Tentang Dia dan Paramita (bag - 1)

December 20, 2022
Last Updated


Setelah salat Isya, biasalah. Aku keluar rumah hendak  makan malam. Tujuanku ke kedai Misna, rumah kecil pinggir jalan  berdinding papan tanpa cat, atapnya dari seng putih bergelombang tanpa dek. Lokasinya tak jauh sebelum masuk Pasar Inpres Tanjung Nipah. Di kedai Misna tersedia  menu makanan murah. Ada nasi putih, beragam  sayur  dan lauk-pauk siap santap seperti warung tegal.   Aku mengambil nasi putih  tumis kangkung, sambal tomat dan asam pedas ikan sembilang, sebotol kecil air minum dalam kemasan   duduk di meja belakang dekat sudut ruang. 

Belum sempat aku menyendok nasi ke mulut, ponsel bergetar. Cahaya putih memancar di-display. Ah, Mardiana lagi! Tujuh menit terakhir telah tiga kali ia berkirim WhatsApp.  Hendak meminta jawaban, katanya.  Tentang pertanyaannya kemarin;  ke depan kita gimana, apakah hubungan kita bisa lebih serius lagi? Katanya, karena pertanyaan yang belum kujawab itu ia tak bisa tidur nyenyak bahkan tak tidur semalaman. Kepikiran! Aku senyum saja. Kenapa harus menyiksa diri begitu?

Tiga pekan terakhir aku memang biasa ngobrol dengan Yana, begitu aku  memanggilnya.  Soal keinginannya  menjadi penulis novel best seller yang bisa membawa namanya menjulang di jagad sastra nasional. Telah ada empat judul novel  ia persiapkan tetapi belum satupun  yang rampung! Satu novel baru ada tiga atau empat bab. Ada pula novel hanya judul belum ada isinya. Ia ingin aku membaca   draft novelnya lantas mau memberikan kritik dan saran perbaikan.

Semula itu saja obrolanku dan Yana. Hanya seputar  novel. Lama-lama sikap Yana kurasa berbeda. Ia tak lagi sekadar bicara soal novel tetapi lebih dari itu, telah menyerempet ke soal pribadi antara perempuan dan seorang lelaki. Melebar ke mana-mana.  Aaah, janganlah! Jangaannn...!

Yana hadir dalam hidupku ketika urusan dengan Paramita belum selesai. Urusan  Umar anak kami semata wayang, umurnya belum genap tujuh tahun. Bulan kemarin ia baru masuk kelas satu Sekolah Dasar.  Sebenarnya sejak peristiwa perceraian kami dulu, aku ingin Umar tinggal bersamaku. Sekarang  makin kuat keinginan itu setelah sepupunya  berkirim kabar, Paramita telah berhenti kerja. Jika benar begitu,  duh, bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan Umar sehari-hari,  uangnya dari mana? 

Aku benar-benar  tak sabar ingin segera  datang ke Ketapang menjemput Umar, membawanya pindah  ke  Tanjung Nipah. Paramita jelas tak setuju. Ia tak pernah mau menuruti keinginanku. Kirim saja uang keperluan Umar tiap bulan, katanya melalui si adik sepupu. Hhmmm, inilah! Paramita terus mencari gara-gara. Selalu saja  memancing emosiku. Bagaimana bisa kukirim uang untuk Umar, apa saja keperluannya jika  ia  tak memberi tahu,  tak mau bicara denganku. Serba salah jadinya! Tak kukirim uang dianggap tak peduli dengan anak, kirim uang aku tak tahu untuk keperluan apa. Hhmm, Paramita!   Perempuan Jawa yang lama tinggal di Ketapang  telah menjadi istriku selama tiga tahun. Kuabaikan sejenak wajahnya dari dalam benak, kubaca pesan dari Yana.

“Pak Yudi boleh Yana telepon?” tulisnya langsung kubalas;

“Untuk urusan apa?”

“Urusan pertanyaan Yana yang belum Bapak jawab.”

