Sumur Kitiran Mas; Wujud Cinta Umat Pedesaan Kepada Bunda Maria

November 25, 2022
Last Updated

Br. Kris Tampajara MTB saat berkunjung di Sumur Kitiran Mas. [Foto: Koleksi Pribadi]

“Kami tahu, hidup ini sebagaimana peziarahan dari air ke air. Dalam perjalanan hidup ini takkan pernah rasa haus kami akan terpuaskan. Kami tahu, dalam perjalanan itu kami akan senantiasa haus dan rindu akan kesegaran air-Nya. karena itu kami masih harus berjalan menuju mata air penghidupan-Nya,” tulis Romo GP Sindhunata, SJ dalam buku Mata Air Bulan.

Pagi itu, Selasa 22 November 2022, saya diajak teman melihat tempat praktik lapangan bagi novis-novis (para calon bruder) yang biasa disebut stage dan akan dilaksanakan pada awal Desember nanti. Salah satu tempat yang dituju kunjungan ini adalah peternakan sapi perah yang dikelola oleh Para Suster Abdi Darah Mulia (ADM) Yogyakarta. Peternakan ini terletak di Jalan Sumberan Patrowangsan, Candibinangun, Kecamatan Pakem, Sleman-Yogyakarta.

“Pukul 07.30, kita berangkat dari rumah ya, bro, Biar tidak terlalu siang,” demikian chat whatsapp dari temanku.

Pukul tujuh tigapuluh pagi, saya dan teman tadi bergegas meninggalkan rumah menyusuri jalanan Kota Yogyakarta yang kian padat menuju ke daerah Pakem mengambil jalur Jalan Sudirman kemudian belok ke arah Jalan Jetis dan seterusnya melaju ke Jalan Palangan. Pada pagi itu, kondisi jalan lumayan padat, tentu membuat kami harus meliuk-liuk di antara mobil dan sepeda motor yang masih menyisakan ruang untuk dapat lolos dari kemacetan. Kurang lebih menelan waktu empat puluh lima menit, kami sudah sampai di lokasi peternakan sapi perah yang dinamai “Peternakan Seraphine” dan dikelola oleh Para Suster ADM sejak tiga tahun yang lalu.

Sesampai di lokasi peternakan, kami disambut oleh Sr. Elfrida, ADM dan Sr. Romana, ADM yang setiap harinya bertanggungjawab dalam menangani karya ternak sapi tersebut. Mereka dibantu beberapa karyawan yang berasal dari warga setempat. Setelah teman saya ngobrol mengenai urusan rencana bahwa para novis akan mengikuti program stage di peternakan sapi tersebut, kami mohon pamit untuk kembali.

“Bro, balik nanti kita singgah di Gereja St. Maria Assumpta Pakem ya,” usulku tanpa rencana sebelumnya.

Syukurlah usul itu diterima dengan tidak berkeberatan walaupun teman saya mengingatkan lagi bahwa kami harus kembali sebelum pukul dua belas siang. Setelah mengendarai sepeda motor menelan waktu 30 menit dari tempat peternakan tersebut, kami sampai di Gereja St. Maria Assumpta Pakem. Setelah parkir di gereja yang dibangun pada tahun 1956, kemudian pada tahun 2010 direnovasi. Tidak begitu lama setelah kami parkir sepeda motor, kami langsung disambut dengan seorang ibu paro baya lalu menemani kami untuk masuk ke dalam gereja dari pintu sisi utara gereja yang terbuka.

Ibu Ida, demikian sering disapa menjelaskan, mengenai sejarah singkat tentang Sumur Kitiran Mas yang terletak persis di patung kaki Bunda Maria Risang Sungkawa (dalam diri Bunda Maria tergambar segala beban dan penderitaan wanita-wanita pedesaan yang miskin dan sederhana). Suasana di dalam gereja yang sejuk dan hening mendukung setiap orang atau pengunjung/peziarah untuk dapat berdoa dengan khusyuk.

