Pada 1323 dan 1346, dua anggota Fransiskan bernama Pastor Odorico da Pordenone dan Uskup Johanes van Marignolle datang ke Sumatra dan Borneo (Kalimantan). Hal tersebut terungkap dalam buku yang ditulis oleh Pastor Huub JWM Boelaars OFMCap.
Dalam misi tersebut, dua pastor tadi juga singgah di Pusat
Kerajaan Majapahit dan daerah kerajaan lain di Nusantara. Namun tidak ada
catatan mengenai di mana kedua anggota Fransiskan itu berkarya. Kedatangan
Pastor Odorico da Pordenon ke Borneo bukan untuk mengabarkan injil, namun
sebagai utusan dari Kepausan dalam misi pengembangan ilmu pengetahun untuk
membuka cakrawala gereja Katolik terhadap peradaban bangsa-bangsa.
Catatan-catatan perjalanan ini kemudian menjadi rujukan bagi para misionaris
untuk melakukan perjalanan ke Asia, termasuk Fransiskus Xaverius.
Tiga ratus tahun kemudian, setelah perjalanan Pastor Odorico,
pada 2 Februari 1688, Pastor Antonio Ventimiglia menginjakkan kaki di Borneo.
Pastor Antonio Ventimiglia, seorang anggota ordo Rohaniwan Regulir Theatin,
mengawali penyebaran iman Katolik di Borneo. Imam yang dilahirkan pada tahun
1642 dari keluarga bangsawan Palermo ini berasal dari Pulau Sisilia,
Semenanjung Italia.
Pada usia 17 tahun, Antonio mengikrarkan kaul dalam Ordo Rohani Regulir Theatin, Italia. Setelah ditahbiskan menjadi imam, Antonio Ventimiglia diutus ke Madrid untuk memimpin Biara Theatin St. Maria del Favore. Pada tahun 1680, Pemimpin Umum Ordo Theatin mengeluarkan surat edaran mengenai tawaran bagi anggota ordo untuk menjadi misionaris ke wilayah benua timur jauh. Pastor Antonio Ventimiglia yang sejak muda sangat rindu menjadi misionaris menerima tawaran itu dengan senang hati. Sesungguhnya pihak keluarga tidak setuju dan melarang Pastor Ventimiglia untuk menjadi misionaris.
Dari Madrid Menuju Goa dan Macoa
Setelah mendapat restu dari Bapa Suci Paus Innocentius XII
sebagai balasan surat yang secara diam-diam dikirim ke Bapa Suci Paus
Innocentius, Pastor Ventimiglia melakukan perjalanan dari Madrid menuju Goa
yang dilakukan pada 13 Januari 1683. Sembilan bulan kemudian, pada 19 September
1683, Pastor Ventigmilia tiba di Goa, India. Pastor Antonio Ventimiglia
berkarya selama empat tahun di Goa. Setelah itu, Antonio diutus untuk misi ke
Borneo.
Pada 5 Mei 1687, Pastor Antonio memulai perjalanan menuju
Borneo. Pada 12 Juni 1687, ia tiba di Pelabuhan Malaka. Kemudian berlayar lagi
menuju Macoa. Pada 13 Juli 1687, Pastor Antonio tiba di Macoa. Perjalanan
menuju Macoa sangat mencemaskan keselamatan, karena harus melewati Teluk Aynan
yang dikenal banyak menelan korban karena kapal ditelan gelombang. Setelah
melewati Teluk Aynan ini, kapal akan menemui satu pulau yang dinamai Pulau St.
Yohanes atau yang disebut juga dengan Pulau Sancian. Menurut catatan sejarah,
di Pulau Sancian inilah St. Fransiskus Xaverius meninggal dunia. Ketika
perjalanan itu, Pastor Ventimiglia hendak singgah
di pulau tersebut tetapi tidak diizinkan oleh kapten kapal.