“Lain waktu ya,”

“Lima menit saja,”

“Maaf tak bisa,”

“Tiga menit,”

“Tak bisa,”

“Satu menit, Pak?”

“Kalau satu menit sebaiknya jangan bicara,”

“Dih koq jawabannya gitu? Yana mau bicara sebentar, Pak.”

Aku diam. Kuletakkan ponsel di dekat piring. Kutarik napas panjang. Geleng-geleng kepala. Hilang sudah nafsu makanku!

Aku memang telah berpisah dengan Paaramita tetapi tak  berarti aku trauma hendak membangun rumah tangga  dengan perempuan lain.  Hanya,  itulah! Aku bukan tipe lelaki yang mudah jatuh cinta. Ketika seorang perempuan hendak menjalin hubungan serius denganku, sikapnya  biasa-biasa sajalah dulu. Jika belum ada komitmen apa pun untuk berumah tangga  tak perlu posesif.  Agresif. Apalah. Apalah! Ih, aku malah kesal menghadapi perempuan tipe begitu. Jadi ilfeel!

Aku mengimgat Paramita lagi. Pernikahan kami memang tak lama.  Setelah  terbit akta cerai dari Pengadilan Agama ia memutuskan pulang ke rumah orang tuanya di Ketapang membawa Umar, aku memilih tetap bekerja dan tinggal di Tanjung Nipah bersama ibu, umurnya enam puluh tiga.

Begitulah! Paramita bersikeras ingin selalu berada di Ketapang, tak mau bersamaku di Tanjung Nipah. Jadinya, aku gagal dalam membangun rumah tangga. Agar tak terulang kegagalan dengan sebab yang kurang lebih sama, aku menetapkan syarat untuk siapapun  perempuan yang kelak menginginkan aku menjadi suaminya. Pertama, mau menerima Umar seperti anak sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kedua, mau kuajak pindah  ke luar Tanjung Nipah sesuai instruksi pimpinan di kantor.

Jika dua syarat itu bisa dipenuhi, masih ada ganjalan; Paramita! Dialah  cinta pertamaku, selalu ada dalam kenangan. Ponselku bergetar memantik rasa gusar. Mardiana lagi!

“Pak, besok pagi  kita bisa ketemu? Yana ke kantor Bapak ya,” pesannya tak kubalas. Aku melanjutkan  makan malam tanpa selera. Asal makan saja, sekadar menjaga gangguan maag tak kambuh. Usai makan, aku berjalan menuju meja sebelah kanan dekat pintu, Misna perempuan tiga puluh tahun pemilik kedai  duduk menyungging senyum  manis.

“Berapa?” tanyaku. Misna melihat catatan di buku kecil, menekan angka-angka di kalkulator hitam. 

“Lima belas ribu, Bang.” katanya. Kukeluarkan dompet dari saku kanan belakang celana jeans, menarik selembar uang kertas sepuluh ribu dan lima ribu, mengulurkannya ke Misna. 

“Pas!” katanya.

“Terima kasih,” ucapku lantas pulang. Selama tujuh menit di jalan, belum sampai ke rumah, entah berapa kali ponselku dalam tas kecil mode sillent bergetar. Pasti Mardiana, dugaku gusar. Sampai di halaman rumah dan memarkir sepeda motor, kubuka ponsel. Tujuh  panggilan tak terjawab dari …  Hhmm, perempuan itulah! Semua pesannya kubaca tak satupun kubalas!

Mendengar suara sepeda motor dan ucapan salamku ketika masuk rumah,  Ibu keluar dari biliknya. Berjilbab lebar, bergamis, membawa ponsel jadul yang biasa disebut hape senter.

“Ibu sudah makan?”  tanyaku. “Tadi aku makan di luar, Ibu masih salat. Maaf ya, Bu. Aku bingung mau belikan Ibu makanan apa,” 

“Sudah, ndak apa-apa. Ibu sudah makan.”  jawab ibu duduk di bilik tamu menatapku. “Duduk, Yud.”

