Tradisi Ba'apuk saat Merayakan Hari Natal Bagi Kanak-kanak di Kampung

December 26, 2022
Last Updated


Setiap memasuki bulan Desember, selalu mengingatkan kita akan berakhirnya tahun yang sedang kita jalani dan sebentar lagi akan memasuki tahun yang baru. Selain itu, bagi umat kristiani, bulan Desember juga berarti suatu momen perayaan kegamaan yang biasanya dinanti-nantikan, yakni perayaan Natal dan sekaligus Tahun baru. Perayaan Natal yang jatuh pada setiap tanggal 25 Desember, bagi Umat Kristiani, selain dimeriahkan dengan ibadat dan tradisi liturgi, Perayaan Natal juga selalu dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan acara yang menggembirakan, karena Perayaan Natal mengingatkan kembali  umat kristiani seluruh dunia akan kelahiran Tuhan Yesus sebagai sang juruselamat manusia.

Namun terlepas dari semua itu, tradisi berkunjung satu sama lain dengan kerabat dan handai taulan pada perayaan Natal merupakan suatu kesempatan bagi umat/masyarakat untuk merajut persaudaraan dan memperbarui hubungan yang mungkin renggang. Pada hakikatnya perayaan Natal dan Tahun baru selalu membawa kegembiraan dan sukacita, terlebih bagi kalangan anak-anak.

Bagi saya, Natal memiliki ingatan tersendiri, moment Natal selalu memanggil kembali ingatan saya akan masa kanak-kanak di kampung tempat kelahiran (Lumar). Bagi kami anak-anak kampung kala itu, yang dilahirkan era 1970 atau 1980-an, masa Natal merupakan moment yang sangat dinanti-nantikan, karena Natal berarti akan libur sekolah, bebas bermain, tidak dibebani dengan pelajaran di sekolah, bersama teman-teman pergi mencari ikan di sungai, berburu burung dengan ketapel, bermain kembang api, dan tentu yang paling seru menyulut meriam bambu yang bunyinya seperti meriam benaran.

Selain itu, bagi anak-anak kampong seperti saya, menanti kemurahan rejeki dari orang tua memberi hadiah baju, sandal/sepatu dan celana baru merupakan moment yang dinanti-nantikan. Ya, inti sebenarnya bagi anak-anak kampung seperti saya, Natal itu memggembirakan, yang tentu berbeda dengan versi anak-anak kota kala itu.

Suatu waktu, minggu kedua di bulan Desember (tahunnya saya lupa), menurut perkiraan ingatan saya kejadian itu terjadi pada tahun 1989, saya ikut berakit bersama teman-teman seusiaku, yang kala itu masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Memang tahun-tahun sebelumnya, saya tidak diperbolehkan ikut, karena belum dianggap usia belum layak (orang tua khawatir akan berbagai risiko) dalam tradisi berakit dengan bambu (Bahasa Bakatik menyebutnya; Ba’apuk).

Rakit ini dibuat oleh masing-masing kelompok, kemudian setelah rakit siap digunakan, maka setiap kelompok menempati rakit nya masing-masing untuk start-nya selalu dari hulu “Sungai Ledo” (nama tempatnya Sakipuk) dan kemudian menghilir sungai tersebut sampai di tepat permandian kampung. Jarak tempuh/rute Ba’apuk (berakit) ini kurang lebih memiliki jarak 25 km.

Pada umumnya, setiap rakit terdiri dari 6-8 batang bambu yang diruas paling ujung bambu kemudian dipasak dengan kayu lalu diikat dengan tali dari semak-semak (disebut Ukah dalam bahasa bakatik) sehingga antara bambu satu dengan yang lainnya tidak terlepas. Setiap rakit memiliki lebar 1,5-2 meter dengan ukuran panjang 5-10 meter. Setiap rakit diisi oleh dua sampai empat orang anak, tergantung dengan anggota kelompoknya masing-masing.

