Benih Injil yang Ditaburkan di Borneo Tumbuh Bak Pohon Rindang

January 12, 2023
Last Updated

Foto: Borneo Almanak

Bagaimana wilayah Borneo menjadi sebuah keuskupan? Bermula dari sebuah wilayah Prefektur Apostolik Borneo Belanda. Kini, Borneo yang disebut Kalimantan ini, sudah memiliki enam keuskupan dan dua keuskupan agung.

Semula wilayah Prefektur Apostolik Borneo Belanda hanya mencakup daratan pulau Borneo, sekarang disebut Kalimantan. Sebelum menjadi prefektur, Pulau Borneo masuk dalam wilayah pelayanan misi Vikariat Apostolik Batavia. Prefektur Apostolik Borneo Belanda ini menjadi cikal bakal dari keuskupan-keuskupan di Kalimantan.

Sejak 1800-an ada upaya dari kelompok religius Katolik menyebarkan kabar gembira di Borneo, namun kurang memuaskan. Pada 11 Februari 1905, Sri Paus di Roma mengeluarkan dekrit pembentukan Prefektur Apostolik Borneo Belanda. Ordo Kapusin Provinsi Belanda dipercaya untuk melayani daerah misi tersebut. Pada 10 April 1905, Pastor Pacificus Bos, Provinsial Kapusin Provinsi Belanda diangkat menjadi Prefektur Apsotolik Borneo. Beberapa hari kemudian dipilih tiga orang pastor dan dua bruder Kapusin untuk menemani Pastor Bos menuju Borneo.

Perkembangan wilayah pelayanan misi ini tercatat dalam Borneo Almanak yang dialihbahasakan oleh Pastor Yeremias Melis, OFMCap, Sejarah Dimulainya Monfortan Hidup dan Karya di Indonesia 1939-2005, Piet Derckx, SMM, 2008, dan orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1903, Karel Steenbrink.   

Pada Jumat, 26 Mei 1905, Pastor Bos yang baru diangkat sebagai Prefektur Apostolik Borneo beraudiensi dengan Sri Paus Pius X di Roma. Dalam pertemuan tersebut, Sri Paus Pius X merasa gembira karena para Kapusin Belanda rela mengambil bagian dalam karya misi di Borneo yang sangat berat. Pada akhir perjumpaan tersebut Bapa Suci memberi berkat khusus pada Prefektur Apostolik Borneo Belanda. Sembari meletakkan tangan di kepala Pastor Pasificus, Paus Pius X berkata dengan suara terharu, “Semoga benih Injil segera ditaburkan di Borneo laksana biji sesawi yang kecil pada awalnya tetapi menjadi semakin tumbuh seperti pohon yang rindang.”

Tiga belas tahun berjibaku dengan karya misi pada wilayah yang luas, misionaris kapusin menerima peningkatan status wilayah pastoralnya. Pada 13 Maret 1918, wilayah Prefektur Apostolik Borneo Belanda ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Borneo Belanda yang dengan demikian status Prefektur Pastor Pacificus Bos, OFMCap menjadi Vikaris Apostolik Borneo Belanda. Pada 17 November 1918, Pastor Pacificus Bos, OFMCap ditahbiskan sebagai Uskup untuk Vikariat Apostolik Borneo Belanda oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Uskup Vikariat Apostolik Batavia.

Pembagian Wilayah Misi Katolik di Kalimantan

Selain pemekaran wilayah pastoral yang luas, tonggak sejarah penting di Vikariat Apostolik Borneo Belanda di bawah kepemimpinan Mgr. Pacificus Bos, OFMCap setelah kurang lebih tigapuluh tahun melayani tanah misi, ia mengambil keputusan dengan berani untuk membuka Seminari Menengah di Pontianak tahun 1933. Dengan dibukanya seminari, berarti memungkinkan bahwa akan tersedia tenaga imam lokal yang akan melanjutkan karya misi kemudian hari.