Setelah menjelaskan sejarah keberadaan Sumur Kitiran Mas, Ibu Ida membiarkan kami untuk menikmati suasana hening sembari memerhatikan sumur yang unik ini. Sumur ini pernah ditutup karena dalam perjalanan waktu mengalami pergeseran nilai. Namun tepat pada 6 Mei 2000, setelah beberapa tahun ditutup, Sumur Kitiran Mas dibuka kembali dan dapat menjadi tujuan ziarah dengan seizin Mgr. Ignatius Suharyo selaku Uskup Agung Semarang (kala itu). Pada hari itu juga dirayakan Ekaristi Syukur yang dipimpin oleh Rm. A. Jarot, Pr dan Rm. GP. Sindhunata, SJ yang juga ikut terlibat dalam proses ziarah dan tirakat dalam mencari Sumur Kitiran Mas ini, karena Romo Sindhu pernah bertugas di Gereja St. Maria Assumpta pada masa itu.

Berawal dari Kerinduan Umat

Saat ini, Sumur Kitiran Mas yang berada di dalam gereja ini termasuk dalam salah satu destinasi wisata rohani yang dapat dikunjungi oleh umum yang diakui oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. Namun jauh sebelum ada Sumur Kitiran Mas ini ada sebagaimana sampai saat ini, sejatinya memiliki sejarah yang unik, bagi umat Pakem itu sendiri. Sumur Kitiran Mas bagi umat Pakem merupakan sumur peziarahan hidup yang dijalani dengan penuh cinta, doa dan pengharapan pada Tuhan sebagaimana yang dijalani juga oleh Sang Bunda Maria sebagai Ibu Risang Sungkawa. Sosok Bunda Maria Risang Sungkawa bagi umat Pakem merupakan wujud wanita desa yang sederhana, yang juga sebagai wanita yang bekerja keras untuk menjalani peziarahan hidup sederhana di desa.

Jauh sebelum adanya Sumur Kitiran, sebagai wujud kecintaan umat kepada Bunda Maria maka mereka merindukan adanya Patung Bunda Maria berukuran manusia yang sungguh yang menggambarkan sosok seorang perempuan desa dengan sederhana, yang penuh keprihatinan dan kepedulian akan kesulitan hidup orang-orang desa. Pada tahun 1983, umat secara bersama sama ingin membuat patung itu dengan tangan sendiri dengan sumberdaya yang mereka miliki, dengan membuat patung sendiri tentu jauh lebih murah, karena umat sendiri kala itu sebagian besar sebagai petani yang tentu tidak memiliki banyak dana yang cukup untuk membuat patung Bunda Maria yang berukuran besar tersebut. Dan setelah patung Bunda Maria tersebut selesai dan jadi, maka mereka memutuskan untuk memberi nama pada Patung itu sebagai Ibu Risang Sungkawa sebagaimana yang dikisahkan oleh Rm. GP Sindhunata, SJ dalam bukunya Mata Air Bulan.

Pada patung Ibu Risang Sungkawa ini umat selalu berdoa bersyukur dan memohon agar dalam peziarahan hidup dapat melewati berbagai kesulitan yang mereka hadapi sehari-hari sebagai petani. Seringkali pada kaki altar Ibu Risang Sungkawa ini umat mengambil air dari Pengaron untuk diminum setelah mereka berdoa di gereja, bahkan Ibu-ibu yang sedang ke pasar atau pulang dari pasar singgah untuk berdoa kemudian melepas dahaga dengan meneguk air dari peraron tersebut. air dari peraron yang terletak dikaki bunda Risang Sungkawa itu memberi kesegaran, ketentraman, penghiburan dan penyembuhan serta pengharapan. Dari pengalaman rohani tersebut umat merindukan agar ada air yang tidak pernah habis-habisnya diteguk disaat mereka dahaga dan keperluan akan air yang menyegarkan tersebut. Dengan kerinduan teresebut, maka pada 1985 umat Paroki Pakem memutuskan untuk membuat sumur di dalam gereja, namun sebelum dilaksanakan penggalian sumur tersebut maka dilakukanlah sebuah peziarahan untuk mencari tujuh kembang dan tujuh mata air yang dianggap keramat di daerah gunung merapi.