Aku lantas duduk di depan ibu. Menunggunya   bicara. Jika sudah mengajakku duduk di bilik tamu pasti ada sesuatu yang akan dibicarakan.

“Gimana hubunganmu dengan Yana?” tanya Ibu mengagetkan aku.

“Maksud Ibu? Eemm, maksudku ibu mau tahu soal Yana?” Aku gugup.

“Kamu tahu, Yudi. Kemarin setelah acara maulid di masjid kampung kita dia datang ngajak   foto dengan ibu lalu kami sempat ngobrol sebentar,”

“Ya, foto itu telah disebarnya jadi status WhatsApp,  di-posting di Instagram pribadinya juga, Bu. Aku sebenarnya tak suka karena ia tak ada bicara denganku tetapi mau gimana lagi?” kataku  gusar. “Ak tak bisa melarang Yana begitu. Dia bukan siapa-siapa aku,”

“Sepertinya dia  menyimpan   maksud atau keinginan pribadi pada kamu, Yud.”

“Ibu melihat itu?”

“Naluri ibu mengatakan begitu,”

“Aku dan Yana tak ada hubungan apa-apa, Bu.” kataku geleng-geleng kepala.

“Serius?!”

“Iya, Bu.”

“Kalian ndak pacaran?” desak ibu. Aku menggeleng lagi.

“Aku tak mau pacaran. Bukan waktunya lagi, Bu. Kalaupun kami benar-benar berhubungan dekat, berpacaran, Ibu adalah orang pertama yang kuberitahu,”

“Baiklah, ibu percaya kamu, Yudi.” ujar Ibu lantas tersenyum.  

“Ibu kenapa? Ibu senang jika aku tak ada hubungan apa-apa dengan Yana?” 

“Bukan. Ndak gitu, Yud. Tadi sebelum kamu datang, ibu menerima telepon dari menantu ibu,”

“Menantu ibu? Bukan calon menantu ibu kan?” Aku  heran. Siapa yang dimaksud Ibu dengan calon menantunya. Apakah Mardiana telah berani menelepon ibu? Apakah ibu mau menerima Mardiana sebagai menantunya yang baru sebagai pengganti Paramita?

“Eh, Yud.  Dengar ya. Menantu ibu itu, mantan menantu dari Ketapang,” Ibu menjelaskan. Wajahnya berbinar cerah.

“Paramita?” desakku. Ibu mengangguk.

“Mantan menantu yang akan jadi menantu ibu lagi. Tadi kami  ngobrol tentang rencananya bersamamu,“

“Rencananya bersamaku? Maksud Ibu apa ya? Gimana, Bu? Gimana?” Aku menatap ibu tak berkedip, mengulangi kata-katanya. “Mantan menantu yang akan jadi menantu ibu lagi?” 

“Buka saja WA-mu. Itu baru langkah awal. Paramita memutuskan berhenti bekerja agar bisa kembali ke sini,” kata ibu tak kudengar benar, buru-buru membuka ponsel, membaca satu pesan dari Paramita.

“Bang Yudi, Insya Allah besok aku berangkat  ke Tanjung Nipah bersama Umar.  Tunggulah aku datang.” tulisnya dengan emoticon berbentuk hati merah marun berderet sampai tujuh buah.

Kutarik napas, tak percaya dengan apa yang kubaca.  Setelah bertahun-tahun pisah tanpa pernah mau bicara tiba-tiba Paramita berkirim pesan akan datang ke Tanjung Nipah. Benarkah?! Ya, Allah...!

“Datanglah, Mita. Aku selalu menunggumu. Untuk Umar!” tulisku terkirim langsung  dibaca Paramita. Seketika hatiku membuncah, penuh bunga-bunga bermekaran indah. Belum lama membalas pesan Paramita, ponselku bergetar lagi. Panggilan masuk dari Mardiana. Panggilan yang kuabaikan.

Penulis: E. Widiantoro

Cerita Lain: Calon Menantu Ibu 

Selengkapnya