Suster Lus datang dari Peru, Amerika Latin. Sudah sepuluh tahun, Lus berkarya di Indonesia. Suster Dominikan Bunda Maria Rosario Suci itu kini berkarya di Rumah Retret Yohanes Paulus II di Anjongan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
“Ada komunitas kami di Indonesia. Satu di Flores. Beberapa suster dari Peru juga ada yang berkarya di Flores. Ini komunitas kedua,” kata Suster Lus.
Suster Lus belum fasih benar berbahasa Indonesia.
Namun sudah cukup banyak kosakata yang diketahuinya. Ia terus belajar mengasah
kemampuan berbahasanya. Suster Lus cukup kesulitan belajar bahasa Indonesia. “Saya
ketemu anak kecil. Saya belajar sama mereka saat dalam pelayanan,” katanya.
Seorang rekan suster memberikan rekaman doa Salam
Maria dalam Bahasa Indonesia. Suster Lus memutar rekaman itu. “Ini bahasa apa? Saya
tidak mengerti satu kata pun.” Begitu reaksi Suster Lus saat mendengar rekaman
yang diberikan seorang suster dari Indonesia tadi. Kendati begitu, ia terus
mendengarnya. Apalagi, saat ini Suster Lus berkarya di Indonesia, yang
mengharuskannya bisa berbahasa negara tersebut.
Di Peru, Suster Lus bercakap dalam bahasa Spanyol. Hampir
tak ada kosakata yang sama antara bahasa tersebut dengan bahasa Indonesia. Kendati
sulit berkomunikasi karena berbeda bahasa, Suster Lus sangat senang berkarya di
Indonesia.
“Sudah susah belajar bahasa, susah juga dalam hal
makan. Semua berbeda. Ditambah lagi susah mengurus dokumen izin tinggal. Harus
bayar tiap bulan. Walau begitu, kami tetap setia memberikan pelayanan bagi
orang-orang di sini,” kata Lus.
Suster Lus juga belajar makan masakan Indonesia, yang
di Peru tak pernah dimakan. Dia suka makan nasi putih tanpa garam. “Ini favorit
saya. Di Peru, nasi kami beda. Masak nasi dengan garam seperti bikin nasi
goreng, kalau orang Indonesia bilang,” katanya.
Bukan hanya cara makan nasi yang harus dibiasakan Suster
Lus. Cara makan sayur juga mesti belajar. Di Peru, kata Lus, tidak pernah makan
daun ubi, rebung, labu, juga buah Nangka dijadikan sayur. “Rambutan durian tidak
ada di Peru. Saya belajar makan rambutan dan durian di Indonesia,” ceritanya.
Ketika Uskup Agung Pontianak, Mgr Agustinus Agus
menyerahkan pengelolaan Rumah Retret Yohanes Paulus II Anjongan kepada
komunitas Suster Dominikan, Suster Lus dan beberapa koleganya mendapat tugas
tersebut. Ia berharap, warga yang berkunjung dapat tumbuh dalam iman. Rumah
Retret juga membuka penginapan, bukan hanya untuk umat Katolik, umat agama lain
juga diperkenankan.
“Rumah Retret ini terbuka bagi semua orang,” katanya.
Rumah Retret ini dibangun di kawasan Gua Maria
Anjongan. Pada 23 Oktober 2020, Uskup Agung Mgr Pontianak, Agustinus Agus memberkati,
yang kemudian memberikan nama Rumah Retret Johanes Paulus II. Sementara peresmian
dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji sehari sebelumnya, yakni
pada 22 Oktober 2020. Proses pemberkatan dan peresmian dilakukan dengan protokol
kesehatan karena masih suasana pandemi Covid-19.
“Banyak sekali
orang yang mengambil bagian dalam pembangunan rumah retret ini. Selain
bersyukur kepada Tuhan, kita juga bersyukur karena banyak orang yang baik yang
peduli pada kegiatan kita ini. Mereka sungguh membantu kita dengan niat yang
tulus,” kata Uskup Agus.
Uskup Agus mengajak
para imam dan suster untuk merenungkan setiap program dan tugas yang akan
dikerjakan. Setiap akan melaksakan suatu program, maka hendaknya menyadari
kembali isi program tersebut, apakah membuahkan kebaikan atau malah membuahkan
perpecahan.
“Tetapi kalau kita mengerjakan tugas, begitu juga dengan setiap program yang ada, saya sadari apakah program ini membuahkan kebaikan atau membuahkan perpecahan,” ungkap uskup yang piawai dalam berpantun ini.
Sumber: Komsos KAP
Artikel Lain: Valentinus Saeng; Filsuf Dayak yang Diangkat Sebagai Uskup Sanggau