Adapun tujuh kembang tersebut terdiri dari Melati, Kemuning, Telasih, Kelapa, Kanthil, Mawar dan Temon. Sedangkan tujuh mata air keramat-angker itu adalah Tuk Celeng (Mata air Celeng), Tuk, Wengi (Mata air Malam), Tuk Sangkan Paran (Mata Air Asal dan Tujuan), Tuk Rembulan (Mata Air Bulan), Tuk Ulam (Mata Air Ikan), Tuk Cuwo (Mata Air Cuwo) dan Tuk Macam (Mata Air Macan). Peziarahan mencari tujuh kembang (Pitu Kembang) dan Tujuh Rupa Air dari Mata Air (Tuk Pitu) dilakukan pada tengah malam selama kurun waktu satu tahun. Setelah semua peziarahan mencari “Pitu Kembang” dan “Pitu Tuk” selesai, umat menutup nya dengan novena pada Bunda Maria untuk sudi memberikan air penghidupan dan menunjukkan di mana persis sumur itu akan digali.

Dikisahkan Romo GP. Sindhunata, SJ, dalam Buku Mata Air Bulan, ada seorang bapak yang menyarankan untuk mengetahui tempat yang ada mata airnya, dapat menggunakan bantuan kodok. Kodok-kodok yang dilepas akan memberi tanda di mana kodok itu berkumpul dan menetap tenang maka di tempat itu kemungkinan besar ada sumber mata airnya. Sebenarnya mereka meragukan cara seperti itu, tetapi toh tetap mereka lakukan juga, selain melakukan Novena pada Bunda Maria. Novena pun dimulai, tetapi dari hari pertama novena sampai hari kesembilan tidak ada tanda-tanda yang diperoleh, bahkan kodok-kodok yang dilepas dalam gereja tidak satupun yang memberi tanda, justru loncat ke sana kemari di ruang gereja. Namun tanpa disangka-sangka pada tengah malam pada hari kesembilan setelah tengah malam umat yang masih melanjutkan tirakat tersebut melihat di salah satu tegel di area kaki patung Bunda Maria tersebut tiba-tiba berembun, lalu tegel tersebutpun diberi tanda dengan kapur agar keesokan harinya mudah dikenal mana tegel yang akan dicongkel kemudian digali. Rasa putus asa yang telah menghinggapi umat sirna dengan menemukan tanda-tanda tersebut.

Keesokan harinya proses penggalian dimulai, awalnya untuk penggalian sumur tersebut diminta bantuan orang yang biasanya bekerja membuat sumur, tetapi pada waktu yang disepakati, orang yang diminta menggali sumur tersebut tidak datang-datang juga. Karena diniatkan bahwa penggalian sumur dilakukan hari itu juga, maka akhirnya diminta para tenaga anak OMK untuk mulai melakukan penggalian sumur tersebut. Penggalian sumur itu menelan waktu kurang lebih sebulan, hal ini dikarenakan pengerjaannya menggunakan alat sederhana/manual ditambah lagi ukuran lubang sumur amat kecil, seukuran satu tegel (20 cm X 20 cm) dengan kedalaman kurang lebih 9 meter.

Setelah melewati berbagai kesulitan akhirnya penggalian sumur itu berhasil menemukan mata air yang menyembul deras. Begitu mendengar mata air sudah ditemukan umat berbondong-bondong untuk menyaksikan nya dan mengikuti ekaristi syukur sekaligus pemberkatan sumur tersebut dengan ritual memasukan kedalam sumur tersebut tujuh kembang dan tujuh rupa air dari mata air keramat yang diperoleh melalui peziarahan. Dan nama sumur yang terletak persis di kaki Patung Bunda Maria tersebutpun diberi nama Sumur Kitiran Mas.

