[Foto: Koleksi Keluarga] |
Ditangkap dan tidak tahu nasib sesudah itu merupakan kekhawatiran yang mendalam seperti dialami oleh Petrus Joseph Denggol. Terkait peristiwa itu, Pastor De Wit menulis catatan begini:
Sejak waktu itu, selama delapan bulan saya tidak membuat catatan lagi dan tidak melakukan tugas sebagai katekis karena terlalu berbahaya. Akan tetapi sering keluarga-keluarga mohon agar saya datang untuk berdoa bersama mereka. Itu saya anggap sangat penting. Saya boleh datang ke dalam bilik-bilik mereka, menerangkan mereka, serta memberikan semangat. Sering juga datang tetangga atau kenalan keluarga.
Secara teratur, saya mengunjungi orang-orang sakit dan berdoa bersama mereka. Seandainya saya tidak berbuat demikian, maka sebagian besar dari umat pasti akan memanggil dukun untuk mengusir roh jahat. Setelah saya berdoa bagi orang-orang non-Katolik, mereka berpendapat bahwa telah dilakukan pula kewajiban terhadap orang sakit. Dengan alasan yang sama, saya membaptis anak-anak dan orang katekumen. Pada suku Mualang, ada kebiasaan untuk memberikan nama kepada anak yang baru lahir. Dahulu kala, acara itu diadakan oleh dukun, tetapi para katekumen memohon dengan sangat agar saya membuatnya secara Katolik. Syukur, semua anggota keluarga menyetujuinya dan jarang ditemui kesulitan mengenai hal itu.
Awal Oktober 1944, Delan mengunjungi kampung kami lagi. Dengan bangga, ia memberitahukan bahwa ia dalam dinas kempetai dan diberikan tugas khusus untuk memperhatikan orang-orang Kristen. Ia menekankan pula bahwa menganut agama Kristen sama dengan memihak musuh, yaitu Belanda. Ia berkata bahwa perintah untuk menyerahkan semua barang Belanda belum kami indahkan. Kami juga masih memiliki buku-buku agama, dalam gereja masih ada patung-patung milik Belanda.
Setelah ia melemparkan tuduhan itu, ia lalu berubah. Kata-katanya menjadi halus dan mau menolong kami. “Saya melindungi kalian,” kata Delan. Seandainya tidak demikian, sudah barang tentu telah lama kami ditangkap. Tetapi sekarang, ia tidak bisa menolong lagi. Ia datang untuk memberikan peringatan: beberapa hari lagi kempetai akan datang dan akan memeriksa kami. Orang Katolik, terutama katekis, akan ditangkap. Delan mengatakan, tidak bisa menghindari hal itu. Barangkali ia bisa mencoba agar kempetai jangan bertindak terlalu kasar. Saya mengerti maksudnya. Saya memberinya beras dan telur. Pemberian itu menyenangkan hatinya. Ia berjanji akan mengusahakan keselamatan saya.
Kami tahu bahwa Jepang tidak melawan salah satu agama, tetapi Delan memihak musuh dan pengaruhnya besar juga. Dengan perlindungan Jepang, ia mampu mengejar keinginannya sendiri yaitu menentang agama Kristen dan membesarkan kekuasaanya atas dunia Dayak. Cara yang terbaik untuk melawan dan memusnahkan agama Katolik, ialah dengan menangkap saya dengan alasan apapun.
Dengan serius, saya kemudian memikirkan untuk melarikan diri ke Serengkah. Sudah banyak orang ditangkap karena tuduhan palsu, kemudian dibunuh, sehingga saya benar-benar takut. Akan tetapi, tidak sampai hati pula saya meninggalkan umat dalam keadaan putus asa. Saya memutuskan tinggal di tengah-tengah mereka apapun akibatnya. Saya berkeinginan mengetahui maksud kempetai terhadap kami. Mungkin saya dapat membuktikan bahwa orang-orang seperti Delan menyalahgunakan wewenangnya dan hanya mencari untung bagi dirinya sendiri,dan pada 30 oktober 1944, saya pergi kepada wakil kempetai di daerah ini. Ia tinggal di Seranjin.
Seranjin adalah perusahaan karet milik Jepang, terletak di pinggir sungai Kapuas ke arah Sekadau. Sebelum perang, perkebunan itu sudah digarap, tetapi setelah berkembang baik, mereka mulai dengan pemeliharaan sapi. Untuk itu, dibuat lapangan lapangan rumput yang datar. Tetapi pemerintah kolonial tidak mengerti, mengapa ada kandang sapi di daerah yang sedikit penduduknya. Karena itu lapangan rumput dipotong potong oleh parit-parit yang cukup dalam. Akibatnya, tidak dapat digunakan sebagai lapangan terbang. Pengurus perusahaan sekaligus wakil lokal dari kempetai adalah Mas Samsi, campuran Jawa-Maluku. Rupanya, ia sudah tahu segala-galanya mengenai saya. Maka segera saya mengerti, tidak usah saya mengharapkan bantuan darinya. Ia merasa dirinya lebih orang Melayu daripada abdi Jepang.
