Gereja Katedral Pontianak, Ini Alasannya Mengapa Diberi Nama St. Yoseph?

December 04, 2022
Last Updated

Pastoran sementara, Gereja Katedral, dan Sekolah St. Mikael. [Foto: Borneo Almanak & Sumbangan untuk Gereja Kalimantan]

Dua tiang berdiri kokoh di depan Gereja Katedral St. Yosep Pontianak. Di atas tiang yang diukir dengan ciri khas Dayak itu bertengger pula burung enggang pada masing-masing tiang. Tiang dari kayu belian itu dipenuhi ornamen khas Dayak. Dayak menjadi suku mayoritas yang mendiami Kalimantan Barat. Mayoritas masyarakat Dayak juga menganut agama Katolik, sebagian lagi menganut Kristen Protestan.

Enggang itu menghadirkan simbol. Burung yang menjadi ikon Kalimantan Barat itu memang endemik hidup di belantara Borneo. Enggang adalah burung dewa. Karena itu, burung enggang mendapat tempat yang khusus bagi masyarakat Dayak. 

 

Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak yang berada di Jalan Patimura itu dirancang oleh seorang arsitek militer Belanda bernama Ban Noort. Sementara dalam pembangunan, prosesnya diawasi oleh bruder Kapusin. Gereja berukuran 11x20 meter persegi itu dibangun dengan dana sekitar 9.000 Gulden. Mulai dibangun tahun 1908, dan selesai dibangun akhir 1909. Hampir satu tahun masa pembangunannya. Pada Desember 1909, Prefek Pasificus Johannes Bos bersama Pastor Remigius dam Bruder Wilhelmus pindah dari rumah kontrakan ke gereja tersebut.

 

Dari mana Gereja Katedral itu kemudian diberi nama Santo Yoseph? Tak ada catatan yang sahih terkait hal tersebut. Begitu juga tidak ditemukan catatan terkait alasan, mengapa harus diberi nama Santo Yoseph. Namun, jika dilihat dari awal pembentukan Stasi Pontianak bisa ditelusuri, kenapa kemudian diberi nama Santo Yoseph. Pada kunjungan kedua, tahun 1908, ke Sejiram, Prefek Bos ingin memindahkan pusat misi ke Pontianak. Keinginan itu diwujudkan setahun kemudian, tahun 1909. Prefek berencana membangun gereja, asrama, dan rumah tinggal para suster. Saat merencanakan hal itu, Prefek menyerahkan sepenuhnya pada perlindungan Santo Yoseph. Dari peristiwa itulah kemudian diperkirakan nama pelindung Gereja Katedral itu diambil. 

 

Menurut catatan kapusin, Jepang masuk Pontianak pada 29 Januari 1941 sekira pukul 15.00. Tiga jam kemudian, sekira pukul 18.00, tentara Jepang mengumpulkan para pastor, bruder, suster, dan pegawai pemerintah Hindia Belanda di dekat tangsi militer Belanda. Di tanah kosong, yang sekarang disebut Padangball Keboen Sayoek, mereka diberi perintah oleh tentara Jepang hingga tengah malam. Mereka boleh bubar jika sudah berjanji tidak melarikan diri.

 

Pada 19 Desember 1941, Jepang menjatuhkan bom di Pontianak. Siswa Holland Chinnesse School (HCS) yang sedang belajar menjadi korban bom tersebut. Tercatat 15 siswa meninggal dunia dan 600 orang awam lainnya di beberapa tempat, yang menjadi lokasi pemboman tersebut. Gereja Katedral yang berjarak sekitar 400 meter dari lokasi bom dijatuhkan. Kendati jaraknya jauh, peristiwa itu membua para pastor, bruder, dan suster panik.

 

Pada 1959, gereja sudah tidak sanggup menampung umat. Ketika Mgr Tarcicius Valenberg ditahbiskan sebagai Vikaris Apostolik, prosesinya dipindahkan ke Singkawang. Karena itu, Bruder Cosmas Hensen OFMCap ditugasi untuk merencanakan perluasan gereja. Renovasi gereja dimulai pada 1959 dan selesai pada 28 Desember 1963. Empat tahun kemudian, pada 27 Juli 1967, Frater Hieronymus Bumbun OFMCap ditahbiskan sebagai pastor Kapusin kedua dari suku Dayak, setelah Pastor Matheus Sanding, OFMCap di Gereja Katedral tersebut. Umat memadati gereja, yang prosesi pentahbisan dilakukan oleh Mgr Herculanus van der Burgt, OFMCap.

 

Umat di wilayah Paroki Katedral St. Yosep terus bertambah. Bangunan yang sudah diperluas pada 1963 itu juga sudah tidak bisa menampung umat. Pada tahun 2011, gereja tersebut dirobohkan untuk dibangun gereja baru dengan kapasitas 3.000 orang. Gereja yang dibangun secara baru dengan perpaduan arsitektur Romawi dan Timur Tengah. Ornamen bernuansa Dayak mendominasi eksterior bangunan, dan interiornya didominasi nuansa khas Tionghoa berpadu dengan gaya klasik Eropa.


Arsitektur gereja yang baru itu dirancang untuk semakin memperkuat kesan kekhasan umat Keuskupan Agung Pontianak yang multietnis. Gereja Katedral yang sekarang ini dikenal sebagai gereja Katolik terbesar dan termegah di Asia Tenggara.

 

Ornamen di dalam gereja perpaduan motif burung Ruai, pakis, dan akar-akaran. Burung Ruai termasuk burung paling indah di Kalimantan. Tak heran, jika sebagian besar aksesori Dayak menggunakan burung ruai untuk memperindah hiasan, terutama bagian ekor dan sayapnya. Burung ini dikenal sangat lincah, elok, dan menawan. Kemudian dipadukan dengan motif pakis dan akar-akar.


Artikel Lain: Jejak Karya Kapusin di Borneo: Be A Brother For All

Selengkapnya