Pemberian Nama Sumur Kitiran Mas

Pemberian nama “Sumur Kitiran Mas” sendiri terkesan unik dan tidak pernah terbesit dalam benak umat sebelumnya. Pada suatu malam terakhir tirakat dalam ziarah mencari kembang ketujuh tersebut (malam terakhir), mereka singgah pada satu rumah penduduk untuk sekedar istirahat dan minum kopi yang disuguhkan oleh tuan rumah, sembari bercerita santai dan baring-baring di lincak/kursi lebar, sambil mendengar wayang kulit yang disiarkan radio. Dalang malam itu menceritakan tentang lakon “Bengawan Kitiran Emas” dan lakon utama dalam kisah wayang itu adalah Semar.

Semar merupakan sosok seorang hamba yang sederhana . ia selalu mengingatkan tuannya akan kebaikan dan kebenaran. Sesekali, terutama saat dunia dalam keadaan kacau, Semar menunjukan siapa dia sesungguhnya. Semar adalah Dewa dari Suralaya, surga para dewa. Sebagai dewa, Semar memiliki kesaktian dan berkuasa. Kendati memiliki kekuasaan dan kesaktian, dia rela menjadi hamba manusia dan selalu mengingatkan tuannya akan kebajikan hidup. Dalang pada malam itu menceritakan dunia dalam kekacauan, orang-orang tidak lagi menghormati kebenaran dan kebaikan. Semar ingin menata kembali dunia yang kacau itu. Lalu ia menyamar menjadi bengawan, dan memperkenalkan diri sebagai Bengawan Kitiran Mas. Setelah mendengar cerita wayang ini, maka muncullah inspirasi agar kelak jika sumur itu sudah ada maka diberikan nama Sumur Kitiran Mas, dan Bunda Maria sebagai pemilik Sumur Kitiran Mas dinamai Sang Kitiran Kencana.

Dalam nama Sumur Kitiran Mas ini, dibayangkan bahwa Kerekan itu sebagai Kitiran yang adalah Bunda Maria sendiri, sedangkan kita manusia hanyalah tali timbanya. Maria lah Sang Kitiran Kencana yang senantiasa berputar ketika tali timba yang digerekkan oleh tangan dan hati yang selaras guna menimba air di dasar sumur tersebut, maka dengan keselarasan itu juga yang dapat memberi kesempatan pada kita untuk menimba air kehidupan di dasar Sumur Kitiran Mas (dasar sumur hidup kita).

Bunda Maria sebagai pemilik Sumur tersebut dinamai Sang Kitiran Kencana. kini kerinduan umat akan sumber air yang tidak akan habis-habis nya untuk memuaskan dahaga telah terwujud. Umat merasa bahagia bahwa pemberian sumur itu merupakan rahmat dari Allah sendiri atas usaha tirakat dan peziarahan rohani mereka. Setiap mereka berdoa di tepi sumur tersebut mereka selalu menggenang ketekunan, usaha, doa dan kerja keras dalam peziarahan mereka dalam mencari kembang dan sumber mata air sebagai upaya mewujudkan kerinduan akan Air yang menyegarkan. Setiap selesai berdoa merekapun menimba air sumur tersebut kemudian dibawa pulang lalu air itu ditabur atau diperciki di rumah, ladang, sawah, dan lain lainnya agar semuanya membawa berkat dan rahmat bagi semua makhluk ciptaan.

