Tong air yang ada di pasar Pontianak. [Foto: Arsip Kapusin Belanda]
Ketika Prefek
Bos sedang cuti di Belanda, Pastor Eugenius mengirim surat terkait situasi di Borneo
bagian barat. Surat yang bertarikh pada 30 Juli 1914 itu diterjemahkan oleh
Pastor Amantius. Surat Pastor Eugenius tersebut tersimpan rapi pada arsip
Kapusin di Belanda. Ada beberapa surat yang ditulis oleh Pastor Eugenius
untuk Prefek Bos yang sedang cuti di Belanda. Ini surat yang pertama. Masih ada
beberapa surat lagi.
Pastor Eugenius memberi kabar terkait kondisi daerah misi di Borneo. Pada suratnya tertanggal 30 Juli 1914 tersebut, Pastor Eugenius memberi kabar yang cukup hangat. Namun, Eugenius meminta Prefek Bos tidak khawatir. Menurut Eugenius, sejak 24 Juli 1914, tersiar desas desus bahwa bagian Mempawah akan ada perlawanan terhadap pemerintah. Residen di Pontianak langsung berangkat ke Mempawah dengan membawa dua kelompok serdadu.
Pada tanggal yang sama, Pastor Marcellus kembali dari turne di wilayah perhuluan. Marcellus juga mendengar berita terkait rencana perlawanan rakyat terhadap pemerintah, termasuk di Sanggau. Pada 27 Juli 1914, Pastor Marcellus hendak berangkat ke Pemangkat melewati Mempawah. Pastor Marcellus mengendarai sepeda menuju Singkawang. Namun, Asisten Residen Burgdorffer memintanya tetap tinggal di Pontianak. Sebab, beberapa tauke Cina yang kaya sudah melarikan diri dari Mempawah menuju Pontianak.
“Situasi di situ (Mempawah) pasti tidak tenang,” Burgdorffer meyakinkan Pastor Marcellus agar mengurungkan niatnya berangkat menggunakan sepeda menuju Singkawang.
Kendati begitu, Pastor Marcellus memperoleh izin untuk kembali ke Singkawang. Ia diperbolehkan ikut kapal laut yang membawa serdadu-serdadu ke Mempawah. Jika situasi darurat, maka Pastor Marcellus boleh ikut kapal kembali ke Pontianak.
Sekira pukul sembilan malam, Pastor Marcellus tiba di Mempawah. Sementara kapal berlabuh di laut terbuka. Sebuah motor bandung membawa Pastor Marcellus menyusuri Sungai Mempawah. Situasi di pasar cukup tenang, bahkan bisa disebut sunyi. Lebih mirip sebuah kampung yang ditinggalkan penghuninya. Namun, Tauke Lam A Phat dan beberapa orang Kristen lainnya masih bertahan di rumahnya.
Besok paginya, pada 28 Juli 1914, Pastor Marcellus bersama Lam A Phat dan A Jang pergi ke pasar hulu. Mereka bertemu dengan pembesar sipil yang baru kembali dari perjalanan ke daerah perhuluan. Ia membawa orang terluka, Sersan Kruppert, dan dua serdadu. Pembesar sipil enggan bercerita terkait orang-orang yang akan melakukan perlawanan terhadap pemerintah di Mempawah. Mungkin saja, pembesar sipil dan keluarga akan tiba di kota pada esok harinya. Kapal motor Fanta Zena tersedia untuk mengantar istri dan anak-anaknya ke Pontianak.
Pada sore hari, Pastor Marcellus berangkat menuju pasar hilir. Marcellus bertemu seorang kuli dari tauke Woeng A Po dari Sungai Cina. “Shinfu, para Dayak sedang datang, di Sungai Pinyuh. Mereka sudah membunuh Pak Kapiten,” kuli tauke itu memberitahu Pastor Marcellus.
Apa yang disampaikan kuli tauke itu terbuka. Ketika Pastor Marcellus kembali ke Kong-so, di seberang sungai terjadi huru hara yang besar. Gerombolan yang terdiri atas orang-orang Cina, Melayu, dan Dayak menggunakan perahu menyeberang sungai Mempawah. Pastor Marcellus meminta Lam A Phat tidak keluar dari rumah. Sementara Pastor Marcellus keluar Kong-so lewat pintu belakang untuk memantau situasi. Lewat lorong-lorong rumah, Pastor Marcellus melihat orang-orang berjalan di pasar. Kendati berasal dari Eropa, Pastor Marcellus merasa tidak aman. Sebab, dalam gerombolan itu juga terdapat orang-orang Melayu. Karena itu, Pastor Marcellus kemudian melarikan diri ke arah ‘boom’ pelabuhan.
