Kunjungan Gubernur Jenderal ke Pontianak pada 1920 disambut oleh perwira militer dan barisan serdadu. [Foto: Borneo Almanak]
Borneo tidak dianggap penting oleh Belanda. Pemerintah
Belanda di Batavia hanya menganggap Borneo sebagai kepemilikan luar. Sementara Jawa
dan Madura disebut sebagai daerah kepemilikan. Tak heran jika pembangunan di
Borneo tidak diperhatikan. Kekayaan alam di Borneo diambil untuk membangun wilayah
lain. Kepemilikan luar ini diartikan sebagai wilayah yang tidak penting oleh
pemerintah Belanda.
Bruder Bavo, OFMCap mencatat, ketika tiba di Pontianak
dan Singkawang pada 1911, tidak ada jalan yang bagus. Padahal hasil bumi Borneo
ini menyumbang berjuta-juta pada pemerintah, tetapi hasil dari kekayaan itu digunakan
untuk membangun wilayah lain. Borneo diabaikan begitu saja dengan tumbuhan semak
berlukar dan tanah gambut, yang tidak bisa dilewati atau dimasuki, yang tidak
bisa ditembus.
Sebagai misionaris, Bruder Bavo masih mengungkapkan rasa
malu dan kesal bahwa daerah Borneo tidak diperhatikan pembangunannya. Ia
menulis dalam Borneo Almanak, “Saya
sering malu dan sakit hati tinggal di sini. Kami tinggal di sini antara
penduduk-penduduk. Mencoba untuk memajukan mereka, membawa kebahagiaan. Kami
membangun sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, tempat orang kusta, dan
mengalami pertentangan dari oknum-oknum pemerintah secara tersembunyi. Saya
masih belum mengeluh karena kami tidak menerima bantuan atau subsidi, tetapi
karena kami sering mengalami perlawanan dan perusakan secara diam-diam. Kalau
hal itu diberitahukan pada mereka (pemerintah), mereka marah.”
Jika orang-orang Belanda yang ditugaskan di Borneo ini
serius membawa kesejahteraan dan kebudayaan, tentu saja kondisi pulau tersebut
akan maju. Berbeda dengan yang dialami oleh Bruder Bavo dan misionaris lainnya.
Bruder Bavo, pengalaman pribadi, seringkali merasa malu sebagai orang Belanda
yang melihat tuan-tuan Belanda yang duduk di pemerintahan di Borneo. “Saya
mendengar cerita dari orang-orang Dayak, hanya ada tiga orang Belanda yang sopan
di seluruh Kapuas Hulu: dua orang pastor dan satu bruder.”
Bisa jadi pemberontakan orang Tionghoa melawan
pemerintah Belanda pada 1914 memberikan dampak positif bagi pembangunan di
Borneo. Di Singkawang, misalnya, pemerintah Residen Vogel telah memperbaiki
jalan-jalan. Belanda juga membangun beberapa ratus meter jalan sepanjang tepi
pantai. Sejak saat itu, banyak pembangun mulai dikerjakan di Borneo. Tetapi
masih begitu banyak harus dilakukan. Karena itu, misionaris sangat gembira
ketika mendengar kabar bahwa Gubernur Jenderal Belanda di Batavia akan berkunjung
ke Borneo. Misionaris berharap kunjungan itu membawa dampak positif bagi Borneo
yang begitu lama dianaktirikan.
Pada Selasa, 27 Juli 1920, menjadi hari yang paling
dikenang oleh misionaris Kapusin di Pontianak sebagai Thai Nyit, yang berarti satu
hari pesta. Pada hari itu, Yang Mulia Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum
dari Batavia akan mengunjungi Pontianak. Gubernur Jenderal akan melihat
perkembangan pelayanan karya-karya misi di wilayah Borneo. Hal itu menjadi
peristiwa besar, karena gubernur jenderal berkenan datang ke wilayah
kepemilikan luar Borneo.
Istilah kepemilikan luar dianggap sebagai sesuatu yang
berada di luar, sebagai satu lampiran, satu beban. Itu jelas mengakibatkan kepemilikan
luar sangat dianaktirikan. Status sebagai kepemilikan luar sangat terasa oleh
pegawai atau perwira/serdadu. Ada perlakuan yang berbeda terhadap mereka yang
ditugaskan atau ditempatkan pada daerah kepemilikan dalam seperti di Jawa dan
Madura. Fasilitas umum seperti jalan, listrik, air ledeng kurang mendapat
perhatian dari pemerintah Belanda. Ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat
setempat.
Namun, kunjungan Gubernur Jenderal dilakukan saat masa
jabatan akan berakhir. Jika kunjungan itu dilakukan pada awal menjabat, maka
dia bisa mengambil tindakan yang lebih besar untuk membangun Borneo. Walaupun, tentu
masih dapat diharapkan juga, setelah Graaf pension sebagai gubernur tetap dapat
mempergunakan pengaruhnya demi memerhatikan kepemilikan luar, Borneo Belanda
yang dikunjungi.
Syukurlah Graaf van Limburg Stirum sudah mengunjungi
Borneo bagian barat secara resmi sebagai Gubernur Jenderal yang berkuasa di
Hindia Belanda. Dia menunjukkan perhatian, melihat dan mengagumi pekerjaan para
pastor, bruder, dan suster dalam karya misi untuk membangun masyarakat. Dia
memuji hasil-hasil pelayanan misi yang dicapai. Tentu harapan para misionaris
dan masyarakat di Borneo, semoga contoh itu dapat mendorong Pemerintah Belanda dan gubernur baru
untuk sedikit melunasi utang besar Belanda kepada Borneo Belanda!
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Editor: Budi Atemba
Artikel Lain: Orang Dayak Jalan Kaki 20 Kilometer untuk Terima Layanan Kesehatan