Alverno; Leprosarium yang Digagas Prefek Bos untuk Orang Sakit Kusta

December 14, 2022
Last Updated

Foto: Arsip Kapusin Belanda

Pastor Amantius OFMCap menerjemahkan sejumlah arsip Kapusin di Belanda tentang perjalanan misionaris dalam menyebarkan ajaran iman Katolik di Borneo. Arsip-arsip yang masih berbahasa Belanda itu menjadi catatan sejarah yang mesti terjaga dan terawat. Digitalisasi arsip diperlukan agar tidak hilang. Tulisan ini, bagian dari upaya digitalisasi arsip, merupakan bagian dari serial buku ‘Sumbangan kepada Sejarah Gereja Kalimantan.’ Catatan para misionaris Katolik mengenai Rumah Sakit Alverno di Singkawang, sebuah pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang mengidap penyakit kusta.

Sebelum tahun 1905, Tsa A Kang sudah memberikan pelayanan terhadap orang sakit kusta di Singkawang. A Kang menggunakan uang tabungannya untuk melayani mereka yang sakit kusta, yang tinggal bersama dalam kampung tersendiri. Kampung itu berjarak sekira seperempat jam dari Singkawang. Ketika Prefek Pasificus Bos OFMCap bersama kapusin lainnya berkarya di Borneo, pada 1906, dia bersama Bruder Wilhelmus dan Theodoricus ditemani A Kang berjalan ke arah Sjakok, tempat orang-orang kusta tinggal. Prefek memerhatikan orang-orang kusta dan melihat tempat tinggal mereka.

Sebanyak 30 orang yang menderita kusta. Lima di antaranya beragama Katolik. Hal itu disampaikan oleh A Kang. Katekis itu diangkat oleh kontrolir untuk membagi-bagikan uang, yang dikumpulkan orang-orang China, pemilik kebun-kebun gambir. Prefek Bos memastikan akan memberikan perhatian khusus kepada para penderita kusta tersebut. Sebagai seorang pastor, Prefek memikirkan keselamatan jiwa mereka.

Prefek Bos membutuhkan dana sekitar 100 gulden untuk mendirikan sebuah kapel kecil, yang bisa dimanfaatkan untuk mempersembahkan misa. Bos juga bermaksud bertemu pemerintah agar rumah-rumah para penderita kusta itu diperhatikan. “Sangat perlu mengundang suster-suster dari Belanda untuk mendidik anak-anak dan merawat orang-orang sakit, termasuk mereka yang sakit kusta. Itu sangat perlu untuk karya misi,” kata Bos dalam catatan arsip Kapusin tersebut.

Dalam suratnya, pada 29 Juni 1906 yang ditulis di Singkawang, Prefek Bos mengaku lupa memberitahukan jika akan membangun kapel kecil dalam leprosarium. Orang-orang kusta terpaksa hidup tersendiri dan tidak diperkenankan masuk ke dalam gereja yang sama dengan yang lain. Agar orang-orang kusta itu bisa menerima sakramen, maka diperlukan tempat sembahyang yang sederhana. Satu atau dua kali dalam sebulan, kami akan mengunjungi mereka untuk mempersembahkan misa sekaligus mengajarkan agama. Dengan begitu, sangat mungkin jumlah orang Katolik akan bertambah. “Kami membutuhkan 100 gulden untuk membangun kapel sederhana itu,” tulis Prefek Bos.

Pada 10 Juli 1906, pembangunan kapel untuk koloni orang-orang sakit kusta sudah mulai diurus. Bahan bangunan yang diperlukan sudah tersedia. Dana yang disetujui sebesar 32,50 gulden dari 100 gulden yang diperlukan. Prefek bersyukur ada dermawan di Belanda yang bersedia membiayai kekurangan pembangunan kapel tersebut.  Pada 18 Februari 1911, ada rencana agar semua orang sakit kusta di Borneo bagian barat disatukan dalam sebuah leprosarium dekat Singkawang.

Kami diminta untuk merawat orang-orang sakit itu. Kami setuju dengan syarat agar kami tak memikirkan biayanya. Saya ingin tahu bagaimana rencana itu berkembang dan dilaksanakan. Saya harap agar karya yang bagus itu diputuskan dan menguntungkan semua orang lepra,” kata Bos.

Kendati begitu, Prefek menerima kabar gembira untuk operasional dalam pelayanan terhadap orang kusta tersebut. Pemerintah bersedia membantu 10 gulden per bulan bagi orang kusta yang jumlahnya maksimal 80 orang. Sehingga perawatan terhadap orang sakit kusta bisa dilakukan dengan baik.

Namun, pembangunan rumah sakit di Singkawang dan perumahan bagi orang sakit kusta belum bisa dimulai. Hal itu karena masih menunggu Bruder Wenceslaus yang sedang membangun gereja di Sambas. Sementara Bruder Alexius sedang membangun gereja di Sejiram. Jika mereka sudah selesai, maka akan ditarik ke Singkawang untuk membangun perumahan bagi orang kusta.

Pemerintah juga telah membuat rencana membentuk koloni besar untuk semua orang sakit kusta. Koloni itu juga untuk orang-orang yang tidak cocok hidup bersama orang ramai. Semua harus mengusahakan hidupnya sendiri, semacam kibbutz (sebuah komunitas yang dimiliki dan dikelola bersama) pertanian. Tetapi misi tetap berjuang untuk sebuah leprosarium, hanya untuk orang-orang lepra. Pater Beatus berhasil untuk mencegah kedatangan orang-orang yang tak kusta.

Seorang dokter bersedia membantu dalam leprosarium. Pada tahun 1917, dengan uang subsidi dibangun sebuah klinik dengan empat kamar mandi. Suster Cayetana diangkat sebagai perawat untuk orang kusta. Awalnya, Suster Cayetana datang tiga kali seminggu, kemudian setiap hari. Semua pasien dirawat di serambi klinik itu. Di dalam klinik, ada apotek untuk dokter. Satu kamar mandi untuk suster. Prefek juga menugaskan Bruder Trudo untuk mengurus semua keperluan orang yang sakit kusta. Sementara Pastor Beatus tetap sebagai pemimpin umum.(*)

Artikel Lain: PernahTinggal di Asrama Pastor? Begini Cara Hidup Disiplin Anak Asrama

Selengkapnya