“Jika terjadi sesuatu, datanglah ke pelabuhan itu.” Pastor Marcellus teringat pesan Tuan Simons beberapa hari lalu.
Pastor Marcellus berlari melewati beberapa kebun kelapa. Ia mencoba mendekati sungai. Seorang Melayu yang melihat Pastor Marcellus berteriak, “Lari, tuan, lari!”
Ketika mendekati sungai, Pastor Marcellus mendengar rentetan suara senapan. Ia melihat beberapa kapal polisi menyusuri sungai menuju hilir. Rupanya kapal polisi tersebut yang ditembaki. Pastor Marcellus kemudian meminta agar diperbolehkan naik kapal milik orang Melayu tersebut.
“Tahan dulu,” orang Melayu yang memegang kemudi berseru kepada Pastor Marcellus.
Pastor Marcellus menduga kapal itu hendak ke pelabuhan terlebih dahulu kemudian akan menjemputnya. Namun dugaannya keliru. Kapal itu meninggalkan Pastor Marcellus. Merasa tidak aman, Pastor Marcellus bersembunyi di tengah-tengah rumpun tanaman nipah. Ia mengambil sebatang rokok, kemudian mencatat beberapa hal yang sudah dilihatnya.
Tak lama berselang, datang beberapa perahu milik orang Melayu. Pastor Marcellus meminta agar diantar ke pelabuhan. Namun, orang-orang Melayu tersebut tidak berani dan tidak mau membantunya. Sementara dari arah hulu Sungai Mempawah terdengar rentetan senapan. Kadang-kadang suaranya menggelegar. Rupanya dari sebuah kanon yang kecil yang mereka bawa.
Setelah menunggu selama tiga jam, Pastor Marcellus melihat sebuah bandung besar menghilir. Sekali lagi ia berteriak kepada para penumpang di kapal tersebut. Tak lama kemudian, para penumpang kapal bandung itu menyahutnya.
“Kasihan! shinfu! Jangan takut shinfu. Kami bukan orang yang mau membuat jahat,” kata beberapa penumpang di kapal bandung tersebut.
Kapal Bandung kemudian mendekati pinggir sungai. Pastor Marcellus yang sudah penuh lumpur, naik bandung tersebut. Ia melihat perahu tersebut sudah dipenuhi orang-orang yang hendak melarikan diri. Kapal api Gin Long menunggu bandung di muara sungai Mempawah untuk membawa semua orang ke Pontianak.
Ketika tiba di ‘boom’ pelabuhan, tidak ada orang yang bisa ditemukan. Dari jauh datang sebuah kapal. Ketika pengemudi kapal melihat bandung tersebut, lampu-lampu kapal dipadamkan. Mereka mengira bandung tersebut dipenuhi dengan musuh. Setelah mendekat bandung itu, Pastor Marcellus berbicara kepada mereka dalam bahasa Melayu.
“Engkau, Pastor?” terdengar suara dalam bahasa Belanda bertanya kepada Pastor Marcellus.
Suara yang bertanya itu milik Kontrolir Pontianak. Mereka datang dari Pontianak menggunakan kapal Nyi An hendak membawa tentara yang baru. Pastor Marcellus diminta naik kapal. Kontrolir meminta Marcellus menceritakan yang dilihat dan dialami selama di Mempawah.
Warna kemerahan memenuhi langit Mempawah. Gerombolan sudah berhasil memasuki kota. Kontrolir ragu-ragu. Dia tak tahu apa yang semestinya dilakukan. Ketika Pastor Marcellus yang sudah di kapal berangkat ke Pontianak, Kontrolir bersama tentara yang dibawanya masih berada di kuala Sungai Mempawah.
“Saya mengabari Kontrolir, pemberontak sudah membunuh Kapiten di Sungai Pinyuh. Mereka juga memotong tangannya dan melemparkan di depan kaki Pembesar Sipil,” Pastor Marcellus mengisahkan peristiwa itu kepada Pastor Eugenius.
Para pemberontak di Mempawah bagian hilir menyerbu tempat penjualan opium. Mereka memaksa penjual memberikan seluruh uang yang dimiliki. Opium kemudian disebarkan di jalan kepada orang-orang yang membutuhkan. Orang-orang Cina di pasar Mempawah tidak diganggu. Pemberontak membeli barang dan membayarnya.
