Berikat Kepala Merah, Liu A Kok Tantang Serdadu Belanda

February 07, 2023
Last Updated

Singkawang pada tahun 1905 [Foto: Arsip Kapusin Belanda]

Tak hanya Pastor Eugenius yang menulis peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada 1914 di wilayah Borneo bagian barat. Hal serupa juga dilakukan Pastor Marius yang bertugas di Singkawang. Catatan Pastor Marius tersebut bisa ditemukan dalam Zondagsblad 1914. Pastor Amantius kemudian mengalihbahasakan catatan tersebut dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Pastor Amantius berharap, catatan Pastor Marius atas peristiwa pemberontakan pada 1914 itu bisa berguna untuk khayalak.

“Ada perang! Ada pemberontakan! Ada orang-orang Cina yang menghasut orang Dayak agar berperang melawan Pemerintah,” kabar itu tersiar pada 25 Juli 1914 di Singkawang. Isunya ada perang itu sudah direncanakan dengan baik oleh Sam Thiam Kong dan dua yayasan Cina lainnya. Mereka termasuk para saudagar yang dengan mudah menyelundupkan banyak senapan dan peluru dari Singapura lewat Sarawak.

Pada 26 Juli 1914, Pastor Marius mendengar pemberontakan sudah pecah di Sungai Pinyuh. Orang-orang Cina telah membunuh Kapitan karena berpihak kepada pemerintah. Sehari kemudian, pada 27 Juli 1914, penduduk di Singkawang mulai eksodus, padahal belum terjadi perang. Banyak penduduk Singkawang yang keluar kota untuk bersembunyi di kebun-kebun. Mereka telah membeli persediaan pangan, termasuk beras secukupnya. Hal itu membuat harga beras di pasar naik drastis. Ada orang yang membawa barang sangat berharga ke pastoran untuk disimpan. Barang-barang itu berupa ban sepeda, mesin jahit, karung beras, uang, dan emas.

“Banyak desas desus mengenai pencurian, pembunuhan hingga perampasan harta benda. Namun semua itu tidak pernah terjadi,” tulis Pastor Marius. Pusat pemberontakan terjadi di Monterado, Sangking, dan Mandor. Monterado berjarak sekira tujuh jam dari Singkawang. Aktivitas perdagangan di tiga tempat itu dihentikan. Beberapa penduduk melarikan diri menggunakan kapal atau perahu.

“Kami di pastoran dan susteran menunggu saja apa yang akan terjadi. Kami berharap ada serdadu dalam asrama militer, tidak banyak tetapi cukup bersenjata. Syukurlah anak-anak sekolah berlibur dan sudah di rumah, kecuali 20 anak yang terlalu jauh rumahnya,” Pastor Marius mencatat dalam tulisan yang tersimpan dalam Arsip Kapusin di Belanda.

Pada 30 Juli 1914 situasi di Singkawang mencekam. Rumah-rumah tutup. Pasar-pasar tidak ada yang berjualan. Jalanan lengang. Singkawang sudah seperti kota tanpa penduduk. Sepi. Kosong. Pastor Marius dipanggil untuk mempermandikan seorang anak yang sakit di luar kota. Dia mengendarai sepeda melewati pasar. Dia hanya melihat beberapa toko terbuka. Di kebun, orang-orang duduk di depan pintu. Kadang-kadang mereka mengokang senjata di tangannya.

“Ibu, cepat pulang ke rumah. Orang-orang sudah mulai masuk kota,” seseorang berteriak mengingatkan penduduk di tempat tersebut. Pastor Marius segera memberikan sakramen. Setelah itu, ia langsung pulang. Namun belakangan diketahui bahwa apa yang disampaikan orang tersebut tidak benar.  

Pada pukul 12.00, toko-toko sudah tutup. Ada kabar jika Kontrolir Mempawah sudah diserang. Ia terluka dan melarikan diri. Rumah, kantor, dan gedung milik pemerintah habis dibakar. Uang penjualan opium juga habis dicuri. Kelompok pemberontak sudah bergeser ke Sungai Duri. Karena takut, para suster dan anak perempuan asrama menginap di Sekolah Melayu dalam lingkungan Eropa, dekat tangsi militer. Kelompok pemberontak terus bergerak menuju Sungai Raya. Mereka semakin dekat dengan Singkawang. Di Teluk Siah (mungkin Teluk Suak), kelompok pemberontak mengambil uang dari rumah penjualan opium.

Pada hari Jumat 31 Juli 1914, kelompok pemberontak dari utara dan selatan bertemu di dekat Singkawang. Orang-orang Melayu yang tinggal di arah selatan dari pastoran melarikan diri. “Kami di pastoran hampir satu-satunya keluarga di kota. Saya membawa sepucuk surat ke kantor pos dan dengar berita: 'Pastor, mereka sudah dekat sekali, di Petengahan! Sebentar lagi rombongan militer akan ke situ!'” tulis Pastor Marius.

