Pastor Nazaarius Berjalan Kaki Memikul Satu Botol Air Menuju Tiang Tanjung

January 10, 2023
Last Updated

Foto: Arsip Kapusin Belanda

Ketika perang berakhir pada 1945, para misionaris yang ditahan di Kamp Bukit Lintang, Kuching dipindahkan ke Labuan. Mereka diberikan waktu untuk menikmati masa bebas sebagai tahanan Jepang. Setelah menjalani masa rehat, secara bertahap mereka diberangkatkan ke Australia, Eropa, dan tempat yang ingin mereka datangi sesuai keinginan masing-masing misionaris tersebut. Misionaris yang sejak awal berkarya di Borneo Barat, meminta diberangkatkan ke Pontianak. 

Pastor Nazaarius OFMCap tiba di Pontianak pada 23 Desember 1945. Ia termasuk rombongan terakhir yang diberangkatkan. Ketika menjalani masa rehat di Labuan, Pastor Nazaar menderita disentri. Sehingga diperlukan waktu yang cukup lama hingga sembuh dan pulih kembali. Ketika tiba di Pontianak, daerah-daerah seperti Singkawang, Nyarumkop, Pemangkat, dan Sambas sudah terisi. Sementara misionaris yang berkarya di pedalaman masih menanti di pastoran, di Pontianak. Pemerintah belum bisa menjamin keamanan di pedalaman. 

Tulisan ini disarikan dari catatan Pastor Nazaarius OFMCap yang ditulisnya pada 1987. Catatan tersebut tersimpan rapi di Arsip Kapusin Belanda. Pastor Yeremias Melli OFMCap kemudian mengalihbahasakan tulisan tersebut sebagai sebuah sumbangan kepada sejarah gereja Kalimantan. Pastor Nazaarius ditahbiskan sebagai imam Kapusin pada 21 September 1935. Dua tahun kemudian, ia menjadi misionaris di Borneo Barat hingga 1974. Setelah itu, ia kembali ke Belanda dan meninggal dunia pada 1991. 

Beberapa waktu di pastoran, Pastor David bertanya kepada Pastor Nazaar. “Nazaar, maukah besok ikut ke Embawang (mungkin Ambawang yang dimaksud)?” Pastor Nazaar cukup heran. David memintanya ikut untuk merayakan Natal. Tawaran ini jelas menyenangkan bagi Nazaar. Baru bebas dari kamp tahanan Jepang, sudah diajak berbuat sesuatu untuk orang banyak. 

Nazaar sudah sepuluh tahun menjadi imam. Dia hampir tidak berbuat yang lain selain menjual huruf-huruf. (sebuah kutipan bebas dari ‘Confesiones’ dari Santo Agustinus). Jadi tidak aneh jika tawaran ini disampaikan kepada Nazaar. Misionaris yang berkarya di pedalaman, yang masih menanti di Pontianak, tidak mengerti tentang Embawang. 

Apa itu Embawang? Sebuah kampung di tengah-tengah orang-orang Bugis dan lainnya. Kalau air pasang, diperlukan waktu setengah hari menggunakan perahu dari Pontianak. Sebab, motor-motor air waktu itu hampir hilang. Sudah ada satu sekolah misi. Setahun sebelum perang, dibangun lagi satu sekolah disebelahnya. Ada dua keluarga Katolik dan beberapa orang muda, pada sekolah misi menjadi orang Katolik.

Pastor Nazaar boleh ikut ke Embawang. Perayaan Natal menjadi satu pesta yang sangat meriah. Hingga jauh malam, dinyanyikan lagu-lagu Natal. Tentu juga lagu-lagu lainnya. Gereja kembali aktif. Ini menjadi bukti bahwa gereja kekal. Hal itu terjadi di Embawang, yang letaknya tak jauh dari Istana Sultan Pontianak. 

Tidak banyak penduduk yang tinggal di Embawang. Hanya sedikit orang yang sudah dibaptis. Mereka ini memiliki hubungan dengan orang Dayak di sekitar Raba. Seorang gadis yang waktu itu menyambut kedatangan Pastor David dan Pastor Nazaar menjadi biarawati, kemudian hari menjadi kepala Kapusines di Singkawang. Namanya Suster Seraphien. 

Beberapa waktu kemudian, Pastor Nazaar dipercayakan untuk berkarya di Tiang Tanjung. Sebenarnya, Pastor Nazaar pernah turne ke Tiang Tanjung ketika menggantikan Pastor Dismas yang sakit. Tetapi, Nazaar benar-benar belum tahu tentang Tiang Tanjung. 

Pada 1 Februari 1946, Pastor Nazaarius berangkat ke Tiang Tanjung. Jarak tempuh dari Pontianak sekitar 124 kilometer. Bisa menggunakan mobil, jembatan-jembatan juga masih ada. Walaupun kondisinya cukup memprihatinkan namun masih bisa dilewati. Pastor Nazaar mencari kendaraan di pasar. Ada satu truk yang akan berangkat ke Karangan, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Pontianak. 

Pastor Nazaar membawa satu kelambu tentara, dua stel pakaian, satu kain mandi, dan satu koper untuk peralatan misa yang diperoleh dari seorang pastor tentara Australia. Berangkat sekira pukul enam pagi. Tiba di Karangan sekira pukul sepuluh. Selebihnya jalan kaki menuju Tiang Tanjung. 

Jalan kaki menjadi satu-satunya cara menuju kampung tersebut. Tidak ada cara lain. Tidak ada yang menemani selama perjalanan. Pastor Nazaar, dalam beberapa catatannya, malah tidak ingat lagi bagaimana barang yang dibawa bisa tiba di Tiang Tanjung. Nazaar hanya ingat, ia memikul satu botol air. 

Karya misi di Tiang Tanjung dimulai oleh Pastor Marcellus. Ia dijuluki pelanglang buana yang tidak pernah letih. Marcellus tiba di Tiang dan menginap sekitar sepuluh hari. Dia mulai mengajar sekitar sepuluh anak. Mereka kemudian dipermandikan. Peristiwa itu tidak terjadi pada kunjungan pertamanya. Namun, beberapa kali turne, hal itu baru anak-anak tersebut bisa dipermandikan. 

Misi kemudian membangun satu sekolah. Menurut Pastor Marcellus, sekolah sudah dibangun sebelum 1920. Beberapa catatan menyebutkan, Volksschool Tiang Tanjung (bijstasi Nyarumkop) tersebut pada 19 Maret 1919 telah mendidik sekitar 40 anak, yang dikelola oleh Pastor Marcellus dan Pastor Christianus. 

Pada 1946, ketika Pastor Nazaarius datang, ada sekitar 100 orang yang menyambut dari 700 jiwa penduduk Tiang. Mereka termasuk komunitas kecil yang keras kepala, namun cukup mudah bergaul dan menerima orang lain.   

Kampung Tiang terletak tak jauh dari jalan raya. Pada 1930-an, pemerintah berencana membangun jalan langsung lewat kampung. Namun orang-orang tua tidak setuju. Mereka merasa diri terancam oleh sesuatu yang baru. Sekolah yang terletak pada persimpangan jalan masuk kampung. Secara estetika itu tidak tepat karena menghalangi rezeki.

Selengkapnya