Setahun kemudian setelah seminari menengah dibuka, ia memohon kepada Vatikan untuk dibebastugaskan dari tanggungjawabnya sebagai Vikaris Apostolik Borneo Belanda. Permohonan itu dikabulkan oleh Vatikan pada 1934. Setahun kemudian Vatikan mengangkat Pastor Tarcisius van Valenberg, OFMCap sebagai Vikaris Apostolik Borneo Belanda. Pastor Valenberg ditahbiskan sebagai Uskup oleh Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, OFMCap (Vikaris Apostolik Padang) pada 5 Mei 1935 di Singkawang.

Tiga tahun kemudian, pada 21 Mei 1938, Vikaris Apostolik Borneo Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Pontianak dengan wilayah seluruh Kalimantan Barat. Setahun sebelumnya, pada 1937, Afdeeling Timur Kalimantan menjadi wilayah misi yang mandiri dengan status sebagai Prefektur Apostolik Banjarmasin dengan Prefektur pertamanya, Pastor Kusters, MSF (kelak dari Prefektur Apostolik Banjarmasin ini melahirkan Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Palangkaraya, dan Keuskupan Tanjung Selor). Wilayah Prefektur Banjarmasin ini mencakup wilayah Kalsel, Kalteng, dan Kaltim yang diberi tanggungjawab pelayanan misi pada Misionaris Sacti Famili (Misionaris Keluarga Kudus) yang dikenal dengan MSF. Para Pastor Misionaris Keluarga Kudus ini sudah berkarya di Kalimantan Timur sejak tahun 1926.

Pada 1938, untuk melayani Sintang, Kapuas Hulu, dan Melawi, maka pelayanan misi diserahkan pada Pastor-pastor Serikat Maria Monfortan yang dikenal dengan SMM. Mereka mulai berkarya pada 1939. Sedangkan untuk Ketapang dan sekitarnya diserahkan pada pasionis, yang dikenal dengan Konggregasi CP. Pasionis mulai berkarya pada 1946. Dengan tenaga misi dari beberapa tarekat dan ordo tersebut, diharapkan Sintang dan Ketapang akan menjadi dua wilayah misi mandiri yang terlepas dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dengan demikian pembagian wilayah Borneo Belanda menjadi dua daerah gerejawi, Vikariat Apostolik Pontianak (seluruh wilayah Kalimantan Barat) dan Prefektur Apostolik Banjarmasin dimulai sejak 1937.

Vikariat Apostolik Pontianak terdiri atas wilayah Sintang dengan luas 62.000 km², dengan lebih 160 ribu penduduk. Bisa jadi nanti akan menjadi prefektur mandiri. Di situ juga letak tempat-tempat historis, sepertiSejiram, stasi tertua, Benua Martinus, dan Rumah Nazareth. Sedangkan Ketapang, dengan luas 34.00 km², dengan lebih 82.000 penduduk, merupakan daerah misi dari Pasionis. Bagian Pontianak dan Singkawang, dengan luas 50.000 km², dengan 560.000 penduduk, masih tetap menjadi daerah misi Kapusin, termasuk Sanggau dan Sekadau. Kemudian empat tarekat religius kelompok pengikut St. Fransiskus dari Asisi membantu karya di Vikariat Apostolik Pontianak di antaranya; Bruder-bruder dari Hujbergen (MTB), Suster-suster Fransiskanes dari Veghel (SFIC) dan Suster-suster Fransiskanes dari Etten (KFS), serta Suster-suster Kontemplatif Klaris Kapusines.

Pada 1930-an, tanah misi Borneo menjadi lahan yang menjanjikan bagi para misionaris dalam mewartakan kabar baik dan pelayanan di beberapa bidang kehidupan. Beberapa kelompok tarekat religius menjadikan Borneo sebagai daerah misinya. Sementara semangat misi mencapai suatu gairah, memasuki periode 1941-1945, ketika Jepang menguasai Nusantara dan menginternir orang-orang Belanda, baik militer maupun sipil, termasuk para misionaris yang berasal dari Belanda juga masuk Kamp Internir di Kota Kuching-Serawak. Para misionaris dapat dikatakan mengalami awan gelap kehidupan, penderitaan, penyiksaan, dan kelaparan bahkan kematian menimpa hidup mereka. Selama kurang lebih empat tahun para misionaris mengalami “pembuangan” yang sangat menggenaskan oleh perlakuan serdadu Jepang yang kejam.

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

 

Selengkapnya