[Sumber: Sumbangan kepada Sejarah Gereja Kalimantan/Arsip Kapusin Belanda]
Tulisan ini bersumber dari arsip Kapusin di Belanda. Pastor Amantius, OFMCap
menerjemahkan catatan itu beberapa tahun lalu. Dalam serial ‘Sumbangan kepada
Sejarah Gereja Kalimantan’, catatan ini merupakan bagian ketujuh. Catatan misionaris
Katolik tentang sekolah yang dibangun di Singkawang. Sekolah itu disebut Sekolah
Cahaya, namun sebenarnya Sekolah St. Dionysius
Ketika tiba di Singkawang pada 30 November 1905, para Kapusin yang dipimpin oleh Prefek Jan Pasificus Bos OFMCap mulai merencanakan untuk membangun sekolah. Rencana itu direalisasikan sehingga pada 1907 sudah bisa diresmikan.
Prefek Pasificus Bos dalam suratnya pada 15 Agustus 1906 menyetujui jika Pastor Beatus memimpin Stasi Sejiram. Namun, kecakapan Beatus berbahasa China justru sangat berguna terkait rencana membangun sekolah di Singkawang. Prefek Bos memutuskan Beatus tetap di Singkawang.
“Sekolah di kota memerlukan tenaga yang lebih kuat dari Sejiram. Tetapi, Pastor Eugenius akan melaksanakan tugas dengan baik. Eugenius cukup bijaksana dan religius,” tulis Prefek Bos dalam suratnya.
Pada 23 Agustus 1906, banyak orang berharap dibangun sekolah untuk anak laki-laki. Agar banyak menerima informasi tentang persekolahan, Prefek Bos mengunjungi Mill Hill di Serawak. Ada empat orang Katolik asal Singkawang yang bersekolah di Mill-Hill. Bos memerlukan uang sebesar 30 Gulden untuk berangkat ke Mill-Hill. “Melihat cara hidup mereka, kami berpandangan bahwa sekolah di Mill Hill menghasilkan orang-orang yang bagus,” kata Prefek.
Prefek melihat perlu disusun Langkah yang strategis untuk membangun sebuah sekolah. Sekolah di Singkawang tidak disamakan dengan membangun sekolah di kampung. Kami, tulis Prefek Bos, akan menimbang secara matang sebelum mengambil keputusan.
Pada malam hari, 25 Agustus 1906, Prefek Bos berangkat ke Kuching, Serawak dengan menumpang kapal Bandung. Kalau cuaca bersahabat, perjalanan akan memakan waktu sekitar tiga hari. Jika cuaca kurang bersahabat, terutama perjalanan melawan angin, dibutuhkan waktu sekitar tujuh hari. Ongkos berlayar sekitar 10 dollar. Tetapi, Prefek Bos juga harus mengurus perbekalan, terutama makanan.
“Saya senang sudah mengunjungi Serawak. Saya berkenalan dengan cara kerja misi, baik di antara orang-orang China maupun orang-orang Dayak. Saya belajar banyak dari kunjungan itu,” catat Prefek Bos pada 19 September 1906.
Kemudian, pada 30 September 1906, Pastor Beatus berangkat ke Pangkalan Batu, yang memerlukan waktu sekira lima jam dari Singkawang. Di tempat itu, dijual sisa pertambangan emas (alluvia). Pastor Beatus membeli 103 rel kereta api seharga 15 gulden. Ia membeli atas seng seharga 60 gulden. Barang-barang itu akan digunakan untuk membangun sekolah yang baru. Kendati tidak mudah, barang-barang itu jadi juga diangkut.
Para misionaris mulai memikirkan dan menghitung tentang sekolah yang baru. Biaya yang akan dikeluarkan cukup tinggi, melebihi apa yang dipikirkan sebelumnya. Saya berpikir, tulis Prefek Bos, “di bawah ada kelas-kelas, di atasnya ada loteng untuk tidur, juga kamar untuk penjaga. Akan nyata bahwa datang cukup anak pria. Barangkali juga anak-anak dari orang-orang Cina yang berada.”
Hingga 18 November 1908, belum ada keputusan tentang sekolah tersebut. Pihak misionaris membahas secara detil terkait rencana tersebut. Prefek Bos meminta seorang arsitek dari Pontianak untuk menghitung semua kebutuhan pembangunan sekolah. Namun, belum ada jawaban yang pasti.
Sekitar Maret 1907, rumah suster, sekolah, dan gedung yatim piatu sedang dikerjakan. Prefek Bos berharap, pada Juni 1907, sekolah untuk anak laki-laki sudah bisa dibuka. Pada akhirnya, pembukaan sekolah ditentukan pada 1 Juli 1907.
Prefek Bos sangat senang. Dalam suratnya pada 14 Juli 1907, ia menulis telah mendengar dan membaca surat dari penduduk Kota Tilburg, Belanda. Penduduk Tilburg berencana dan kemudian mengumpulkan uang untuk membantu misi di Borneo. Dengan mengumpulkan sumbangan, kalian telah membantu pembangunan sekolah di Singkawang.
“Diberitahukan kepada kami, seluruh kota Tilburg berpesta meriah dan telah mengumpulkan uang sebanyak 6400 gulden. Sumbangan yang bukan main besarnya. Hati kami sangat gembira. Kami langsung telah berdoa untuk kalian,” kata Prefek Bos.
Prefek mengatakan, cita-cita para misionaris adalah mendirikan sekolah misi. Sisa uang akan digunakan untuk rumah yatim piatu yang diurus oleh para suster. Prefek Bos juga telah memberitahukan kebaikan hati warga Tilburg kepada orang Katolik di Singkawang.
“Kami mohon agar mereka (orang Katolik Singkawang) jangan melupakan
semua penderma. Mereka mahfum juga bahwa sebuah sekolah penting sekali bagi
anak-anak. Sebagai tanda ingatan, kami memutuskan bahwa sekolah ditempatkan di bawah perlindungan Santo Dionysius,
pelindung kota Tilburg,” tulis Prefek Bos.[]