Pastoran sementara, Gereja Katedral, dan Sekolah St. Mikael. [Foto: Borneo Almanak & Sumbangan untuk Gereja Kalimantan]
Dua tiang berdiri kokoh di depan
Gereja Katedral St. Yosep Pontianak. Di atas tiang yang diukir dengan ciri khas
Dayak itu bertengger pula burung enggang pada masing-masing tiang. Tiang dari
kayu belian itu dipenuhi ornamen khas Dayak. Dayak menjadi suku mayoritas yang
mendiami Kalimantan Barat. Mayoritas masyarakat Dayak juga menganut agama
Katolik, sebagian lagi menganut Kristen Protestan.
Enggang itu menghadirkan simbol. Burung yang menjadi ikon Kalimantan Barat itu memang endemik hidup di belantara Borneo. Enggang adalah burung dewa. Karena itu, burung enggang mendapat tempat yang khusus bagi masyarakat Dayak.
Gereja Katedral Santo Yoseph
Pontianak yang berada di Jalan Patimura itu dirancang oleh seorang arsitek
militer Belanda bernama Ban Noort. Sementara dalam pembangunan, prosesnya
diawasi oleh bruder Kapusin. Gereja berukuran 11x20 meter persegi itu dibangun
dengan dana sekitar 9.000 Gulden. Mulai dibangun tahun 1908, dan selesai
dibangun akhir 1909. Hampir satu tahun masa pembangunannya. Pada Desember 1909,
Prefek Pasificus Johannes Bos bersama Pastor Remigius dam Bruder Wilhelmus
pindah dari rumah kontrakan ke gereja tersebut.
Dari mana Gereja Katedral itu
kemudian diberi nama Santo Yoseph? Tak ada catatan yang sahih terkait hal
tersebut. Begitu juga tidak ditemukan catatan terkait alasan, mengapa harus
diberi nama Santo Yoseph. Namun, jika dilihat dari awal pembentukan Stasi
Pontianak bisa ditelusuri, kenapa kemudian diberi nama Santo Yoseph. Pada
kunjungan kedua, tahun 1908, ke Sejiram, Prefek Bos ingin memindahkan pusat
misi ke Pontianak. Keinginan itu diwujudkan setahun kemudian, tahun 1909.
Prefek berencana membangun gereja, asrama, dan rumah tinggal para suster. Saat
merencanakan hal itu, Prefek menyerahkan sepenuhnya pada perlindungan Santo
Yoseph. Dari peristiwa itulah kemudian diperkirakan nama pelindung Gereja
Katedral itu diambil.
Menurut catatan kapusin, Jepang
masuk Pontianak pada 29 Januari 1941 sekira pukul 15.00. Tiga jam kemudian,
sekira pukul 18.00, tentara Jepang mengumpulkan para pastor, bruder, suster,
dan pegawai pemerintah Hindia Belanda di dekat tangsi militer Belanda. Di tanah
kosong, yang sekarang disebut Padangball Keboen Sayoek, mereka diberi perintah
oleh tentara Jepang hingga tengah malam. Mereka boleh bubar jika sudah berjanji
tidak melarikan diri.
Pada 19 Desember 1941, Jepang
menjatuhkan bom di Pontianak. Siswa Holland Chinnesse School (HCS) yang sedang
belajar menjadi korban bom tersebut. Tercatat 15 siswa meninggal dunia dan 600
orang awam lainnya di beberapa tempat, yang menjadi lokasi pemboman tersebut.
Gereja Katedral yang berjarak sekitar 400 meter dari lokasi bom dijatuhkan.
Kendati jaraknya jauh, peristiwa itu membua para pastor, bruder, dan suster
panik.
Pada 1959, gereja sudah tidak
sanggup menampung umat. Ketika Mgr Tarcicius Valenberg ditahbiskan sebagai
Vikaris Apostolik, prosesinya dipindahkan ke Singkawang. Karena itu, Bruder
Cosmas Hensen OFMCap ditugasi untuk merencanakan perluasan gereja. Renovasi
gereja dimulai pada 1959 dan selesai pada 28 Desember 1963. Empat tahun
kemudian, pada 27 Juli 1967, Frater Hieronymus Bumbun OFMCap ditahbiskan
sebagai pastor Kapusin kedua dari suku Dayak, setelah Pastor Matheus Sanding,
OFMCap di Gereja Katedral tersebut. Umat memadati gereja, yang prosesi
pentahbisan dilakukan oleh Mgr Herculanus van der Burgt, OFMCap.
Umat di wilayah Paroki Katedral St.
Yosep terus bertambah. Bangunan yang sudah diperluas pada 1963 itu juga sudah
tidak bisa menampung umat. Pada tahun 2011, gereja tersebut dirobohkan untuk
dibangun gereja baru dengan kapasitas 3.000 orang. Gereja
yang dibangun secara baru
dengan perpaduan arsitektur Romawi dan Timur Tengah. Ornamen bernuansa Dayak
mendominasi eksterior bangunan, dan interiornya didominasi nuansa khas Tionghoa
berpadu dengan gaya klasik Eropa.
Arsitektur gereja yang
baru itu dirancang untuk semakin memperkuat kesan kekhasan umat Keuskupan Agung
Pontianak yang multietnis. Gereja Katedral yang sekarang ini dikenal sebagai gereja
Katolik terbesar dan termegah di Asia Tenggara.
Ornamen
di dalam gereja perpaduan motif burung Ruai, pakis, dan akar-akaran. Burung
Ruai termasuk burung paling indah di Kalimantan. Tak heran, jika sebagian besar
aksesori Dayak menggunakan burung ruai untuk memperindah hiasan, terutama
bagian ekor dan sayapnya. Burung ini dikenal sangat lincah, elok,
dan menawan. Kemudian dipadukan dengan motif pakis dan akar-akar.
Artikel Lain: Jejak Karya Kapusin di Borneo: Be A Brother For All