[Foto: Arsip Rumah Sakit Alverno Singkawang]
Rumah Kusta Alverno
berada di kaki Gunung Sja Kok. Jaraknya sekitar empat puluh lima menit jika berjalan
kaki dari Singkawang. Pastor Beatus Bayens menulis awal mula koloni bagi
orang-orang sakit kusta tersebut.
“Saya tidak tahu saat dan tahun waktu beberapa orang sakit kusta digeser dari keramaian dan mulai hidup bersama di luar kota Singkawang. Yang pasti ialah bahwa sebelum para Kapusin masuk Borneo, pada 1905, sudah ada sekitar 20 orang sakit kusta hidup dekat satu sama lain di kaki gunung Sja-Kok. Apa yang mereka perlukan untuk hidup telah dikumpulkan dengan sumbangan-sumbangan sukarela, khusus dari hasil kebun gambir. Oleh Kontrolir, sumbangan-sunbangan itu diserahkan kepada sinsang Katolik bernama Tshang A Kang, yang kemudian membeli apa yang diperlukan oleh orang-orang kusta,” begitu catatan Pastor Bayens.
Pastor Fulgentius yang menemukan catatan Pastor Beatus Bayens tersebut mengungkapkan, catatan tersebut memberitahu bahwa pastor-pastor Yesuit yang sebelum 1905 telah melakukan turne ke Borneo bagian barat sudah memberi perhatian kepada orang-orang di koloni Sja-Kok. Ketika pastor-pastor Kapusin datang, perhatian yang sama diteruskan selama beberapa tahun (Arch 1928 No. 5b). Tidak lama kemudian suatu gedung sederhana didirikan sebagai kapel: atapnya dari daun. Seorang imam dari Singkawang mempersembahkan misa pada hari-hari tertentu.
Pada 1911, mungkin lebih dari sekali, setiap hari Minggu dipersembahkan misa. Dalam gereja yang lama itu presbyterium, bagian untuk imam, belum terpisah dari bagian gedung yang lain. Akibatnya sudah terjadi bahwa imam yang pada hari minggu datang untuk misa menemukan darah kering dalam kain di altar. Rupanya ada orang sakit kusta yang meletakkan lilin-lilin di atas altar itu dan kena kain altar itu waktu memasang lilinnya.
Pada 1914, Presbyterium dipisahkan dari ruangan umat menggunakan kawat ayam. Tidak ada yang bisa memasuki ruangan bagian imam. Namun, semua orang tetap bisa mengikuti misa. Di tengah kawat, disediakan pintu kecil untuk umat menerima komuni kudus. Dinding gereja dari papan dengan pintu besar untuk umat keluar masuk. Sementara imam bisa keluar masuk lewat pintu khusus, yang langsung menuju altar. Kunci pintu menuju altar tersebut dipegang oleh imam. Atap gereja sudah seng dengan lantai dari semen.
Pada 1935, kapel tersebut direnovasi kembali. Dindingnya dibuat menggunakan semen. Bangunan baru itu lebih luas dan nyaman bagi umat yang mengikuti misa. Sementara gereja lama diubah menjadi tiga ruangan untuk orang-orang sakit kusta. Atap daun diganti dengan seng. Di depan diberikan teras yang kerap disebut kakilima. Semua rumah orang-orang sakit kusta di kaki bukit Sja-Kok itu hanya berbentuk gubuk dengan atap daun saja.
Dalam beberapa arsip Rumah Sakit Alverno, Pastor Beatus mencatat, “Gubernur Jenderal Hindia Belanda telah memutuskan bahwa subsidi yang pertama kepada Leprosarium di Singkawang dapat diberikan, besarnya l10 Gulden per orang per bulan sampai maksimum 80 orang sakit lepra. Kepada seorang mandor diberikan 20 Gulden, sedangkan 50 Gulden diberikan kepada dokter.” (lihat Arch. No. 1). Pada 1920, subsidi itu telah dinaikkan (lihat Arch No 6 dan 10) menjadi 15 Gulden per orang per bulan (lihat Arch 1928 No. 3).
Pada 15 Mai 1916, Asisten Residen Singkawang menulis surat resmi No. 005/5 kepada Misi R.K. dengan permohonan agar memberitahukan: Apakah Leprosarium masih terletak di tempat yang dahulu; apakah Leprosarium menurut hemat Misi dapat diperluas, apakah daerah sekitarnya sesuai dengan tuntutan-tuntutan kesehatan, apakah Misi R.K. bersedia untuk memikul dengan sukarela pemeliharaan Leprosarium setelah lokasi diperluas. (lihatlah Arch No, 1).
Pada 13 Juli 1918, (lihat Arch No. 8) Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan menaikan subsidi terhadap Leprosarium Singkawang sebesar 10-15 Gulden. Akhir 1918, Leprosarium Singkawang telah merawat sekitar 30 orang mengidap penyakit kusta, sesuai dengan catatan yang ada dalam arsip Rumah Sakit Alverno.