Momen “Ba’apuk ini bagi saya sendiri sangat menyenangkan, karena ada sensasi yang menaikan andrenalin ketika melewati lubuk-lubuk yang dalam dan arus sungai yang deras berbatu-batu. Disinilah kepala kemudi rakit mesti pandai-pandai mengalihkan arah rakit dengan galah, agar tidak membentur batu atau dinding tebing sungai. Maka sudah menjadi kebiasaan kalau “kepala kemudi” yang didepan selalu anak-anak yang kuat dan lincah memainkan galah untuk mengatur arah rakit ketika melewati arus yang deras berbatu dan tebing sungai. Saya sendiri tidak pernah menjadi kepala kemudi maupun ekor kemudi dan saya hanya sebagai penumpang yang duduk ditengah rakit dengan tugas mendorong rakit jika karam melewati arus yang dangkal.

Ketika rakit-rakit ini sampai di garis finish, semua rakit dibongkar kembali oleh masing-masing pemilik rakit, lalu bambu-bambu yang ruasnya bagus dan kuat dibawa pulang ke rumah dan bambu yang tidak dibawa pulang kemudian dihanyutkan mengikuti arus sungai yang pada akhirnya bermuara sungai sambas. Bambu yang kualitasnya baik inilah yang kemudian dijadikan “meriam minyak tanah” (Bahasa Bakatik disebut “Laogum”) karena meriamnya menggunakan minyak tanah. Meriam yang terbuat dari bambu ini berukuran 1,5-2 meter, dan meriam seperti ini merupakan suatu barang istimewah bagi kami anak-anak kampong dalam memeriahkan dan Natal dan menyambut Tahun baru. Walaupun kala itu sudah ada juga kembang api dan mercon, namun tidak seperti kembang api dan mercon seperti zaman ini.

Pada saat malam Natal dan tahun baru, meriam-meriam minyak tanah itu saling berdentuman sahut-menyahut antar satu dengan yang lainnya, hanya memang harus agak hati hati menyulut meriam tersebut, sebab kalau tidak hati-hati ketika menium lobang penyut meriang api yang masih tersisa dalam perut meriam bisa sekejap menghabiskan bulu mata, sehingga mata menjadi sembab karena bulu mata yang hilang. Meskipun demikian bagi anak-anak, kehilangan bulu mata tidak menguranggi semarak nya malam Natal dan Tahun baru yang menggembirakan.

Selain berakit (ba’apuk) dan membunyikan meriam (lagum), suasana Natal dan Tahun baru yang dapat dinikmati oleh anak-anak kampong seperti kami ialah tradisi mandi di “Riam Batu Timah”. Tradisi mandi di Riam Batu Timah ini, tidak diketahui sejak kapan dimulai dan untuk tujuan apa dimulai, tetapi yang jelas kala masa kanak-kanak kami senang-senang saja ikut tradisi mandi tersebut, karena bisa beramai-ramai pergi dengan teman-teman walaupun harus berjalan kaki menempuh ke Riam Batu Timah yang dikenal banyak pacetnya kala itu.

Biasanya tradisi mandi ini dilakukan pada setiap tanggal 2 Januari yang diikuti oleh seluruh warga (yang berminat saja) masyarakat dari kampong Lumar, Sibol dan Madi yang rata-rata orang muda dan anak-anak remaja. Sekiranya ada anak-anak yang ikut, dipastikan bersama orangtua atau saudaranya yang sudah dianggap bisa menjaganya, terutama ketika mandi di riam untuk berseluncur di atas batu timah yang cukup membuat sensasi dan sekaligus berisiko jatuh terhempas jika tidak hati-hati berjalan di atas batu karena licin.

