di Vatikan [Foto: Koleksi Keluarga]

Upeti dan barang berharga lainnya
sudah lama dijadikan alat untuk menyenangkan hati penguasa. Meski sudah dipenuhi, tetap saja penguasa yang lalim ingin minta lebih. Setelah mendapatkan semuanya, penguasa mengadu domba.

Inilah kisah Petrus Denggol mengenai hal itu.

Pada 29 November 1944, saya kembali ke rumah. Saya yakin, tak lama lagi saya akan ditangkap dan mungkin juga akan dibunuh. Pada hari berikutnya, saya membakar semua kertas yang kemungkinan bisa memberatkan, khususnya daftar semua orang Katolik dan katekumen di daerah. Hanya buku catatan karya saya yang diserahkan kepada istri. Saya mohon supaya ia menyimpannya dengan baik. Seandainya saya tidak kembali ke rumah, maka sesudah perang, ia memperlihatkannya kepada uskup, pastor, atau siapapun orangnya. Barangkali berdasarkan itu ia (istri) berhak atas pensiun janda. (halaman 55)

Selanjutnya, saya memanggil semua orang Katolik dan katekumen di Janang Ran. Saya menceritakan, sudah menghadap kempetai dan tidak tahu yang akan terjadi. Saya mengajak mereka agar berdoa terus mohon damai dan agar petugas misi datang kembali. Seandainya saya tidak bisa pulang, maka mereka hendaknya mengurus istri dan anak-anakku. Pertemuan itu sangat mengharukan. Tetapi umat tidak mau berputus asa seperti saya. Mereka secara spontan mengambil keputusan untuk mengumpulkan barang makanan guna melunakkkan hati Samsi. Hasilnya, 30 kilogram beras dan sejumlah telur.

Sumbangan itu sangat menolong saya. Waktu sampai di Seranjin, Samsi senang dan berlaku sangat ramah. Ia mengusulkan kepada saya untuk mencari pekerjaaan pada orang Jepang, agar mereka yakin bahwa saya tidak melawan. Ia akan menghargai, katanya, kalau saya bersedia bekerja di kantornya. Saya mengerti bahwa ia ingin saya berangkat dari Janang Ran. Mungkin juga dia mau membujuk saya untuk menjadi kaki tangannya dalam praktiknya yang culas. Saya menjawab bahwa saya sekarang terlalu sibuk di ladang dan pekerjaan tani boleh diangggap juga sebagai bantuan kepada orang-orang Jepang.

Apakah Pak Samsi menyetujui, kalau saya mengambil keputusan sesudah panen?” tanya Denggol.

Ia setuju-setuju saja. Pada 20 Januari 1945, saya sekali lagi dipanggil ke Seranjin. Saya membawa beras dan makanan lain seperti dulu. Pak Samsi menyuruh saya ke Sekadau dan melaporkan diri kepada kempetai. Seandainya kempetai tidak ada, melapor kepada Panembahan.Ada urusan mengenai prosesmu,” kata Samsi.

Pada 25 April 1945, Seranjin dibom oleh pesawat-pesawat terbang tentara sekutu. Kami tidak pernah lagi mendengar mengenai Samsi. Ia sudah melarikan diri. Awal September 1945 dari pesawat dijatuhkan surat-surat selebaran yang memuat berita bahwa perang sudah selesai. Tentara sekutu sedang datang guna membantu para penduduk. Kami senang sekali.

Pada 15 September 1945, gereja di Janang Ran dibuka lagi. Dua hari kemudian dibuka di Pakit. Saya sudah pergi lagi ke Seranjin untuk mengambil kembali segala milik kami, tetapi kami tidak menemukan apapun. Sewaktu kami mendengar bahwa di Pontianak  terjadi bencana kelaparan, kami rela mengumpulkan beras. Pengurus baru dari Seranjin mengangkutnya ke Pontianak.

Pada 7 Desember 1945, saya milir ke Pontianak. Perang sudah berakhir empat bulan. Saya ingin tahu, apakah pastor-pastor  sudah kembali ke Kalimantan? Seandainya demikian, saya mau minta seorang imam untuk daerah kami. Saya ingin minta berhenti dan akan mencari pekerjaan lain. Sesudah segala pengalaman masa perang, saya merasa tidak mampu lagi bekerja bagi misi. Banyak orang ingin masuk agama Katolik, tetapi saya tidak mampu lagi memberikan pelajaran agama. Saya merindukan Serengkah, kampung halaman saya di daerah Matan Hulu.