Setelah sampai di Macoa, Pastor Antonio Ventimiglia menginap
di rumah Luigi Fransesco Cottigno, teman seperjalanan yang banyak membantu.
Pastor Ventimiglia menginap di rumah Luigi Fransesco Cottigno selama enam bulan
menunggu keberangkatan ke Borneo. Sebenarnya, Pastor Antonnio dilarang oleh
pihak Portugis melakukan perjalanan ke Borneo karena khawatir kehadiran Antonio
akan membawa kerugian dalam perdagangan.
Selama menunggu di Macoa, Pastor Antonio sempat berpikir beralih menuju Jepang, setelah mendengar Kaisar Jepang yang anti-Kristen meninggal dunia. Namun pada saat yang bersamaan ada tawaran dari Banjarmasin dan Sukadana (sekarang Ibukota Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat). Tawaran ke Sukadana menjadi sebuah berita bahwa Sukadana menginginkan kehadiran seorang pastor. Berita ini diperoleh dari seseorang yang menjadikan Pastor Antonio sebagai bapak pengakuan. Namun, kapal yang menuju ke Banjarmasin lebih dulu berlabuh dan membawa kabar berita bahwa Sultan Banjarmasin bersedia melakukan kerja sama dagang dengan Portugis. Sultan juga mengizinkan Portugis membawa seorang pastor.
Dari Macoa ke Banjarmasin
Pada 16 Januari 1688, Pastor Antonio Ventimiglia berlayar ke Banjarmasin menggunakan kapal dagang Portugis. Banyak tantangan dalam pelayaran tersebut. Kapten Kapal Emmanuelle Araguio meminta Pastor Ventimiglia kembali ke Macoa. Namun, pada Februari 1688, kehendak Tuhan mengantar Pastor Antonio berlabuh di Borneo.
Saat itu, kondisi politik di Banjarmasin kurang aman bagi
orang Portugis. Seluruh awak kapal hanya menunggu di kapal. Mereka tidak turun
di pelabuhan. Saat berada di kapal, datang dua orang Dayak Ngaju dan seorang
Malaka untuk berdagang. Pastor Ventimiglia mengutarakan niat pada kedua orang
ini agar boleh tinggal bersama mereka. Namun Pastor Ventimiglia kembali lagi ke
Macao dengan kapal Portugis tersebut karena alasan keamanan. Enam bulan
kemudian, Pastor Ventimiglia kembali melakukan perjalanan ke Banjarmasin.
Pada pelayaran kali ini, Pastor Antonio ditemani oleh Felix,
seorang Tionghoa dan Lorenzo, seorang pemuda Dayak Ngaju, yang dijual menjadi
budak oleh orang Malaka pada orang Portugis bernama Turtuose. Ketika mendengar
Pastor Ventimiglia akan ke Banjarmasin, Turtuose membebaskan Lorenzo dan
diserahkan pada Pastor Ventimiglia untuk membantu. Pada 2 Februari 1689, Pater
Antonio Ventimiglia mendarat di Pulau Metak, Banjarmasin (Martin Baier:
2002; Contribution of Ngaju History dalam Borneo Research History).
Kondisi politik di Banjarmasin masih memanas. Ada perperangan
antara Dayak Ngaju/Biaju dengan Kesultanan Banjar yang disebabkan oleh
persaingan dagang. Orang Portugis langsung berhubungan dagang dengan Dayak
Ngaju, ditambah dengan kehadiran Pastor Ventimiglia yang hendak meng-Katolik-kan orang Dayak Ngaju sehingga
menambah kemarahan Sultan Banjar. Pastor Antonio menyewa perahu kecil menyusuri
sungai menuju ke daerah orang Ngaju. Dalam perahu tersebut, dibuat sebuah meja
altar untuk merayakan ekaristi.