Saya diinterogasi secara panjang lebar. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama berkali-kali. Sekali lagi, saya dituduh bekerja tanpa ijin. Saya belum menyerahkan barang gereja. Saya menghasut umat melakukan aktivitas ilegal. Interogasi berlansung sampai larut malam. Hari berikutnya, saya harus menghadap kembali. Pada hari berikutnya, saya kembali melaporkan diri, Diberitahukan dengan singkat, saya harus menyerahkan segala barang milik Misi Belanda dan juga segala keperluan gereja. Saya mencoba membela diri akan tetapi Samsi menentang secara kasar bahwa perlawanan saya sudah cukup demikian. Ia tidak bisa dilembutkan lagi.
Saya pulang ke rumah. Pada 3 November 1944, saya kembali lagi ke Seranjin dengan membawa semua patung dan gambar dari tempat sembahyang di Janang Ran dan Pakit serta segala buku rohani milik pribadiku dan milik umat. Saya memerlukan beberapa orang untuk memikul semuanya itu. Saya menyerahkan 81 buah buku, 4 patung, dan 2 gambar besar. Mas Samsi membubuhkan tanda tangan di bawah tanda bukti penyerahan. Ia mengizinkan saya pulang. Sekarang hidup rohani di daerah kami sudah lumpuh sama sekali.
Pada 23 November 1944, saya sekali lagi dipanggil ke Seranjin. Kali ini, saya harus menunggu kampetai yang hendak menangkap. Sementara itu, Mas Samsi menuduhkan beberapa pelanggaran baru terhadap saya. Kulik dan mata-mata lainnya menemukan buku-buku yang disembunyikan dalam pondok ladang dekat Janang Ran. Ia telah langsung mengoyak-ngoyak buku-buku itu. Saya mengetengahkan lebih baik Kulik membawa buku-buku pada kempetai untuk membuktikan tuduhannya. Samsi meneruskan, Kulik melaporkan bahwa orang-orang Katolik pada hari Minggu tidak lagi ke gereja, tetapi di rumahnya dan tidak bekerja. Mereka juga tidak memerhatikan lagi adat perkawinan suku Dayak Mualang, tetapi mereka kawin mengikuti cara agama Belanda.
Dari Balai Sepuak juga dilaporkan, banyak barang milik pendeta Mouw, yang dicatat pada daftar inventaris, tidak ada lagi. Pasti sudah dicuri. Saya disangka mencuri barang-barang itu. Rupanya, ia tidak tahu perbedaan antara Katolik dan Protestan. Saya mencoba menerangkan bedanya. Saya katakan bahwa saya hanya bekerja pada Bapa Uskup Pontianak. Itu dianggapnya sebagai bukti bahwa saya berdinas pada Belanda. Kempetai akan menyelesaikan persoalan itu.
Lima hari telah lewat, namun kempetai belum juga datang. Saya dingin pulang mengerjakan ladang. Saya tanyakan kepada Samsi, kapan kempetai datang? Ia tidak tahu dan menambahhkan, “Kempetai pun merasa lapar dan saya tidak bisa menerima tamu itu dengan makanan. Mungkin juga ia tidak mau datang,”
“Kalau demikian, tidak ada gunanya saya tinggal di sini,” kataku.
Saya minta izin untuk pulang ke rumah dengan janji akan datang kembali ke Seranjin pada panggilan berikut. Saya menyinggung juga bahwa dari hasil panenku mungkin ada sesuatu untuk Samsi. “Kalau engkau tidak menepati perjanjian itu, maka semua orang Kristen akan jadi korban,” ancam Samsi. Lalu ia mengizinkan saya pergi.
Ancaman dari pihak penguasa Jepang dan kaki tangannya terus berlanjut. Pembunuhan akan dilakukan penguasa Jepang. Ketika kempetai mau menangkapnya di Janang Ran, Denggol sedang menjala ikan di sungai. Denggol berpapasan dengan rombongan kempetai yang menggunakan perahu menuju kampung. Para tentara Jepang itu bersenjata lengkap. Mereka singgah dan bertanya kepada Denggol, yang sedang menjala ikan tersebut.
“Tahu tidak, dengan Guru Denggol?” tanya Kempetai.
Denggol waktu itu memakai topi dan pakaian compang camping seperti lazimnya di kampung saat itu. Karena tekstil susah dicari sambil menyamar karena waktu itu sudah santer akan ditangkap.
“Saya tidak tahu,” jawab Denggol.
Rombongan Kempetai itu berlalu menuju kampung. Mereka tidak memedulikan Denggol yang sedang menjala ikan. Mereka mengganggap Denggol orang kampung tersebut karena Kempetai hanya tahu nama, tapi belum pernah melihat orangnya.
Seorang warga mencari Denggol dan meminta agar segera melarikan diri. “Saya bersyukur Tuhan melindungi saya. Dalam situasi pelarian, yang menjadi pegangan saya adalah tiga buah doa yaitu Aku Percaya, Bapa Kami, dan Salam Maria,” kenang Denggol.
Ketika tiba di Kampung Janang Ran, tentara Jepang bertanya kepada orang-orang tentang keberadaan Katekis Denggol. Orang-orang kemudian membawa seorang perempuan yang sudah tua ke hadapan kempetai.
“Inilah Denggol,” kata orang kampung.
“Ini bukan,” kata kempetai.
Usaha pembunuhan itu berhasil digagalkan. Guru agama bernama PJ Denggol itu akhirnya selamat dari ancaman pembunuhan kempetai Jepang berkat dukungan masyarakat.
Penulis: Paulus Lukas
Denggol
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Katekis yang Paling Dicari Jepang, PJ Denggol Dituduh Menghasut Umat Katolik (Part-6)