Borneo Tidak Dibangun Pemerintah Belanda, Kekayaan Alam untuk Bangun Wilayah Lain

January 15, 2023
Last Updated

Kunjungan Gubernur Jenderal ke Pontianak pada 1920 disambut oleh perwira militer dan barisan serdadu. [Foto: Borneo Almanak]

Borneo tidak dianggap penting oleh Belanda. Pemerintah Belanda di Batavia hanya menganggap Borneo sebagai kepemilikan luar. Sementara Jawa dan Madura disebut sebagai daerah kepemilikan. Tak heran jika pembangunan di Borneo tidak diperhatikan. Kekayaan alam di Borneo diambil untuk membangun wilayah lain. Kepemilikan luar ini diartikan sebagai wilayah yang tidak penting oleh pemerintah Belanda.

Bruder Bavo, OFMCap mencatat, ketika tiba di Pontianak dan Singkawang pada 1911, tidak ada jalan yang bagus. Padahal hasil bumi Borneo ini menyumbang berjuta-juta pada pemerintah, tetapi hasil dari kekayaan itu digunakan untuk membangun wilayah lain. Borneo diabaikan begitu saja dengan tumbuhan semak berlukar dan tanah gambut, yang tidak bisa dilewati atau dimasuki, yang tidak bisa ditembus.

Sebagai misionaris, Bruder Bavo masih mengungkapkan rasa malu dan kesal bahwa daerah Borneo tidak diperhatikan pembangunannya. Ia menulis dalam Borneo Almanak, “Saya sering malu dan sakit hati tinggal di sini. Kami tinggal di sini antara penduduk-penduduk. Mencoba untuk memajukan mereka, membawa kebahagiaan. Kami membangun sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, tempat orang kusta, dan mengalami pertentangan dari oknum-oknum pemerintah secara tersembunyi. Saya masih belum mengeluh karena kami tidak menerima bantuan atau subsidi, tetapi karena kami sering mengalami perlawanan dan perusakan secara diam-diam. Kalau hal itu diberitahukan pada mereka (pemerintah), mereka marah.”

Jika orang-orang Belanda yang ditugaskan di Borneo ini serius membawa kesejahteraan dan kebudayaan, tentu saja kondisi pulau tersebut akan maju. Berbeda dengan yang dialami oleh Bruder Bavo dan misionaris lainnya. Bruder Bavo, pengalaman pribadi, seringkali merasa malu sebagai orang Belanda yang melihat tuan-tuan Belanda yang duduk di pemerintahan di Borneo. “Saya mendengar cerita dari orang-orang Dayak, hanya ada tiga orang Belanda yang sopan di seluruh Kapuas Hulu: dua orang pastor dan satu bruder.”

Bisa jadi pemberontakan orang Tionghoa melawan pemerintah Belanda pada 1914 memberikan dampak positif bagi pembangunan di Borneo. Di Singkawang, misalnya, pemerintah Residen Vogel telah memperbaiki jalan-jalan. Belanda juga membangun beberapa ratus meter jalan sepanjang tepi pantai. Sejak saat itu, banyak pembangun mulai dikerjakan di Borneo. Tetapi masih begitu banyak harus dilakukan. Karena itu, misionaris sangat gembira ketika mendengar kabar bahwa Gubernur Jenderal Belanda di Batavia akan berkunjung ke Borneo. Misionaris berharap kunjungan itu membawa dampak positif bagi Borneo yang begitu lama dianaktirikan.

Pada Selasa, 27 Juli 1920, menjadi hari yang paling dikenang oleh misionaris Kapusin di Pontianak sebagai Thai Nyit, yang berarti satu hari pesta. Pada hari itu, Yang Mulia Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum dari Batavia akan mengunjungi Pontianak. Gubernur Jenderal akan melihat perkembangan pelayanan karya-karya misi di wilayah Borneo. Hal itu menjadi peristiwa besar, karena gubernur jenderal berkenan datang ke wilayah kepemilikan luar Borneo.

Istilah kepemilikan luar dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar, sebagai satu lampiran, satu beban. Itu jelas mengakibatkan kepemilikan luar sangat dianaktirikan. Status sebagai kepemilikan luar sangat terasa oleh pegawai atau perwira/serdadu. Ada perlakuan yang berbeda terhadap mereka yang ditugaskan atau ditempatkan pada daerah kepemilikan dalam seperti di Jawa dan Madura. Fasilitas umum seperti jalan, listrik, air ledeng kurang mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Namun, kunjungan Gubernur Jenderal dilakukan saat masa jabatan akan berakhir. Jika kunjungan itu dilakukan pada awal menjabat, maka dia bisa mengambil tindakan yang lebih besar untuk membangun Borneo. Walaupun, tentu masih dapat diharapkan juga, setelah Graaf pension sebagai gubernur tetap dapat mempergunakan pengaruhnya demi memerhatikan kepemilikan luar, Borneo Belanda yang dikunjungi.

Syukurlah Graaf van Limburg Stirum sudah mengunjungi Borneo bagian barat secara resmi sebagai Gubernur Jenderal yang berkuasa di Hindia Belanda. Dia menunjukkan perhatian, melihat dan mengagumi pekerjaan para pastor, bruder, dan suster dalam karya misi untuk membangun masyarakat. Dia memuji hasil-hasil pelayanan misi yang dicapai. Tentu harapan para misionaris dan masyarakat di Borneo, semoga contoh itu dapat  mendorong Pemerintah Belanda dan gubernur baru untuk sedikit melunasi utang besar Belanda kepada Borneo Belanda!

Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Orang Dayak Jalan Kaki 20 Kilometer untuk Terima Layanan Kesehatan

Selengkapnya