Dalam perjalanan menyusuri sungai tersebut, Pastor Antonio
Ventimiglia menemui tokoh terkemuka Dayak Ngaju, yakni Tomugon, Daman, dan
Sindun. Dalam catatan yang dilaporkan, Pastor Ventimiglia telah membaptis 15
suku dengan jumlah 1.800 jiwa pada tahun 1690. Selama tiga tahun di Borneo, Pastor
Antonio telah membaptis sekitar 3.000-4.000 jiwa menjadi Katolik (Martin
Baier: 2004; Contribution Of Dayak Ngaju dalam Borneo Research History).
Mendengar perkembangan misi Pastor Ventimiglia tersebut,
Sultan Banjar mengutus bawahan untuk merampas seluruh barang-barang, temasuk
peralatan misa milik Pastor Ventimiglia. Sultan Banjar juga mengusir Pastor
Ventimiglia untuk keluar dari Banjarmasin. Pastor Ventimiglia membangkang dan
kembali menetap di daerah Mantangai (Marko Mahin: 2004; Kandil, Edisi II,
Hal. 19). Setelah beberapa tahun hidup bersama orang Dayak Ngaju, Pastor
Antonio Ventimiglia dibunuh atas
perintah Sultan Banjar. Setelah Pastor Antonio Ventimiglia dibunuh, beribu-ribu
umat Katolik yang telah dibaptis kembali ke agama asli.
Tradisi Katolik yang masih tertinggal, setelah kematian
Pastor Ventimiglia hanya cara bersikap untuk membuat tanda salib. Tanda salib
itu telah kehilangan makna sesungguhnya. Bahkan, dijadikan semacam suatu
tindakan untuk mengusir setan atau tolak bala. Selain itu, peninggalan
penyebaran iman dari Pastor Ventimiglia yang masih hidup pada Dayak Ngaju ialah
konsep Kiham Apui (riam api) yang dalam teologi orang Dayak Ngaju mirip dengan
api penyucian dalam iman Katolik, orang yang telah meninggal disucikan dalam
api penyucian.
Kematian yang Misterius
Sesudah tahun 1690, berita kematian Pastor Antonio
Ventimiglia membuat Ordo Theatin mencari kebenaran berita itu. Pada tahun 1690,
Pastor Gregoria Rauco berangkat dari Macoa menuju Borneo.
Keberangkatan Pastor Gregoria ini dipersulit oleh otoritas Macoa. Warga Macoa tidak senang dengan kegiatan misi
dilakukan di Pelabuhan Banjarmasin. Wakil Raja Goa memberikan peringatan keras
kepada otoritas Macoa, Pastor Gregoria diizinkan untuk berangkat ke Banjarmasin.
Keberangkatan Pastor Gregoria Rauco menggunakan kapal yang
dikapteni oleh Araugio. Kapten kapal ini takut dengan Sultan Banjar. Ketika
tiba di Pelabuhan Banjarmasin, Pastor Gregoria tidak diizinkan turun dari
kapal. Kapten tidak mau ambil risiko sebagaimana yang terjadi pada Pastor
Ventimiglia yang dibiarkan masuk ke pedalaman tanpa seizin Sultan Banjar.
Pastor Rauco mencari tahu keberadaan Pastor Ventimiglia
dengan cara mengirim surat yang dititipkan pada orang Ngaju. Dalam surat
balasan kepada Pastor Rauco, Pastor Antonio mengisahkan keadaan di pedalamanan
yang sangat memprihatinkan. Banyak penduduk yang dibaptis, kembali ke agama
aslinya termasuk Pangeran Daman, kepala Suku Ngaju. Selain itu, Pastor
Ventimiglia juga meminta Pastor Rauco mengirim beberapa helai pakaian karena
selama 11 bulan tidak berganti pakaian. Mendengar kisah Pastor Ventimiglia
tersebut, Pastor Rauco berencana untuk berangkat ke pedalaman. Namun, kapten
kapal tidak mengijinkan. Pastor Rauco terpaksa kembali lagi ke Macoa.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1692, usaha untuk menemui
Pastor Ventimiglia dilakukan oleh Pastor Della Valle atas permintaan Pastor
Gallo di Goa. Awal tahun 1692, Pastor Della tiba di Banjarmasin. Pastor Della
mendengar informasi dari orang-orang kesultanan bahwa Pastor Ventimiglia telah
dibunuh oleh orang-orang Ngaju. Tetapi orang-orang Ngaju mengatakan bahwa
Pastor Ventimiglia masih hidup dan menetap di pedalaman tidak jauh dari
Banjarmasin. Karena tidak ada kepastian dan menunggu sekitar tiga bulan
mengenai kabar Pastor Ventimiglia maka Pastor Della berlayar ke Pulau Jawa.