Mendengar berita tersebut, para pastor yang ada di pastoran berunding untuk tindakan selanjutnya. Apakah harus mengungsi ke Pontianak atau tidak. Namun, hal itu juga tidak ada gunanya. Sebab, di Pontianak juga terjadi perlawanan kelompok pemberontak terhadap pemerintah Belanda. Akhirnya diputuskan, suster dan anak asrama mengungsi ke sekolah anak laki-laki. Jaraknya sekira 130 meter dari jalan raya. Jika terjadi peperangan di jalan, maka mereka dipastikan lebih aman. Uang dan beberapa barang berharga disimpan dalam lobang tanah. Setiap kapusin dan suster mengetahui tempatnya, sehingga jika membutuhkan bisa digunakan.

Tiga serdadu bersenjata lari melewati pastoran. Para pastor menduga mereka hendak memantau situasi dan kondisi jalan tersebut. Tak lama kemudian, lewati lagi seorang serdadu. Dia lari dengan darah pada tangan dan senjatanya. Serdadu itu memperingatkan para pastor, namun tidak ada satu pun yang mengerti apa yang dikatakannya. Ketakutan makin menghinggapi mereka yang tinggal di pastoran. Semua berkumpul di dalam gereja dan menghabiskan hosti dari tabernakel gereja dan kapel susteran. Seluruh jendela gereja ditutup, pintu dikunci, dan semua pergi ke sekolah anak laki-laki. Suster, anak asrama perempuan, orang-orang dari rumah sakit, dan beberapa keluarga Katolik berkumpul di sekolah tersebut.

Ketika keluar dari gereja, patroli serdadu melintas dengan terburu-buru. Mereka membawa Liu A Kok yang terluka akibat tembakan senapan. Liu A Kok kemudian diketahui pemimpin dari kelompok pemberontak di Singkawang. Kapten telah memerintahkan tiga serdadu untuk menangkapnya. A Kok sangat berani menantang serdadu dengan berdiri di depan pintu. Kepala berikat ikan merah. A Kok mengejek serdadu yang diperintahkan Kapten.

“Seandainya kamu datang dengan 50 orang, saya tidak ikut!” teriak A Kok di depan pintu. Sambil berteriak, A Kok mempersiapkan senapannya. Sebelum A Kok menembak, serdadu telah menembak lebih dulu. A Kok terluka parah terkena peluru serdadu yang diperintah Kapten. Kelompok pemberontak yang berada di luar kota mendengar satu pemimpin sudah ditangkap, lantas mengundurkan diri. Mereka tidak jadi masuk ke kota.

Liu A Kok yang terluka parah dirawat di rumah sakit. Ia mohon agar dikunjungi seorang pastor. “Apakah saya akan mati? Jika begitu, saya mohon dipermandikan. Seandainya saya sembuh, saya berjanji akan masuk agama Katolik,” Liu A Kok bertanya kepada seorang pastor. A Kok memiliki tiga istri. Menurut dokter yang merawatnya, A Kok barangkali akan sembuh kembali.

Pada hari Minggu, orang-orang masih belum berani ke gereja. Mereka belum kembali dari persembunyian di kebun-kebun. Sebagian lagi tidak berani berjalan jauh. Tidak ada kaum perempuan yang datang ke gereja. Umat laki-laki juga tidak banyak yang datang. Para pastor mendengar banyak umat yang diajak untuk ikut serta dalam kelompok pemberontak. Ada yang ikut, ada yang hanya memberikan uang saja. Namun ada juga yang secara tegas menolak.

“Saya tidak boleh. Saya tidak mau,” begitu umat menolak ajakan masuk kelompok pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Pada hari Sabtu 1 Agustus 1914, Singkawang sudah dipenuhi tentara dari Batavia. Hal itu membuat orang lebih tenang dan merasa lega. Para misionaris berharap, tentara bisa tinggal lebih lama di pusat kota dan laut dekat Singkawang. Sebenarnya tidak terjadi perperangan yang besar di Singkawang. Namun, banyak berita tidak benar beredar membuat penduduk menjadi takut. Mereka mengungsi, aktivitas perdagangan dan pekerjaan sehari-hari di pasar-pasar berhenti.

Dari Teluk Suak hingga Penitu, kelompok pemberontak berkuasa. Dari situ, mereka bergeser ke Sangkitn, Mandor, dan arah Monterado. Di Singkawang, kekhawatiran mendorong banyak orang mencari perlindungan dan kekuatan dalam agama. Gereja pada hari Minggu penuh. Sekitar 25 orang mendaftarkan diri untuk ikut katekumen.

“Syukur kepada Allah,” Pastor Marius mengakhiri tulisannya terkait situasi dan kondisi Singkawang saat peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah Belanda pada 1914.

Artikel Lain: Pemberontakan 1914: Rumah Dibakar, Tempat Penjualan Opium Dijarah

Selengkapnya