Prefek Bos Kesal Pemerintah Tidak Mau Biayai Turne Misionaris Kapusin

February 20, 2023
Last Updated

Prefek Pasificus Bos saat menulis surat di ruang kerjanya. [Foto: Arsip Kapusin Belanda]

Kendati Kapusin sudah mendapat izin untuk berkarya di Borneo, Pemerintah Hindia Belanda menyatakan tidak memiliki hubungan kerja apapun. Apalagi Vikariat Apostolik di Batavia telah melepaskan Borneo menjadi vikariat otonom. Hal tersebut terungkap dalam surat Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ kepada Prefek Pasificus Bos OFMCap melalui surat yang ditulis pada 6 Juli 1906. Hal itu membuat Mgr Luypen tidak bisa menjadi pengantara untuk misionaris Kapusin.

Surat tersebut Mgr Luypen tersebut tersimpan rapi di Arsip Kapusin Belanda. Pastor Amantius, yang pernah berkarya di Borneo, mengalihbahasakan surat tersebut untuk kepentingan dokumentasi kesejarahan. Sebagian surat-surat yang ditulis pada 1906 itu didokumentasikan sebagai sebuah sumbangan untuk sejarah gereja Katolik di Kalimantan.

Pada 4 Desember 1906, Provincial Kapusin, Pastor Alfonsus menulis surat yang ditujukan kepada anggota pemerintah, W. Bogaardt di Breda. Pihaknya juga sudah tahu jika permintaan Prefek Bos kepada gubernur jenderal di Batavia untuk biaya turne telah ditolak. Namun, Pastor Alfonsus berniat mengajukan permintaan lagi kepada Menteri Koloni-koloni yang baru.

“Para misionaris yang dimaksudkan pastor (Alfonsus) tidak ada hubungan dengan gubernemen. Segala usaha spiritual di Borneo Belanda dilepaskan dari Vikariat Apostolik Batavia,” demikian jawaban Menteri Koloni-koloni yang baru melalui surat resmi yang diterima Kapusin pada 8 Juni 1907.

Sebelumnya, Prefek Bos sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin atas situasi terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Menteri Segala Koloni, Mr Idenburg telah mengizinkan kelompok pertama misionaris Kapusin boleh bekerja di Borneo sebagai zendeling. Pada 6 Mei 1905, Idenburg mengirim rekest kepada gubernur jenderal dengan permohonan agar boleh bekerja sebagai penyebar agama Kristen (zendeling) di seluruh daerah hulu Mahakam, daerah Dusun di hulu Barito, distrik I, II, III, dan IV, bagian Sambas, Sintang, dan Pontianak.

Idenburg memberitahu Prefek Bos tidak perlu menunggu balasan dari Nederland terhadap rekest yang dikirim. Sebab, segala izin sudah tersedia ketika Prefek Bos sudah tiba di Batavia. Idenburg juga memberitahu bahwa Prefek Bos boleh menemui Vikaris Apostolik Batavia, Mgr Luypen.

Vikaris Luypen juga telah memohon kepada pemerintah agar turne-turne ke Borneo bagian selatan dan Borneo bagian timur, yang sebenarnya harus dilakukan oleh Ordo Kapusin, dalam 1906 dapat diambil alih dari Serikat Jesus sebab sulit dijangkau. Turne ke daerah-daerah itu  diadakan dua kali setahun.

Ketika Kapusin tiba di Singkawang pada November 1905, Prefek Bos mendengar berita bahwa beberapa  zendeling dari Amerika (Methodis) mulai berkarya dengan membuka sekolah. Berdasarkan artikle 123 tentang zending yang ganda, Prefek Bos ingin bertemu dengan kontrolir. Prefek berharap agar zendeling dari Amerika tidak diberikan izin kerja.

“Apakah misi Katolik akan membuka sekolah,” Kontrolir bertanya kepada Prefek Bos ketika keduanya bertemu.

“Ya,” Prefek Bos menjawab dengan spontan.

Prefek Bos ingin mendahului misi dari Methodis. Karena itu, pada 17 Januari 1906, Prefek mengirim surat  kepada Provinsial Kapusin di Belanda, Pastor Alfonsus OFMCap. Dalam surat tersebut, Prefek Bos memberitahu Alfonsus bahwa sudah ada dua orang Methodis dari Singapura yang mendapat izin untuk bekerja di Singkawang. “Sudah ada 18 orang yang menganut Protestan,” tulis Prefek dalam suratnya. 

