TAK sampai lima menit berkendara aku tiba di rumah Risa adik sepupu Paramita dari sebelah ibunya. Ibu Paramita kakak sulung ibunya Risa yang jadi anak nomor tiga dari lima bersaudara. Ibu Risa tinggal di Tanjung Nipah selama puluhan tahun karena ikut suami yang bertugas jadi guru sampai pensiun, baru wafat dua bulan lalu. Paramita mengenakan busana yang dikenakannya sewaktu datang bertemu ibu. Ia duduk menungguku di beranda.
“Bang, Maaf ya
tadi kita boncengan,” ujar Paramita setelah
aku duduk di sebelahnya. Tak lama Risa keluar duduk di sisi kiriku tepat
di hadapan Paramita. Jadilah kami bertiga.
“Kenapa harus
minta maaf?” tanyaku bingung karena dulu kita biasa berboncengan tiap kali
pergi ke mana-mana.
“Kita bukan
muhrim, Bang. Kita sekarang bukan pasangan yang terikat perkawinan sah. Kita
ndak boleh berduaan tanpa mahram apa lagi sampai boncengan kayak tadi. Apa kata
orang yang melihat, Bang. Dosa iya, malu juga!” Paramita berujar serius.
“Astagfirullah,
iya yaa,” ucapku sadar. Aku dan Paramita memang bukan lagi pasangan suami
istri, tak bisa bebas untuk berdua.
“Jadi kita
harus cepat rujuk, Bang.”
“Kita ndak rujuk, Mita. Kita harus melaksanakan pernikahan baru. Rujuk bisa kita lakukan dulu sewaktu dirimu masih dalam masa iddah, status perceraian juga harus talak raj'i bukan talak ba'in yang menyebabkan kita tak boleh menikah lagi kecuali setelah kamu nikah dengan lelaki lain, telah melakukan hubungan suami istri dan tanpa sengaja bercerai juga. Tanpa sengaja lho ya. Kalau sengaja beda lagi hukumnya,” kataku menjelaskan.
“Maksudku ya
gitu, Abang. Aku tak pernah menikah dengan siapapun lelaki setelah bercerai
dengan Abang. Nanti, mau kan Abang nikah lagi sama aku?” tanya Paramita,
wajahnya penuh harap. Aku spontan mengangguk.
“Yaa, insya
Allah aku mau, Mita. Bismillah. Nanti setelah nikah secepatnya kita beri adik
untuk Umar,” godaku. Paramita spontan tersipu.
“Iiih Abang
nih. Apee jak.”
“Ya apa lagi?”
tanyaku basa-basi saja sebenarnya. Urusan pernikahan bukan semata untuk mendapatkan
keturunan. Paramita mengubah posisi duduk, membenahi jilbabnya mungkin merasa
tak berada pada posisi yang pas. Ia menatapku lebih serius
“Kita sudah
pernah jadi pasangan suami istri, Bang. Qadarullah kita berpisah karena salahku
yang belum dewasa menyikapi banyak perbedaan dan perselisihan di antara kita.
Aku terlalu egois telah meninggalkan Abang. Nanti setelah kita menikah, bimbing
aku untuk lebih dewasa ya, Bang. Tuntun aku dan Umar menuju surga-Nya Allah
SWT. Kita jadi keluarga yang sehidup sesurga.”
“Aamiin. Aku
pun bertekad menjadi suami yang baik untukmu, Mita. Percayalah,” kataku
semangat untuk kembali hidup bersama Paramita. Sejak kami berpisah dulu tak
seorang pun perempuan yang mampu mengisi hatiku, menggantikan posisi Paramita
dalam hidupku.
“Iya, Bang.
Aku percaya,” ucap Paramita menatap Risa di depannya.
“Cie,
cieee...! Ehm, eehmm! Kayaknya ada yang ce-el-be-ka nih,” ujarnya yang semula
diam saja, beradu pandang dengan Paramita.
“Ape sih,
Ris?” tanya Paramita.
“Itu, Kak.
