Prefek Bos: Terus Terang, Saya Takut akan Pulau Borneo

February 19, 2023
Last Updated

Perayaan hari ulangtahun Ratu Wilhelmina dari Belanda bersama panembahan dan orang-orang Belanda di Sintang. Foto diambil pada 31 Agustus 1938. [Foto: Arsip Kapusin Belanda]

“Terus terang, saya takut akan Pulau Borneo,” Prefek Pasificus Bos menulis tentang kekhawatirannya tentang situasi di Borneo pada 1905. Surat yang berisikan ketakutan itu dikirim Prefek Bos kepada definitor Alfonsus pada 18 Desember 1905. Apa yang membuat Prefek Bos merasa takut terhadap Pulau Borneo, yang menjadi wilayah misi Katolik pada masa-masa awal?

Sebagai Provinsial Kapusin Belanda, Pasificus Bos sebenarnya ingin provinsi yang dipimpinnya tidak memilih Borneo sebagai daerah misi. Bos beralasan, Borneo terlalu luas. Pulau itu juga tak dikultivasi, tidak ada jalan-jalan yang baik kecuali di daerah pantai, yang ada aktivitas perdagangan. Saat itu, Borneo juga dikuasai oleh Oost Indische Compagnie (OIC) dengan Gubernur Jenderal sebagai pegawai tertinggi. Hampir semua pegawai menganut agama Protestan yang mayoritas menjadi anggota Loge atau Loji.

Namun, Pemimpin Umum Kapusin, Bernardus dari Andermatt bergembira melihat misi provinsi Kapusin Belanda bisa berjalan. Pada 15 Maret 1905, Bernardus dari Andermatt menulis surat yang mendorong para misionaris Kapusin segera berangkat ke Borneo, walau administrasi surat menyurat belum selesai diurus.

“Karena dalam Hindia-Belanda sudah ada orang-orang yang menguntungkan sekte-sekte yang mengikat hati orang dan demikian menyer­ah­kan mereka kepada agama non-kristen,” tulis Bernardus dari Andermatt dalam suratnya. Bernardus tahu jika Provincial Pasificus Bos takut akan Pulau Borneo.

“Dalam sebuah leksikon yang lama saya sudah membaca bahwa kata 'Borneo" dalam bahasa yang original berarti 'bona fortuna', jadi kebahagiaan akan diberi kepadamu. Kalau tidak dalam hidup ini, pasti dalam kehidupan yang berikut,” Bernardus dari Andermatt memberi semangat kepada Pasificus Bos yang termuat dalam surat tertanggal 13 Juli 1905.

Baik surat Pasificus Bos maupun Bernardus dari Andermatt tersimpan rapi di Arsip Kapusin Belanda. Pastor Amantius OFMCap kemudian mengalihbahasakan surat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Dengan harapan, semakin banyak umat Katolik mengetahui sejarah perjalanan misionaris dalam mewartakan Kasih Allah di Pulau Borneo.

Ketika diangkat sebagai prefek, Pasificus Bos sudah mengetahui persoalan antara Gubernur Hindia Belanda dengan Vikariat Apostolik Batavia, yang mewakili Gereja Katolik. Pada 1845, Propaganda Fide menetapkan Jacob de Groot sebagai Vikaris Apostolik pertama di Batavia. Groot melihat kehidupan skandal dari imam-imam yang bekerja di antara orang-orang Eropa. Groot menuntut agar para imam hidup menurut aturan-aturan hidup seorang imam. Barangsiapa tidak hidup menurut aturan itu, disuspensi oleh Vikaris.

Tindakan itu tak diterima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JJ Rochussen yang memihak imam-imam yang dibebastugaskan. Rochussen beralasan, para imam telah meneri­ma izin bertugas sebagai imam dari gubernur jenderal. Akibatnya, Vikaris Apostolik disuruh pergi dari Hindia Belanda.

Pada 1847 diadakan perundingan diplo­matik antara Pemerintah dan Tahta Suci. Dalam 'Notanda dari Punten' ditentukan bahwa hanya wakil Roma yang berhak memindahkan dan membebaskan para imam. Gubernur Jenderal akan menerima pemberitahuan keputusan itu. Dianggap hal yang jelas bahwa wakil Roma sebelumnya secara tak-resmi mengadakan perundingan dengan Gubernur, supaya dapat menilai apakah imam yang mau diberikan tugas di tempatnya cocok dan tidak menimbulkan kehebohan di tempat itu. Apalagi imam sebelum masuk Hindia-Belanda harus memiliki surat keterangan kekuasaan untuk bertugas dalam dinas sipil di Hindia-Belanda. Surat itu dinamakan 'Surat Radikal'.

Agama Protestan dari permulaan dihubungkan dengan pemerintahan dan membantu menjamin kestabilan politik. Dengan peraturan-peraturan dan instruksi-instruksi gubernur menciptakan semacam dasar resmi agar dapat memperhatikan segala yayasan misi Protestan dan Katolik. Diberikan batas-batas kepada penginjilan dan perluasan agama Kristen, yang mula-mula ditentukan oleh kekhwatiran akan agama Islam, kemudian dianggap cocok untuk mengadakan politik netral terhadap agama-agama.

Pada 1854 diputuskan dalam artikel 123 (kemudian 177) bahwa penginjil-penginjil, imam-imam, dan guru-guru Kristen perlu meminta surat izin khusus dari Gubernur-Jenderal agar boleh berada dan berturne dalam daerah tertentu. Izin itu mungkin ditolak berdasar­kan gangguan ketenteraman dalam daerah-daerah dengan populasi Islam atau Hindu, lagi karena mau menghindarkan penginjilan dari dua agama.

Zending Protestan dan misi Katolik, keduanya bekerja di antara penganut agama dari Eropa. Karena itu sebagian dari misionaris menda­pat gaji dari pemerintah. Aktivitas misi yang lain seperti pendidikan dan  kesehatan diarahkan juga untuk orang-orang Eropa. Baru sekitar tahun 1900 muncul usaha-usaha untuk mengkristenkan para penduduk pulau-pulau luar Jawa.[]

Artikel Lain: Siapa Melayu Menurut Perjanjian Sultan Banjar dan Belanda?

Selengkapnya