Meskipun jawaban dari Menteri Koloni-koloni Belanda tidak memuaskan, Prefek Bos mulai melakukan turne-turne. Sepulang turne dari Mempawah, ia menulis surat kepada Pastor Alfonsus. “Kontrolir tidak mengizinkan kami bekerja di Mempawah. Saya tidak mengerti sama sekali. Padahal kami membangun gereja di Mempawah,” kata Bos dalam suratnya kepada Alfonsus pada 15 Juni 1907.

Namun kabar mengejutkan diterima Prefek Bos. Seorang misionaris Methodis yang tidak diizinkan berkarya di Pontianak, Sambas, dan Sintang, malah memperoleh izin resmi masuk Mempawah, Sungai Kakap, Tayan, Sanggau, Sekadau, dan Landak. Padahal Sungai Kakap dan Mempawah termasuk wilayah Pontianak sekitarnya.

Pada 4 Mei 1908, Prefek Bos menerima surat keputusan gubernur jenderal yang mengizinkan misionaris Katolik masuk Borneo bagian selatan dan timur. Dalam keputusan itu disebutkan, karya misi boleh dilakukan di bagian Kutai dan bagian timur laut Borneo, juga bagian selatan dan timur Borneo. Hanya sampit yang dikecualikan karena artikel 123 dari aturan-aturan pemerintah.

Prefek Bos tidak mempersoalkan terkait larangan mengunjungi Sampit. Namun, ia sulit menerima terkait izin yang diberikan kepada Methodis untuk berkarya di Singkawang. Sementara misionaris Kapusin dilarang berkarya di sebagian daerah Borneo bagian barat. “Aturan itu tidak adil! Kami mau bekerja di seluruh Borneo bagian barat,” tulis Prefek Bos dalam suratnya yang lain.

Hal yang membuat Prefek Bos kesal ketika mengetahui bahwa pihaknya harus menyerahkan sejumlah orang Cina yang sudah Katolik dalam daerah tertutup baginya dengan tempat tinggal. Prefek Bos juga mengeluhkan kebijakan tersebut. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja.

“Para misionaris Kapusin tidak boleh bekerja di dalam daerah yang diserahkan kepada para Metodis, sedangkan mereka diizinkan bekerja dalam daerah-daerah yang diserahkan kepada para Kapusin,” Prefek Bos kembali menulis surat yang ditujukan kepada Provincial Kapusin di Belanda.

Pada 25 April 1909, Prefek Bos meminta kepada gubernur jenderal agar segala hak yang lama (seperti tertulis dalam No. 160 dan 270 dari Suratkabar Pemerin­tah tahun 1876) berlaku lagi bagi para misionaris Kapusin. Hak yang diserahkan dalam 1905 tugas spiritual di Borneo oleh para Yesuit dengan pemberitahuan resmi kepada Pemerintah. Hak-hak berdasarkan aturan-aturan, tempat-tempat yang tertentu dalam Borneo bagian selatan dan Borneo bagian timur, dan juga Borneo bagian barat, dua kali setahun dapat dikunjungi oleh seorang imam dibiayai oleh pemerintah. Namun, pada 1906, permintaan Prefek Bos tersebut ditolak. Prefek Bos berharap gubernur bisa memberikan solusi. Sebab, ongkos turne terlalu tinggi sehingga orang-orang tidak bisa dilayani semestinya. Prefek Bos berangkat ke Batavia untuk menyerahkan rekest (permohonan) tersebut.  

Pada 27 April 1909, Prefek Bos memberitahu kepada Provincial Anastasius terkait pertemuan dengan gubernur di Batavia. Gubernur mengerti kesulitan Prefek Bos. Ia mengirim rekest Prefek Bos kepada Direktur Urusan Agama. Lembaga tersebut dinilai cocok untuk membiayai turne yang dilakukan misionaris Kapusin.

Sekolah mungkin mendapat subsidi asal sesuai dengan syarat-syarat pemerintah. Prefek diminta agar mengusulkan segala keperluan secara hitam atas putih. Kemudian keputusan yang baik pasti diberikan. “Kami sudah melakukan turne pertama yang biayanya ditanggung pemerintah. Soal izin kerja akan kami urus dengan baik,” tulis Prefek Bos dalam surat yang dikirim kepada Provincial Anastasius pada 15 Februari 1910.[]

Artikel Lain: Prefek Bos: Terus Terang, Saya Takut akan Pulau Borneo

Selengkapnya