Pada akhirnya, suasana sukacita dan kegembiraan Natal dan Tahun Baru di kampung, kala masa kanak-kanak terangkum dalam kegiatan peribadatan yang berbeda dari peribadatan pada Hari Minggu biasa. Kemeriahan peribatan Hari Raya Natal, bagi anak-anak kampong kala itu dapat dikatakan lebih pada hal-hal lahiriah semata, dapat mengenakan baju dan celana baru untuk ikut peribadatan, pada baju baru disemat hiasan bunga dari kertas krep sebagai pin yang ditusuk dengan jarum pines pada bagian ujung kerah atau dada. Setelah mendapat pin berbentuk bunga kertas itu umat dewasa/orang tua memasukan uang secara sukarela pada kotak yang disediakan. Entah, dapat ide dari mana, panitia Natal kala itu dalam upaya menghimpun dana dengan cara menyematkan pin kertas berbentuk bunga itu pada seluruh umat yang ikut peribadatan malam Natal.

Kemudian tepat pada hari Natal, 25 Desember, teristimewa anak-anak sebelum peribadatan dimulai, pembina sekolah minggu mengumpulkan anak-anak untuk ikut kegiatan lomba mewarnai gambar-gambar yang menceritakan tokoh-tokoh dalam kitab suci, dan hal ini sangat menyenangkan dan menggembirakan karena gambar-gambar yang dibagikan merupakan hal-hal baru, yang tidak gampang diperoleh pada kala itu sebagai anak-anak kampung.

Dalam suasana Natal, kegiatan sederhana tersebut sangatlah membekas dalam ingatan anak-anak seperti saya setelah dewasa akan cerita-cerita dalam kitab suci. Walaupun sesungguhnya hasil dari lomba mewarnai tersebut tidak pernah disediakan hadiah bagi pemenangnya, tetapi toh semangat anak-anak tidak surut untuk berusaha mewarnai gambar-gambar tersebut dengan sebaik-baiknya. Bahwa ada kebanggaan pada gambar-gambar yang telah diwarnai dengan baik dari tangan-tangan mungil kami sebagai anak-anak itu merupakan cara kami menikmati kegembiraan dan Sukacita Natal dan Tahun Baru dengan sangat sederhana karena memang kondisi nya memang demikian.

Beberapa nukilan ingatan mengenai Natal dan Tahun baru di Kampong yang dirasakan pada masa kanak-kanak mengingatkan saya pada arus air sungai, pada rakit yang menghanyut diarus deras, pada aroma kue kering yang sedang dioven, pada aroma lemang yang lejat dibuat oleh tangan ibu-ibu, bau durian yang sedang jatuh musimnya setiap akhir tahun, tentu ingat pada teman-teman sebaya yang mungkin sekarang sudah beranjak menjadi tua dengan rambut dikepala perlahan memutih.

Zaman telah berubah, Perayaan Natal tidak lagi seperti Natal yang pernah dirasakan oleh anak-anak yang dilahirkan pada era tahun 1980-an. Perayaan Natal dan Tahun Baru pada anak-anak millennial lebih beragam pengalaman dan hiburan. Anak-anak saat ini dimanjakan dengan berbagai pernak-pernik Natal yang menghiasai rumah tinggal bahkan rumah ibadat dan di tempat-tempat umum yang menandai bahwa Perayaan Natal sudah tiba.

Semoga Natal zaman ini selalu dipenuhi kegembiraan dan sukacita yang sejati, karena sumber sukacita dan kegembiraan sejati itu sudah lahir dari Bunda Maria, yang diberi Nama Emanuel yang berarti Tuhan beserta kita. Sang Emanuel tersebut adalah anak kampung yang membawa terang bagi kehidupan dunia. Maka dengan demikian, pada Perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini, Konferensi Wali Gereja/KWI dan Persekutuan Gereja Indonesia/PGI mengajak kita merenungkan tema; “Maka pulang lah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Matius 2:12). Tema ini mengajak kita untuk bergembira dan bersukacita seperti Tiga Raja dari Timur yang mempersembahkan barang-barang berharga kepada Sang Emanuel kemudian pulang kembali dengan penuh sukacita. Selamat Natal!

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Artikel Lain: Pesan Natal Uskup Agung: Mari Berjalan Bersama

Selengkapnya