Siapa Melayu Menurut Perjanjian Sultan Banjar dan Belanda?

December 15, 2022
Last Updated

Foto Pangeran Hidayatullah dari Banjarmasin

Sejumlah definisi di Kalimantan, misalnya, soal nama Dayak bermula dari Perjanjian Belanda dan Sultan di Banjarmasin. Termasuk, bagaimana negeri-negeri Kalimantan dikuasai Belanda berawal dari perjanjian Sultan Banjar dan Belanda. Mengapa demikian? Sudah diterangkan oleh Hikayat Banjar, bahwa sejak zaman Raden Suryanata dari Majapahit berkuasa di Dipa, negeri orang Sambas, orang Sukadana, orang Batang Lawai, orang Biaju, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan adalah kawasan koloni kekuasaan Dipa yang setiap tahun mengirim upeti. 

Selanjutnya, Dipa berubah jadi Daha. Saat Daha berkuasa, kawasan yang disatukan Pangeran Suryanata dari Majapahit (Di Sukadana bernama Pangeran Prabu) tetap jadi koloni Daha. Di zaman Samudera berkuasa, Dipa jadi Kerajaaan Banjar  dan kawasan koloni Dipa dan Daha tetap jadi koloni Banjar. 

Dipa dan Daha adalah koloni Majapahit, selanjutnya saat Majapahit runtuh dan Demak yang berkuasa, Kerajaan Banjar menjadi koloni Demak dan harus membayar upeti setiap tahun. 

Belanda melihat peluang sejarah dan koloni politik ini. Untuk menguasai Kalimantan cukuplah VOC dan kemudian Pemerintah Kolonial berkontrak dengan Sultan Banjarmasin. Ada banyak perjanjian soal itu, dari tahun 1700-an sudah ada. Namun yang dibuat sebelum perang adalah perjanjian antara Sultan Sulaiman dengan Penguasa Kolonial yang dibuat tahun 1818, dimana perjanjian merevisi semua perjanjian yang sudah dibuat sebelumnya. 

Dalam perjanjian nomor (pasal) kelima yang dibuat itu, dijelaskan bahwa Sultan Sulaiman menyerahkan Lodji Tatas, Kuin, Negeri Dayak, Sampit, Kutawaringin, Sintang, Negeri Lawai (Kapuas Kalbar), Jelai, Bakumpai, Tabanio, Pagatan, Pulau Laut, Pasir, Kerasikan, Kutai dan Berau kepada Belanda. Artinya dari pasal ini, hampir seluruh Kalimantan menjadi kawasan kekuasaan Dagang Belanda. (Ketika Keresidenan menghapus Kesultanan Banjar, kawasan ini menjadi kawasan dibawah kolonial yang berpusat di Batavia). 

Lalu, siapakah Melayu menurut definisi Sultan Banjar dan Belanda? Dalam perjanjian yang dibuat oleh Sultan Sulaiman dan Putranya, Sultan Adam sebelum perjanjian 1818 dibuat di Bumi Kencana, pada pasal ke-11 disebutkan bahwa hukum Belanda dikenakan kepada orang Cina, Melayu, Kodja, dan Bugis. Sedangkan orang Banjar taat kepada hukum Sultan. 

Selanjutnya, di Kota Intan Batawiah, 21 November 1797 Sultan Sulaiman Saidilah dan Sultan Adam kembali merevisi perjanjian dengan Belanda. Dimana pada pasal ke-11 perjanjian di Kota Intan ini disebutkan bahwa orang-orang dagang, yaitu Cina, Kodja, Melayu dan Bugis tunduk kepada hukum Belanda. Sedangkan orang Banjar tunduk kepada hukum Sultan (Orang Dayak saat itu punya hukum sendiri, yaitu hukum adat). 

Berdasarkan kelompok yang dibuat oleh Sultan dan Belanda ini, Melayu bukan Banjar. Melayu dikategorikan sebagai Orang Asing yang datang berdagang saat itu. Kedudukan orang Melayu sama dengan orang Cina, Bugis, Makasar, Kodja yang datang ke Borneo untuk berdagang.  

Perjanjian antara Sultan dan Belanda tidak menjelaskan bagaimana dan darimana asal Melayu ini. Oleh sebab itu, kita harus membaca dokumen lain, yang lebih tua. Dokumen Tome Pires mengatakan bahwa negeri-negeri di Borneo sudah berdagang dengan negeri Melayu di Malaka. 

Selanjutnya, kita dikacaukan oleh tulisan-tulisan lain, khususnya tulisan orang Belanda, misalnya tulisan Perelaer, William REES, Schwaner, Pijnapple dst yang mungkin tidak berpijak kepada dokumen perjanjian Sultan dan Belanda, sehingga mereka seringkali menyebut orang-orang Pantai sebagai Malajer, Malaijer (Melayu). 

Penulis: Damianus Siyok

Artikel Lain: Benarkah Ada Budak Perang dalam Masyarakat Dayak?

Selengkapnya