Setelah di Pulau Jawa, Pastor Della meminta bantuan Belanda kembali ke
Banjarmasin, tetapi usaha itu gagal untuk mengetahui keberadaan Pastor
Ventimiglia.
Sampai saat ini, kematian Pastor Antonio Ventimiglia masih
misterius. Ada beberapa pendapat mengenai kematian Pastor Ventimiglia dirangkum
oleh Mgr. Demarteau, MSF antara lain:
Pertama; Pastor Ventimiglia meninggal karena dibunuh oleh
suruhan Sultan Banjar dengan alasan takut iman Katolik berkembang pada kalangan
Suku Ngaju. Perdagangan langsung antara orang Portugis dan Suku Dayak Ngaju,
yang membahayakan kedudukan Sultan Banjar. Pendapat ini dikuatkan oleh
kesaksian Kapten Inggris, Daniel Beckmann bahwa Pastor Ventimiglia benar
dibunuh oleh Sultan Banjar.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Pastor
Ventimiglia dibunuh oleh Dayak Ngaju dengan sumpit/panah beracun. Pendapat ini
sulit dipercaya karena tokoh Dayak Ngaju dan lima belas suku sudah menjadi
Katolik. Ada juga yang mengatakan bahwa Pastor Ventimiglia mati terkena
penyakit disentri. Kabar ini dibawa seorang pedagang Cina yang mendengar
langsung dari orang Dayak Ngaju yang dekat dengan Pastor Ventimiglia. Kemudian
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Pastor Antonio Ventimiglia meninggal
secara wajar dan dikebumikan di dalam gereja yang dibangun atas perintah Kapten
Araugio ketika mengantar Pastor Ventimiglia ke pedalaman.
Sementara beberapa peneliti berusaha keras untuk mengetahui
tentang kepastian kematian dan tempat Pastor Antonio Ventimiglia dikuburkan.
Usaha itu semua belum ada jawaban pasti tentang kematian Pastor Antonio
Ventimiglia. Kecuali bahwa para peneliti seperti Pastor Bart Ferro mengatakan
dalam Buku Storia Della Missione de Chierici Regolari Theatine bahwa Pastor
Ventimiglia mati dibunuh.
Sedangkan menurut Pendeta Baier, pada tahun 1981, mengaku
menerima surat dari seorang guru Gereja Kalimantan Evangelis di Kampung
Mentagai, terdapat sebuah kuburan Portugis. Kemudian sebagai upaya konfirmasi
hal tersebut, Pendeta Baier mengirim surat pada Mgr. Darmateau, MSF bahwa ayah
Pendeta Baier pernah bertugas di Kalimantan Tengah dari 1921-1941. Ia mendengar
dari pendahulunya bahwa di tepi Sungai Kapuas hilir Mentangai dua ratus tahun
sebelumnya umat Katolik sudah ada di tempat tersebut.