“Itu shinfu. Ia orang baik. Biarkan dia,” kata anggota gerombolan pemberontak ketika melihat Pastor Marcellus. Namun, tidak diketahui nasib Kontrolir Mempawah. Kontrolir hanya memiliki delapan serdadu dan beberapa prajurit lainnya.
Pagi hari, sekira pukul setengah empat, pada 29 Juli 1914, Pastor Marcellus tiba di pastoran Pontianak. Ia masih mengenakan pakaian yang sama saat bersembunyi di tengah-tengah kebun nipah. Bisa dimaklumi, jika Pastor Marcellus berulangkali menceritakan peristiwa yang dialami ketika berada di Mempawah.
“Kami semua merasa iri hati dengan dia,” tulis Pastor Eugenius dalam surat untuk Prefek Bos yang sedang cuti di Belanda. Pastor Marcellus memiliki pengalaman yang luar biasa dalam hidupnya.
Di Pontianak suasana juga tidak tenang. Jumlah tentara tidak banyak karena dikirim ke Mempawah. Pemerintah Belanda di Pontianak sudah mengirim surat kawat ke Batavia agar mengirim tentara cadangan. Diperkirakan tiba pada 29 Juli 1914. Kapal torpedo tiba di Pontianak hanya untuk menunjukkan kekuatan saja.
Tak heran jika tersiar kabar yang perlu diverifikasi lagi. Seluruh daerah antara Mandor dan Monterado sedang mengalami pemberontakan. Gerombolan besar dikabarkan sedang menuju arah Singkawang. Tempat tinggal Residen Borneo, terutama benteng militer telah habis dibakar. Di Sungai Duri dan Peniti muncul rombongan kecil. Mereka menghabiskan tempat penjualan opium. Sementara di Mempawah, bendera revolusi sudah dikibarkan dekat rumah kontrolir dan pelabuhan. Satu kelompok pemberontak sedang berangkat menuju Pontianak.
Pada malam hari, tentara dipusatkan dalam benteng di Pontianak. Tentara patroli sepanjang jalan-jalan kota. Kapal-kapal milik orang Cina yang bertambat di Sungai Kapuas bersiap untuk berangkat. Dua kapal polisi terus menerus berpatroli di sepanjang Sungai Kapuas. Tauke-tauke besar sudah melarikan diri ke Singapura. Banyak orang Cina yang tidak berani tinggal dalam rumah pada malam hari. Mereka takut rumahnya dibakar. Mereka bersembunyi dalam perahu atau dalam kebun-kebun di sekitar kota.
“Anak-anak asrama takut sekali. Kami sulit untuk menenangkan mereka. Beberapa anak laki-laki sudah berkemas. Beras makin mahal. Syukurlah kami sudah membeli cukup banyak untuk persediaan. Anak asrama yang berasal dari Pontianak pulang ke rumahnya. Beberapa anak perempuan juga telah dijemput orangtuanya,” tulis Pastor Eugenius.
Pada pagi hari sekira pukul sepuluh, Residen tiba dari Singkawang. Di Monterado terjadi pemberontakan. Sedangkan di Singkawang situasi masih tenang. Pastor Bavo yang pada hari Senin sebelumnya berturne ke Sungai Kapa dan Sungai Itik telah kembali dengan selamat. Pada dua tempat itu tidak terjadi pemberontakan. Namun di Jeruju telah datang 200 orang Cina dari Mempawah. Mereka terdiri atas orang pemberontak atau pengungsi yang belum diketahui identitasnya.
“Anggota militer cadangan dan pensiunan telah dipanggil untuk dipersenjatai. Di Pontianak sudah ada 200 orang yang bergabung dalam kemiliteran. Semua pegawai diberikan senjata. Kadang-kadang kami melihat orang-orang Cina melewati pastoran sedang memikul senjata. Kami menduga mereka hendak menyembunyikan diri,” Pastor Eugenius meneruskan catatan yang kemudian dikirim ke Prefek Bos.
Di laut terbuka, tulis Pastor Eugenius, sudah ada kapal perang. Ketika semua serdadu masuk ke dalam kota suasana bisa lebih tenang. “Sebenarnya pada 5 Agustus, Saya ingin turne ke Sambas, Pemangkat, Singkawang menumpang kapal paket. Tetapi, saya belum tahu apakah bisa dilakukan,” Pastor Eugenius mengakhiri catatan dalam suratnya tersebut.[]
Artikel Lain: Di Atas Kapal Bandung, Prefek Bos Menulis Surat untuk Misionaris