Pada 19 Juli 1917, suster dari Singkawang mulai memberikan pelayanan kepada pengidap sakit kusta di Alverno. Awalnya, datang tiga kali seminggu ke koloni lepra. Suster Cajetana membalut luka-luka dan membantu mereka yang memerlukan. Kemudian, kunjungan dilakukan setiap hari.
Selama delapan tahun, Suster Cajetana berjalan kaki selama tiga perempat jam menuju Rumah Sakit Alverno. Cajetana berangkat pagi hari dari susteran Singkawang. Ia kembali ke susteran pada tengah hari. Cajetana melayani para penderita kusta itu dengan penuh kemurahan dan kasih. Ia tak mengharapkan ada balasan dari pemerintah.
Berkat bantuan pemerintah, Pastor Beatus berhasil membangun satu rumah suster di komplek rumah sakit tersebut. Pada 14 November 1925, para suster sudah bisa menempati rumah itu sehingga tidak lagi harus bolak balik ke komunitas susteran di Singkawang.
Pada 6 April 1919 (lihat
Arch 4r), Pastor Beatus mengajukan permohonan kepada pemerintah. Usulan itu
berupa bantuan subsidi sebesar 37.648 gulden untuk membangun sakit kusta yang
representatif di Singkawang. Beatus juga mengusulkan uang subsidi sebesar 50
gulden setiap bulan untuk seorang kepala perawat, subsidi sebesar 20 gulden per
bulan kepada masing-masing dua perawat lokal.
Permohonan itu diusulkan dengan disertai beberapa lembar keterangan pendukung (lihat Arc No. 3-3c). Pastor Beatus meminta bantuan lagi kepada Salib Jingga, sebuah yayasan nasional untuk melawan penyakit lepra di Hindia Belanda (arsip No. 4-4b). Pastor Beatus juga mengajukan subsidi sebesar 3.000 gulden untuk kebutuhan hal tersebut. Menurut arsip Alverno, usulan sebesar 3.000 gulden itu disetujui dan telah disampaikan oleh Maskapai Dagang Belanda di Weltevreden atas permintaan Salib Jingga pada 29 April 1919 (cfr juga arsip No. 12 tertanggal 15 Maret 1921).
Menurut arsip No 5, Pastor Beatus mengajukan permohonan kepada Residen Borneo Barat di Pontianak. Residen kemudian menulis surat kepada Mgr Pasificus Bos OFMCap pada 21 November 1919 dengan NO. 4714/A, dengan permintaan agar diberikan surat kuasa kepada Pastor Beatus. Ada juga arsip yang menyebutkan, jika tidak ada surat kuasa maka Mgr Bos sendiri yang harus mengajukan permohonan seperti itu.
Pada 16 April 1920, Pastor Beatus mengirim permohonan agar menaikan uang makan para orang sakit lepra. Hal itu harus dilakukan karena harga barang untuk memenuhi kebutuhan orang sakit kusta mengalami kenaikan (lihat arsip No, 6). Pada 24 April 1920, surat dari Inspektur Buro Geneeskundige Dienst (BGD) yang berisikan: tak dapat disetujui rencana perluasan Leprosarium untuk membangun dapur-dapur pada kamar pasien lepra masing-masing.
Pada 2 september 1920, permohonan dari Kantor Induk BGD agar permohonan dari Pastor Beatus disetujui, yaitu kenaikan subsidi bagi para pasien Singkawang berupa uang sebesar 10 gulden sebulan seorang menjadi 15 gulden. Dalam surat BGD dijelaskan, di seluruh Hindia Belanda ditetapkan sebesar 15 gulden sebagai uang subsidi bukan hanya untuk makanan melainkan berlaku juga bagi segala pengeluaran leprosarium.
Pada 4 November 1920, Surat Residen Borneo Barat, Tuan James kepada Inspektur Kepala BGD agar permohonan J.G.C. Bayens pada Agustus 1919 disetujui dengan menaikkan subsidi dengan 25 persen karena kenaikan harga kayu dan gaji kerja. Karena Surat Gubernur Jenderal pada 3 November 1920 telah disetujui beberapa hal, yakni: uang sebesar 34,526 gulden untuk mendirikan gedung-gedung baru, terhitung 1 januari 1920, diberikan subsidi sebesar 15 gulden per bulan per orang, dan permohonan lain yang tertuang dalam surat 27 Agustus 1919 akan diperhatikan dan diputuskan di kemudian hari.
Pada 5 November 1920,
diterima
surat dari Misi Manado dengan permintaan agar dikirim keterangan mengenai caranya
mendirikan semacam leprosarium.
Kemudian,
pada 23 Januari 1921, diterima kembali surat balasan dari Manado yang
mengucapkan terima kasih atas penjelasan dalam
membangun leprosarium. Pada 15 Maret
1921, surat dari
Dewan Pimpinan Salib Jingga yang minta penjelasan terkait rencana perluasan Leprosarium sesuai permohonan bantuan
sebesar 3.000 gulden. (*)