Lain lagi menurut Pastor M. Gloudemans, MSF yang menyatakan
bahwa Pastor Ventimiglia kemungkinan besar berkarya di Pelaihari dekat Gunung
Raja. Pendapat ini belum didukung oleh bukti arkeologi yang sah. Meskipun di
Gunung Raja tersebut terdapat kuburan yang oleh masyarakat setempat dihormati
dengan nama Datu Panjang. Menurut Tjilik Riwut, dalam tulisannya di Buku
Kalimantan Memanggil, Gunung Raja juga pada awalnya dikenal dengan Kampung
Gereja karena di wilayah tersebut berdiri sebuah gereja di atas bukit.
Dari berbagai pendapat itu, belum satupun yang dapat
mengungkapkan secara menyakinkan dan kepastian tentang kematian dan kuburan
Pastor Antonio Ventimiglia sebagai perintis awal misi Katolik di Borneo. Dalam
ketidakpastian tersebut, Pastor Gallo di Goa, menentukan tahun 1693 sebagai
tahun kematian Pastor Antonio Ventimiglia dalam usia 51 tahun.
Setahun sebelum Pastor Gallo menyatakan bahwa Pastor
Ventimiglia meninggal dunia. Pada 14 Januari 1692, Konggregasi de Propaganda
Fide, Vatikan menyerahkan misi seluruh pulau Kalimantan pada Ordo Theatin. Lima
hari setelah pengumuman tersebut, pada 19 Januari 1692 oleh Paus Innocentius
XII menetapkan Borneo sebagai Vikariat Apostolik dengan bulla “Commisa Nobis”
dan Pastor Antonio Ventimiglia diangkat menjadi Vikaris Apostolik. Pastor
Antonio Ventimiglia sebagai Vikaris Apostolik pertama dari The Kingdom of
Borneo. Tentu berita pengangkatan ini tidak pernah diketahui dan diterima oleh
Pastor Antonio Ventimiglia karena telah meninggal.
Setelah Pastor Antonio Ventimiglia meninggal, masih ada usaha
dari Ordo Theatin untuk meneruskan karya Pastor Ventimiglia di Borneo. Pada
tahun 1706, Pastor Guissepe Maria Martelli datang dari Bengkulu. Pastor
Martelli tiba di Banjarmasin pada 5 Desember 1706. Ia mencoba menghubungi orang
Ngaju. Pada 3 April 1707, Pastor Martelli mudik ke pedalaman ditemani beberapa
orang Ngaju. Menurut cerita, setelah tiga hari perjalanan Pastor Martelli
dibunuh oleh orang orang Kesultanan Banjar. Namun, ada kisah yang mengatakan
Pastor Guissepe Martelli dibunuh oleh orang Ngaju karena konflik dengan orang
Ngaju terkait sumbangan perbaikan gereja.
Pada tahun 1723, Pastor Yohanes Rescala, Pastor Albert
Sadagna, dan Pastor Wenceslaus Lozek tiba di Banjarmasin. Mereka tidak
diperkenankan turun dari kapal oleh Sultan Banjarmasin. Mereka kemudian
mengirim surat pada orang Ngaju untuk membawa Brevir, Salib, dan topi Pastor
Ventimiglia. Setelah tiga bulan di Banjarmasin, mereka kembali ke Macoa. Upaya bermisi
ke Kalimantan dilakukan oleh Pastor Bareto, namun saat perjalanan berlayar
meninggal di Manila, Filipina pada 24 Juni 1761.
Setelah Pastor Bareto meninggal, misi Katolik di Borneo
mengalami kekosongan sampai Serikat Jesuit membuka stasi di Singkawang pada
November 1885 dan Sejiram pada tahun 1891. Tidak lama berselang, pada tahun
1897, anggota Serikat Jesuit meninggalkan Singkawang dan Sejiram. Kemudian,
pada tahun 1905, daerah misi Borneo Hindia Belanda ini ditetapkan menjadi
Prefektur Apostolik Borneo Hindia Belanda yang diserahkan pada Ordo Kapusin
Belanda.
Penulis: Br. Kris Tampajara, MTB
Artikel Lain: Berikat Kepala Merah, Liu A Kok Tantang Serdadu Belanda