Kemudian pada sekitar Sumur Kitiran Mas ini juga terdapat batu-batuan berupa kodok, kupu-kupu, ikan kotes, buto bajang. Sedangkan batunya berasal dari galian sumur Kitiran Mas tersebut. adapun lambang tersebut mengingatkan akan proses peziarahan umat dalam pencarian Sumur Kitiran Mas tersebut. kodok sendir melambangkan agar kita manusia bersikap sederhana, pasrah dan menyerah, sebagaimana ketika kodok-kodok dilepaskan ketika mencari letak sumur tersebut, karena pasrah dan rendah hati maka kita diberi tahu letak dimana sumur harus digali. Kemudian kupu-kupu, mengingatkan kita berani terbang dari diri kita dan melupakan kepentingan agar kita dapat menjatuhkan hujan rahmatNya ke bumi yang kering. Lalu Ikan Kotes mengajak kita menyadari kedosaan kita. Kita jelek dan menakutkan yang berenang-renang indah di air. Sedangkan Buto Bajang mengingatkan kita agar kita sederhana, tidak sombong dan tulus dengan demikian kita dapat menerima Allah sebagai misteri yang tidak bisa ditelaah dengan pikiran kita.

Seiring berjalannya waktu, dan makin banyak peziarah yang mampir untuk menikmati keheningan doa didepan Bunda Risang Sungkawa. Maka sumur yang ukuran kecil tersebut agaknya kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan akan air bagi peziarah yang biasanya juga untuk dibawa pulang. Maka diputuskan lah untuk membuat sumur yang berukuran lebih besar dengan diameter 70 cm yang terletak tidak jauh (disebelah utara) dari sumur Kitiran Mas. Dengan demikian sumur Kitiran Mas yang kecil itu kini memiliki “anak“ disebelahnya dengan ukuran yang lebih besar dengan mata air yang terus menyembul dari sumber mata air yang sama, dan telah diberkati kembali pada hari Minggu Pon, 14 Oktober 2001.

Pemberkatan kembali Sumur Kitiran Mas ini menegaskan kembali pada umat Pakem bahwa Peziarahan bersama Bunda Maria dalam menemukan Sumur ini menjadi sumber air kehidupan bagi siapapun yang menimba dan meminumnya. Air sumur yang digali pada tahun 1985 ini, memiliki sumber mata air yang jernih, bahkan air nya dapat diminum langsung. Banyak kisah-kisah atau pengalaman iman yang menguatkan dari orang-orang yang berziarah, berdoa kemudian meneguk air dari Sumur Kitiran Mas. Namun terlepas dari kisah-kisah tersebut, sesungguhnya keteguhan, ketekunan, pasrah, sederhana serta rendah hati dan penuh cinta dapat mengalahkan semua tantangan dan kesulitan dalam hidup.

Pada saat Gunung Merapi Meletus pada tahun 2010, dimana saat para pengungsi membutuhkan air, setiap harinya para relawan gereja Katolik Pakem menyedot air dari sumur Kitiran Mas ini untuk memenuhi kebutuhan air di pengungsian. Ini menunjukkan bahwa mata air sumur Kitiran Mas ini tidak terus mengalir.

“Saya yakin sumur ini tidak pernah akan kering karena pernah disedot berapa tank untuk kebutuhan para pengungsi Merapi dulu, air sumur ini tidak kering” tegas Ibu Ida yang sehari-hari bertugas sebagai pelayan peziarah.

Setelah merasakan keheningan di kaki Ibu Sang Risang Sungkawa dan meneguk air dari Sumur Kitiran Mas tersebut, kami pun kembali ke rumah dengan membawa dua botol air yang ditimba dari Sumur Kitiran Mas. Kendaraan kami melaju seperti Kitir (baling baling) kembali ke rumah melewati jalan raya dengan terik panas matahari siang itu. Semoga ziarah yang tak terencana tersebut dapat memberi kesegaran jiwa dan raga kami sebagai peziarah dalam hidup keseharian yang sederhana dan biasa, kami mau bersama Bunda Maria sang Risang Sungkawa dan Sang Kitiran Kencana untuk mencari sumber air kehidupan-Nya di manapun kami berada.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Artikel Lain: Kisah Lima Bruder Pertama, dari Huijbergen Berkarya di Kalimantan

Selengkapnya