Ce-el-be-ka, cinta lama balik kampung Tanjung Nipah. Hhahaaa!” tawa Risa lantas
berderai.
“Eh, kau ni.
Adee jak,” Paramita tersipu.
“Nak belah
durian agik ke Kak, sama Bang Yudi. Hihii!”
“Mulut kau,
Ris!” Paramita mendelik. Pipinya bersemu merah digoda adik sepupu yang baru dua
hari diwisuda sebagai sarjana pendidikan, ingin mengikuti jejak sang bapak
sebagai guru. “Eh, Umar mane? Ayo kita ajak dia jalan-jalan.”
“Tadi sih ade
bebaju sama emak,” jawab Risa.
“Kau susul,
Ris,” pinta Paramita. “Bawa Umar ke sini.”
“Iyeee, Bu
Yudi. Hhihiii!” goda Risa lagi lantas masuk rumah. Tak lama ia keluar membawa
anak lelaki kurus, tingginya sepinggang Risa kira-kira satu meter. Rambutnya
tipis disisir rapi belah pinggir kiri. Sepasang pipinya putih diberi bedak
tabur.
“Umar?”
panggilku Anak lelaki itu menoleh bingung. “Sini sama papa, Nak.”
“Salam sama
papa, Sayang,” kata Paramita tersenyum menatap Umar. Aku beranjak mendekatinya,
mengulurkan tangan hendak bersalaman. Umar diam. Bingung. Sungguh ia
benar-benar telah lupa denganku, papa kandungnya sendiri. Seketika ada sesuatu
menggores hatiku. Rasanya perih. Andai dulu tak terjadi perpisahan dengan
Paramita, pasti tak kualami keadaan ini. Umar tak mengenali papanya sendiri.
“Umar, ini papa, Sayang. Sering mama ceritakan sama
Umar kan, papa Umar orang yang baik dan sayang Umar,“ kata Paramita membungkuk
di depan Umar, membelai-belai rambutnya.
“Papa Yudi?”
suara Umar khas anak-anak mmenatapku lekat.
“Iya, Sayang.
Ini papa Yudi,” kataku merengkuhnya dalam dekapan. Tanpa terasa kelopak mataku
panas dan basah. Setetes air mengalir di pipi. “Umar anak papa. Kita
jalan-jalan ya.”
Umar
mengangguk. Melepaskan diri dari rangkulanku. Belum sempat aku kembali berdiri,
ponselku dalam mode silent di saku celana bergetar. Aku berdiri mengambil
ponsel. Mardiana memanggil. Panggilan langsung kutolak.
“Siapa, Bang?”
tanya Paramita.
“Mardiana,”
kataku. “Tadi pagi datang ke rumah ibu.”
“O, namanya
Mardiana.”
“Yana.”
“Akrab ya sama
ibu, kayaknya sudah biasa ketemu. Cara bertamu ke rumah ibu aja tadi gitu. Pake
bawa oleh-oleh,” suara Paramita datar. Wajahnya jelas menyiratkan rasa tak suka
pada Mardiana.
“Eemm, kita
jadi jalan-jalan ndak nih? Sore daah,” Risa berujar mengalihkan pembicaraan
Paramita.
“Ayolah,”
kataku mengatur posisi masing-masing di sepeda motor. “Umar dengan papa ya,
Makcik Risa boncengan sama mama. Oke?”
“Oke, Pa,”
sahut Umar semangat berjalan cepat turun menuju sepeda motor “Berangkat...!”
“Ayo kita
berangkat,” ajakku. Paramita berdiri mematung. Kedua lengannya dilipat
bersilang di depan dada menampakkan wajah cemberut.
“Sambung nanti
agik cerita cemburu tuh, Kak. Umar dah tadak sabar nak jalan tuh aaa,” suara
Risa menunjuk Umar berdiri dekat sepeda motorku memandangi kami bertiga yang
masih berdiri di beranda.(bersambung)
Oleh: E.
Widiantoro
Artikel
Lain: Tentang Dia dan Paramita (2)