Perayaan hari ulangtahun Ratu Wilhelmina dari Belanda bersama panembahan dan orang-orang Belanda di Sintang. Foto diambil pada 31 Agustus 1938. [Foto: Arsip Kapusin Belanda] |
“Terus terang, saya takut akan Pulau Borneo,” Prefek Pasificus Bos menulis tentang kekhawatirannya tentang situasi di Borneo pada 1905. Surat yang berisikan ketakutan itu dikirim Prefek Bos kepada definitor Alfonsus pada 18 Desember 1905. Apa yang membuat Prefek Bos merasa takut terhadap Pulau Borneo, yang menjadi wilayah misi Katolik pada masa-masa awal?
Sebagai
Provinsial Kapusin Belanda, Pasificus Bos sebenarnya ingin provinsi yang
dipimpinnya tidak memilih Borneo sebagai daerah misi. Bos beralasan, Borneo
terlalu luas. Pulau itu juga tak dikultivasi, tidak ada jalan-jalan yang baik
kecuali di daerah pantai, yang ada aktivitas perdagangan. Saat itu, Borneo juga
dikuasai oleh Oost Indische Compagnie (OIC) dengan Gubernur Jenderal sebagai pegawai tertinggi.
Hampir semua pegawai menganut agama Protestan yang mayoritas menjadi anggota
Loge atau Loji.
Namun, Pemimpin Umum Kapusin, Bernardus dari Andermatt bergembira
melihat misi provinsi Kapusin Belanda bisa berjalan. Pada 15 Maret 1905,
Bernardus dari Andermatt menulis surat yang mendorong para misionaris Kapusin
segera berangkat ke Borneo, walau administrasi surat menyurat belum selesai
diurus.
“Karena dalam Hindia-Belanda sudah ada orang-orang yang menguntungkan
sekte-sekte yang mengikat hati orang dan demikian menyerahkan mereka kepada
agama non-kristen,” tulis Bernardus dari Andermatt dalam suratnya. Bernardus tahu
jika Provincial Pasificus Bos takut akan Pulau Borneo.
“Dalam sebuah leksikon
yang lama saya sudah membaca bahwa kata 'Borneo" dalam bahasa yang
original berarti 'bona fortuna', jadi kebahagiaan akan diberi kepadamu. Kalau
tidak dalam hidup ini, pasti dalam kehidupan yang berikut,” Bernardus dari Andermatt
memberi semangat kepada Pasificus Bos yang termuat dalam surat tertanggal 13
Juli 1905.
Baik surat Pasificus
Bos maupun Bernardus dari Andermatt tersimpan rapi di Arsip Kapusin Belanda.
Pastor Amantius OFMCap kemudian mengalihbahasakan surat tersebut ke dalam bahasa
Indonesia. Dengan harapan, semakin banyak umat Katolik mengetahui sejarah
perjalanan misionaris dalam mewartakan Kasih Allah di Pulau Borneo.
Ketika diangkat
sebagai prefek, Pasificus Bos sudah mengetahui persoalan antara Gubernur Hindia
Belanda dengan Vikariat Apostolik Batavia, yang mewakili Gereja Katolik. Pada
1845, Propaganda Fide menetapkan Jacob de Groot sebagai Vikaris Apostolik
pertama di Batavia. Groot melihat kehidupan skandal dari imam-imam yang bekerja
di antara orang-orang Eropa. Groot menuntut agar para imam hidup menurut
aturan-aturan hidup seorang imam. Barangsiapa tidak hidup menurut aturan itu,
disuspensi oleh Vikaris.
Tindakan itu tak
diterima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JJ Rochussen yang memihak
imam-imam yang dibebastugaskan. Rochussen beralasan, para imam telah menerima
izin bertugas sebagai imam dari gubernur jenderal. Akibatnya, Vikaris Apostolik
disuruh pergi dari Hindia Belanda.
Pada 1847
diadakan perundingan diplomatik antara Pemerintah dan Tahta Suci. Dalam 'Notanda
dari Punten' ditentukan bahwa hanya wakil Roma yang berhak memindahkan dan
membebaskan para imam. Gubernur Jenderal akan menerima pemberitahuan keputusan
itu. Dianggap hal yang jelas bahwa wakil Roma sebelumnya secara tak-resmi
mengadakan perundingan dengan Gubernur, supaya dapat menilai apakah imam yang
mau diberikan tugas di tempatnya cocok dan tidak menimbulkan kehebohan di
tempat itu. Apalagi imam sebelum masuk Hindia-Belanda harus memiliki surat
keterangan kekuasaan untuk bertugas dalam dinas sipil di Hindia-Belanda. Surat
itu dinamakan 'Surat Radikal'.
Agama Protestan
dari permulaan dihubungkan dengan pemerintahan dan membantu menjamin kestabilan
politik. Dengan peraturan-peraturan dan instruksi-instruksi gubernur menciptakan semacam dasar resmi agar dapat
memperhatikan segala yayasan misi Protestan dan Katolik. Diberikan batas-batas
kepada penginjilan dan perluasan agama Kristen, yang mula-mula ditentukan oleh
kekhwatiran akan agama Islam, kemudian dianggap cocok untuk mengadakan politik
netral terhadap agama-agama.
Pada 1854
diputuskan dalam artikel 123 (kemudian 177) bahwa penginjil-penginjil, imam-imam, dan guru-guru Kristen perlu meminta surat
izin khusus dari Gubernur-Jenderal agar boleh berada dan berturne dalam daerah
tertentu. Izin itu mungkin ditolak berdasarkan gangguan ketenteraman dalam
daerah-daerah dengan populasi Islam atau Hindu, lagi
karena mau menghindarkan penginjilan dari dua agama.
Zending Protestan dan misi Katolik, keduanya bekerja di antara penganut agama dari Eropa. Karena itu sebagian dari misionaris mendapat gaji dari pemerintah. Aktivitas misi yang lain seperti pendidikan dan kesehatan diarahkan juga untuk orang-orang Eropa. Baru sekitar tahun 1900 muncul usaha-usaha untuk mengkristenkan para penduduk pulau-pulau luar Jawa.[]
Artikel Lain: Siapa Melayu Menurut Perjanjian Sultan Banjar dan Belanda?