Pemerintah Larang Misionaris Belanda Masuk Akibat Konflik Papua

January 13, 2023
Last Updated

[Foto: Borneo Almanak]

Pada Agustus 1945, misionaris yang ditahan di Kamp Lintang, Kuching dibebaskan. Pembebasan terjadi karena Nagasaki dan Hiroshima dibom atom. Jepang bertekuk lutut kepada sekutu. Para misionaris yang berkarya di Vikariat Apostolik Pontianak juga sudah kembali lagi. Mereka memulai kehidupan baru setelah Soekarno dan Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pada 1947, wilayah Vikariat Apostolik Pontianak di Sintang dan Kapuas Hulu dikelola secara penuh oleh Misionaris Monfortan. Semula pusat misi di kawasan hulu Borneo Barat berada di Sejiram. Pastor Lam van Boorn yang mengelola sekolah misi memindahkan kantor dari Sejiram ke Sintang. Secara bertahap, kemudian membangun sekolah dan asrama di Sintang. Akhirnya Sintang menjadi diosis yang kemudian menjadi pusat keuskupan.

Vikariat Apostolik Pontianak yang masih mencakup Sintang dan Kapuas Hulu, dengan wilayah pelayanan cukup luas dan jarak Sintang – Pontianak jauh, maka Mgr van Valenberg memohon pada Vatikan untuk menjadi Sintang sebagai wilayah gerejani mandiri. Pada 11 Maret 1948, permohonan Uskup Valenberg disetujui Vatikan. Propaganda Fide di Roma mengeluarkan dekrit yang menetapkan sintang menjadi Prefektur Apostolik Sintang. Vatikan mengangkat Mgr. Lambertus van Kessel, SMM sebagai prefek.

Pada Januari 1955, status prefektur menjadi vikariat. Uskup Kessel diangkat sebagai administrator apostolik melalui surat Apostolik tertanggal 23 April 1956. Walaupun Uskup Kessel tidak bersedia menjadi Vikaris Apostolik Sintang, Vatikan mengeluarkan surat pada Juni 1957. Surat itu meminta Uskup Kessel melanjutkan tugasnya sebagai administrator apostolik sampai ada Vikaris Apostolik yang baru.

Momen penting kemandirian gerejawi di Kalimantan ini terletak pada peningkatan status menjadi keuskupan. Pada 3 Januari 1961, Vatikan menyatakan gereja di Indonesia sudah mandiri. Karena itu, status daerah misi dicabut. Hal itu membuat wilayah diosis lain berubah status dari vikariat menjadi keuskupan.

Vikariat Apostolik Pontianak berubah menjadi Keuskupan Agung Pontianak. Mgr. Herculanus van den Burgt, OFMCap sebagai Uskup Agung Pontianak pertama. Vikariat Apostolik Sintang menjadi Keuskupan Sintang dengan Mgr. Lambert van Kessel, SMM sebagai uskup pertama. (bdk. Para Monfortan di Indonesia: Pater Piet Derckx, SMM, Hal. 71: 2008)

Pasionis Kelola Daerah Misi Ketapang 

Pada 18 Juni 1946, tiga misionaris dari Kongregasi Pasionis (CP) berangkat ke Indonesia menggunakan kapal laut tentara Belanda, Bolendam. Tiga misionaris ini yakni Plechelmus Dullaert, Bernardus Knippenberg, Canisius Pijnappels, CP. Pada 26 Juli 1946, menggunakan pesawat Dakota, Plechelmus Dullaert berangkat menuju Pontianak. Ia langsung ke Ketapang. Sementara Canisius Pijnappels berangkat ke Nyarumkop. Sedangkan Bernadinus Knippenberg yang diangkat sebagai superior tinggal untuk beberapa bulan di Pontianak. Bernadinus mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, dan agama lain serta memperdalam bahasa Tionghoa (Bahasa Hok Lo).

Pada 26 Juni 1954, Paus Pius XII mengubah status wilayah misi Ketapang terpisah dari Vikariat Apostolik Pontianak. Wilayah itu menjadi Prefektur Apostolik Ketapang. Pastor Gabriel W. Sillekens, CP diangkat sebagai prefektur pertama. Silekens selama dua tahun menjabat sebagai superior religius. Atas permintaan Roma, wilayah Sekadau dan Meliau yang termasuk wilayah Sanggau masuk wilayah Ketapang. Pada 1960, Pastor Pasionis dari Italia membantu pelayanan di Sekadau dan Meliau. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia melarang tenaga misi dari Belanda masuk sebagai dampak gejolak politik antara Indonesia dan Belanda di Papua.

Pada 1960, Pastor TH. Lumanauw, imam Diosis Manado yang juga anggota MPRS membantu pelayanan di Ketapang. Lumanauw diangkat menjadi vikaris jenderal, pengurus yayasan, dan Pastor Paroki St. Gemma. Setahun kemudian, tahun 1961, Pastor Canisio Setiardjo, CP asal Jogjakarta yang ditahbiskan pada 1959, berkarya di ketapang. Pada 1961, status daerah misi di Kalimantan dicabut. Kalimantan menjadi hirarki mandiri. Pada 3 Januari 1961, Ketapang menjadi keuskupan. Sillekens diangkat sebagai administrator apostolik. Pada 28 April 1962, Vatikan mengangkat Sillekens sebagai Uskup Ketapang. Kemudian pada 10 Juni 1962, pemberkatan gedung Gereja Katedral St. Gemma sebagai pelindung Keuskupan Ketapang.

Prefektur Sekadau Pindah ke Sanggau

Tujuh tahun kemudian, Sanggau dan Sekadau menjadi daerah gerejawi tersendiri. Pada 9 April 1968, dibentuk Prefektur Apostolik Sekadau, yang melayani wilayah Sanggau dan Sekadau. Pastor Michael di Simone, CP diangkat sebagai prefektur sejak 31 Juli 1968 hingga 1 September 1972. Setelah Prefek Simone mundur, Vatikan mengangkat Pastor Domenico Luca Spinosi, CP sebagai prefek hingga mengundurkan diri pada 8 Juni 1982.

Terjadi kekosongan kepemimpinan Prefektur Apostolik Sekadau. Pada 8 Juni 1982, Vatikan meningkatkan statusnya menjadi Keuskupan Sanggau. Pusat keuskupan yang semula di Sekadau dipindahkan ke Sanggau. Vatikan mengangkat Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap sebagai administrator apostolik hingga 22 Januari 1990, karena Vatikan sudah menunjuk dan mengangkat uskup yang baru.

Pada 22 Januari 1990, Vatikan mengangkat Pastor Julius Giulio Mencucini, CP sebagai uskup. Selama 32 tahun bertugas, Uskup Mencucini mengajukan surat pengunduran diri pada 18 Juni 2022 yang dikabulkan Vatikan. Pada tanggal yang sama, Vatikan mengangkat Pastor Valentinus Saeng, CP sebagai uskup yang baru. Uskup Valen ditahbiskan pada 11 November 2022.  

Penulis: Br. Kris Tampajara

Editor: Budi Atemba

Artikel Lain: Benih Injil yang Ditaburkan di Borneo menjadi Pohon Bak Rindang

Selengkapnya