Di Pontianak, saya bertemu dengan Bapa Uskup. Pontianak tidak banyak mengalami kerusakan, tetapi kelihatan sangat tidak terpelihara. Demikian juga dengan Bapa Uskup. Saya mendengar bahwa dua orang pastor sudah berangkat ke Sanggau. Karena itu, saya tergesa-gesa kembali ke Sanggau. Saya lupa memberitahukan kepada Bapa Uskup bahwa mau berhenti sebagai katekis.

Uskup dan pastor yang diinternir oleh Jepang ke Kuching, kurang lebih empat tahun dalam kamp tawanan. Pada 4 Desember 1945, tawanan biarawan ini kembali ke Pontianak. Selama pastor dan uskup di kamp tawanan sudah tersebar fitnah bahwa pastor dan uskup telah dibunuh Jepang seperti orang Cina dan Melayu yang terkemuka. Pada 14 Desember 1945, Pastor Fridolin dan Pastor Wilbert de Wit atas ijin Bapak Uskup Tarcicius berangkat ke Sanggau dengan kapal dagang Tionghoa.

Pastor Wilbert de Wit mengisahkan pengalamannya:

Pada hari ketiga, sebuah perahu masuk ke Sungai Liku dan mendarat dekat pastoran. Dua orang Dayak naik ke tebing dan masuk ke rumah kami: Petrus Buan dan Paulus Lebong. Mereka datang atas nama Petrus Denggol untuk menjemput seorang pastor. Alasannya di Janang Ran banyak sekali orang menunggu bertahun tahun untuk dibaptis.

Melihat keteguhan hati dan semangat yang luar biasa pastor yang masih kondisi fisiknya masih lemah karena selama di kamp tawanan bukan hanya menderita kelaparan terus menerus, tetapi juga mengalami serangan penyakit malaria ini mengalah. Dengan perahu dan melewati perjuangan yang luar biasa mengalahkan riam, mereka akhirnya tiba di Mualang.

Di tepi sungai, seluruh warga kampung sudah berkumpul. Mereka membawa obor. Saya tidak mengenal seorangpun di antara mereka. Katekis dan istrinya tidak pernah saya lihat sebelumnya. Penyambutan itu sungguh hangat. Besar kecil, tua muda, ingin bersalaman dengan saya menghaturkan selamat datang. Seolah-olah saya langsung turun dari surga. Seekor babi disembelih. Setelah larut malam, saya diizinkan berbaring di bawah kelambu. Pak Denggol sudah mengatur segalanya utuk hari berikut. Sebanyak 20 orang akan dibaptis. Dilanjutkan dengan perayaan ekaristi yang khidmat. Tidak pernah saya merayakan Natal seperti itu.

Inilah Natal perdana di tanah Mualang. Natal yang sangat mengesankan, meskipun dengan kondisi tidak ada palungan, tidak ada Maria dan Yosef, tidak ada pohon Natal. Yang ada domba-domba yang belum pernah dilihat. Pastor tinggal beberapa hari di Janang Ran dan tidak pergi ke mana–mana untuk turne karena kondisi fisiknya masih lemah dibandingkan sebelum perang. Ketika kondisi fisik sudah prima, Pastor bersama katekis beberapa kali menjelajahi daerah Mualang. Menurutnya daerah ini sudah matang menerima Kabar Gembira walaupun masih harus diatasi kesulitan yang besar.

Buah karya yang disemai itu kemudian berkembang. Selanjutnya banyak putra putri dari daerah ini baik dari Mualang dan Sanggau  masuk menjadi biarawan dan biarawati. Di antaranya Uskup Agung  Pontianak (Emeritus) Mgr Hieronymus Bumbun, OFMCap, Mgr Agustinus Agus, yang sekarang menjadi Uskup Agung Pontianak. Biarawatinya, antara lain, Suster Jane Marry SFIC yang pernah menjadi Kepala SMA Santo Paulus Pontianak merupakan ketua Yayasan Pengabdi Untuk Sesama Manusia.(habis)

Penulis: Paulus Lukas Denggol

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Saat Dicari Tentara Jepang, Katekis PJ Denggol Malah Pergi Menjala Ikan (Part-7)

Selengkapnya