Begini Aktivitas Sehari-hari Anak Asrama dan Sekolah St. Dionysius

December 13, 2022
Last Updated

[Foto: Arsip Kapusin Belanda]

Pastor Marius Zom OFMCap membuat catatan tentang sekolah Santo Dionysius itu. Catatan Pastor Marius tersebut bisa ditemukan dalam Zondagsblad 10, hal. 335. Dalam catatan itu, Pastor Marius mengisahkan aktivitas para murid yang mengenyam pendidikan di Sekolah Dionysius.

Ini sekolah spes patriae, harapan misi. Lonceng gereja berdentang sekira pukul 05.30. Anak-anak yang tinggal di asrama sudah bangun. Mereka berlutut pada tikar dan mendaraskan Angelus Domini atau Doa Malaikat Tuhan. Selain itu, mereka juga berdoa tiga kali, Bapa Kami dan Salam Maria. Usai berdoa, semua turun dari loteng, duduk di pinggir parit bukit, kemudian mencuci muka.

Tidak semua mereka mencuci muka. Sebab masih pagi. Udara yang sejuk dan air yang dingin membuat mereka enggan untuk mandi. Kemudian, semua berbaris menuju gereja tanpa berbicara. Mereka mengikuti misa pagi. Usai misa, semua berbaris kembali menuju asrama. Tanpa berbicara, mereka menuju ruang makan. Semua menikmati sarapan pagi dengan lauk ikan yang sudah dibagikan di atas piring masing-masing. Di atas meja juga ada mangkok berisi kuah untuk enam orang.  

“Di asrama, mereka makan dengan sendok China. Mereka di ruang makan tidak boleh berbicara kecuali pada hari Minggu dan hari pesta. Sisa makanan dikum­pulkan dan diberikan kepada babi-babi. Tiap-tiap anak mencuci piringnya dan menaruhnya di atas rak sesuai nomornya. Semua berdoa dalam bahasa China bersama-sama,” tulis Pastor Marius.

Habis sarapan, catat Pastor Marius, anak-anak berekreasi hingga pukul 08.00. Semua diberi tugas untuk membersihkan sebagian dari asrama. Minyak lampu harus diisi kembali. Rumah pastor disapu, piring, dan mangkok di pastoran dicuci. Asrama disapu dengan baik, toilet di atas dan di luar dibersihkan.

Sekolah mulai sekira pukul delapan. Sensang datang untuk mengajar bahasa Cina atau pelajaran agama kepada anak-anak Katolik dan katekumin. Sekira pukul 09.00, anak-anak belajar bahasa Belanda. Mata pelajaran ini diampu seorang pastor yang mengajar kelas tertinggi, seorang lagi untuk kelas satu dan dua. Pengajaran kira-kira selama satu jam. Kemudian satu jam lagi.

Tengah hari, anak-anak makan bubur, yaitu nasi dengan sayur dan ikan tercampur. Habis makan anak-anak boleh bermain hingga pukul 14.00. Setelah itu, ketika guru China datang lagi, mereka belajar mengajar kesenian menulis huruf-huruf bahasa China. Kemudian kembali belajar bahasa Belanda.

Selepas belajar, hingga pukul 16.30, semua bekerja. Ada yang mencari kayu untuk dapur dengan juru masak, Alexius. Ada yang bekerja di kebun bunga. Mereka menyiangi bunga di kebun. Pada pukul 17.30, anak-anak harus mandi di parit bukit. Mereka berenang dan bermain air seperti ikan-ikan.  

“Pukul enam sore, mereka makan lagi, seperti semua orang Cina, nasi dengan ikan. Pada hari Minggu, ditambah menu daging. Kemudian pengajaran membaca huruf-huruf China atau pengajaran ceritera-ceritera Kitab Suci untuk semua anak, Katolik maupun yang belum Katolik,” kata Pastor Marius dalam catatannya.

Anak-anak diizinkan bermain hingga pukul 20.00. Setelah itu, mereka akan naik ke loteng. Mereka berdoa doa malam dengan suara yang lantang. Usai berdoa, anak-anak wajib tidur di tikar dan bantal. Biasanya ada selimut tipis. Beberapa di antaranya memakai kelambu.

Anak-anak ini bermain seperti anak-anak China kebanyakan. Bermain kelereng, sepak bola, dan lain-lain. Kadang-kadang bermain acara penguburan secara China. Seorang anak berpura-pura meninggal, kemudian kawan-kawannya meletakkan tubuhnya di atas papan. Kemudian mengusungnya disertai bunyi-bunyian dari kaleng berkeliling asrama. Kemudian, anak yang berlakon meninggal tadi dibuang ke dalam air parit. Itu menjadi akhir dari permainan tersebut.

Pada malam hari, ketika lampu sudah dinyalakan, ada anak yang berlatih senam. Ada juga yang membuat kerangka layang-layang dari bambu. Sebagian lagi memasang pukat untuk menangkap ikan. Tak ada kesulitan bagi mereka saat itu.

Setiap hari Kamis, pada pukul 12.00 hingga 18.00. anak-anak boleh pulang ke rumah orangtuanya. Kalau rumahnya terlalu jauh, mereka tetap tinggal di Singkawang. Biasanya mereka melancong ke pasar. Kalau ada uang, mereka membeli sesuatu. Anak-anak yang jauh rumahnya tadi boleh pulang ketika orangtuanya merayakan ulangtahun. Dua bulan sekali, mereka pulang ke rumah orangtua untuk beberapa hari. Jika terlambat kembali ke asrama, mereka akan dihukum. Mereka akan dilarang pulang sebanyak satu kali.

Metode pengajaran yang diberikan kepada anak-anak Sekolah Dionysius, yakni tiga jam belajar bahasa China (membaca dan menulis huruf), empat jam belajar bahasa Belanda (membaca, menulis di papan batu, berhitung, berbicara), bahasa Melayu. Mereka juga belajar Bahasa Inggris. Tetapi, yang tidak boleh terlupakan, mereka belajar kitab suci, katekismus, dan bernyanyi.

Perlu diketahui, berdasarkan arsip Kapusin Belanda, yang diterjemahkan oleh Pastor Amantius OFMCap, disebutkan pada 1 Juli 1907 telah dibangun sekolah untuk 21 anak laki-laki. Mayoritas mereka tinggal di asrama yang dibangun bersamaan dengan sekolah. Penduduk Kota Tilburg telah mengumpulkan 6.400 gulden yang disumbangkan kepada sekolah tersebut. Untuk mengapresiasi kebaikan warga Tilburg, maka sekolah itu diberi nama Dionysius, pelindung Kota Tilburg.

Pastor Beatus diangkat sebagai kepala sekolah. Sementara Pastor Marius membantu tugas Beatus di sekolah tersebut. Mereka menga­jar bahasa Belanda, membaca, berhitung dan menulis, tetapi murid-murid belajar bahasa Cina dengan seorang guru Cina.

Pada tahun 1908 sekolah perlu diperluas. Pada 4 Oktober tahun 1907, suster-suster membuka sekolah Santa Agnes dengan asrama untuk anak-anak perempuan. Guru-guru mereka ada suster-suster yang berijazah mengajar. Pada 1909, sekolah dari suster diperbesar juga.[]

Selengkapnya