Kemarin Paramita dan Umar benar-benar datang dari Ketapang dengan pesawat pagi. Dari Bandara Rahadi Osman Ketapang ke Bandar Udara Internasional Supadio di Kampung Limbung, Kubu Raya waktu terbang hampir empat puluh menit. Dari sana mereka berangkat ke Tanjung Nipah melewati Kota Pontianak selama satu jam perjalanan dengan taxi online. Di Tanjung Nipah Paramita tinggal di rumah adik sepupunya yang tak jauh dari rumahku.
Belum lama sampai di rumah adik sepupu
Paramita langsung ke rumah, bertemu Ibu. Keduanya berpelukan hangat. Saling
cium pipi kanan dan kiri. Istilah sekarang, cipika-cipiki.
“Ibu sehat kan?” tanya Paramita melepas
pelukan.
“Alhamdulillah. Ibu sehat, Mita,” jawab
ibu. “Kamu sendiri gimana? Mana Umar koq ndak dibawa ke sini?”
“Alhamdulillah, Bu. Aku dan Umar sehat.
Umar tadi main lato-lato sama anak-anak sini. Cepat akrab mereka,” kata
Paramita berjilbab abu-abu polos, senada dengan warna kemeja yang
dikenakannya, terdapat garis-garis putih
rapat di bagian lengan. Celana panjangnya kuning kentang model wide leg pants,
potongan yang hanya lurus saja dari bagian paha sampai mata kaki dengan
ukuran lebar. Tak lupa ia menutupi
sepasang telapak kaki dengan kaos warna krem.
Dadaku berdesir. Paramita masih seperti
dulu. Kulit wajahnya cerah seperti kulit buah langsat baru dipetik dari pohon.
Alis tebal dan rapi di atas sepasang mata teduh. Hidung tak terlalu mancung.
Bibirnya merah muda, lebih tebal bagian bawah dari bibir atas. Di pipi kiri
nangkring tahi lalat sebesar biji ketumbar.
“Bang Yudi,” panggilnya. “Gimana?”
Aku tersenyum mengangguk. Paramita
mendekat, melekatkan kedua telapak tangan di depan dada. “Maafkan aku untuk
semua kesalahan yang dulu ya, Bang.”
“Maafkan aku juga, Mita,” ucapku gugup. Tak
menduga Paramita menyampaikan permintaan maaf yang dulu tak pernah kudengar
kecuali saat sungkem di hari lebaran Idulfitri. “Akuu...”
“Aku pingin kita mulai semua dari nol, Bang,”
tukas Paramita menatap ibu. “Gimana, Bu? Ibu setuju kan kalo Mita dan Bang Yudi
bisa bersama lagi?”
“Mita, ibu akan selalu setuju dan
memberikan restu untuk kalian selama maksud kalian baik hanya mengharap rida
Allah,” kata ibu menyungging senyum.
“Terima kasih, Bu,” ucap Paramita, wajahnya
berbinar cerah.
“Peristiwa buruk masa lalu, sudahlah. Jangan
diingat lagi. Biarlah jadi pengalaman sebagai pelajaran berharga untuk kalian.
Jangan pernah terulang,” kata ibu lagi.
“Iya, Bu,” jawab Paramita menatapku. “Bang,
gimana? Kita rujuk, Bang. Ibu dah setuju kita bersatu lagi.”
“Iya, Mita. Aku juga mau kita bisa hidup bersama lagi. Segera kita siapkan berkas
peristiwa nikah. Sekarang aku kembali ke kantor ya,” kataku. Paramita
mengangguk.
“Hati-hati di jalan, Bang,” katanya
mengantar aku sampai di ambang pintu. Ketika aku hendak men-starter
sepeda motor, Yana datang menghentikan sepeda motornya tepat di samping sepeda
motorku.
“Assalamualaikum, Pak Yudi,” ucapnya
kubalas:
“Waalaikum salam,”
“Aku boleh bertemu ibu?”
“Silakan. Ibu ada di dalam,” kataku.
Yana turun dari sepeda motor, melangkah
hendak masuk ke rumah sambil membawa keranjang buah berisi beberapa tangkai
anggur, apel Malang dan salak. Di ambang pintu, Paramita masih berdiri
menungguku pergi ke kantor.
“Permisi,” suara Yana di depan Paramita
yang sedikit bergeser dari tempatnya berdiri, sekadar memberi jalan Yana untuk
masuk ke rumah.
“Bu, Ibu...! Ini Yana, Bu. Yana bawa buah
untuk Ibu nih,” teriak Yana di ruang tamu. Paramita geleng-geleng kepala.
“Siapa, Bang?” tanyanya.
“Temanku. Dia novelis lho,” kataku.
“O, penulis. Hebat ya.”
“Begitulah,” kataku sambil melihat jam yang
melingkar di pergelangan tangan kanan.
“Aku berangkat, Mita,” pamitku pada
Paramita. Yana memanggil.
“Pak Yudi!” Aku menoleh. “Ibu ke mana, sudah
kupanggil-panggil kok ndak ada, ndak keluar juga?” Yana menatap Paramita. “Ini
siapa?”
“Istriku,” kataku singkat. Yana terkejut.
“Hhaah? Benar begitu?”
“Ya,” sahut Paramita turun dari ambang
pintu berjalan mendekati sepeda motorku. “Ayo berangkat, Bang.”
Kuhidupkan mesin sepeda motor, Paramita
duduk di boncengan. Kami lantas melaju keluar halaman rumah.
***
Pulang dari kantor selepas Asar ternyata
Yana masih di rumah, sedang ngobrol sama ibu di ruang tamu.
“Pak Yudi dah pulang,” Yana berdiri.
“Ya,” kataku menyalami ibu. “Ngobrol apa
aja sama ibu dari pagi tadi? Emang ndak ke mana-mana? Ndak ada kesibukan lain
ya? Ndak kerja? Kerasan banget di sini seharian.”
“Yudi!” tegur Ibu tak mau aku terus
mencecar Yana.
“Hari ini Yana libur, Pak. Jadi bisa ke
sini, menemani ibu. Tadi pagi aku datang ibu sedang salat Duha dan mengaji,
pantesan ndak keluar sewaktu Yana panggil-panggil,” timpal Yana.
“Bukan urusanku,” kataku. Yana diam
menunjukkan wajah kecut. Aku masuk kamar, berganti baju dan segera mandi. Usai
mandi aku berpakaian rapi. Tadi pagi aku telah berjanji dengan Paramita untuk
membawa Umar jalan-jalan. Aku sungguh
rindu untuk selalu bersamanya setelah lama berpisah.
“Aku dan Mita pamit ke Pontianak ya, Bu. Mau
bawa Umar jalan-jalan,” kataku menyalami ibu.
“Waah Umar pasti seneng tuh kalo dibawa
jalan sore. Ya, udah. Hati-hati aja di jalan. Pontianak sekarang rame. Sering
macet di mana-mana, apa lagi kalo sore gini mau naik jembatan tol,” kata ibu.
“Iya, kami ndak sampe jalan-jalan ke
seberang, Bu,” kataku bergegas ke mulut pintu hendak segera keluar rumah.
“Pak Yudi!” panggil Yana, “Umar? Umar tuh
siapa?”
“Anakku! Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam,” jawab ibu. Yana
diam.
(Bersambung)
Penulis: E. Widiantoro
Artikel Lain: Tentang Dia dan Paramita