Gerbang Katedral Pontianak saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal pada 24 Juni 1929. [Foto: Arsip Kapusin Belanda]
Prefek Pasificus Bos menerima telegram dari
Buitenzorg (nama resmi Bogor semasa penjajahan Belanda). Telegram yang
diterima pada Minggu, 30 November 1905 itu menyebutkan, dokumen untuk memulai
karya misi di Borneo, terutama distrik Pontianak, Sambas, dan Sintang, juga distrik
Mahakam Hulu telah bisa dimulai. Namun, isi telegram itu tidak mengizinkan mereka
berkarya di distrik Muara Teweh, Borneo bagian selatan.
Vikaris Apostolik Batavia, Mgr Edmundus Sybradus Luypen SJ berharap, semua biaya untuk perjalanan turne di Borneo dibiayai oleh Gubernur setempat. Namun, diperlukan ‘surat radikal’ sebagai seorang imam Katolik. Karena itu, Prefek Bos memohon agar Provinsial Kapusin di Belanda mempersiapkan surat-surat resmi agar hal tersebut bisa direalisasikan.
Harapan Mgr Luypen tidak terwujud. Uskup Batavia itu mengungkapkan, tidak ada pembiayaan ongkos perjalanan turne oleh pemerintah. Sebab, usaha misionaris Katolik di Borneo tidak lagi menjadi urusan pemerintah Belanda di Batavia. Pemerintah menganggap, karya misionaris yang dilakukan Kapusin di Borneo tidak memiliki hubungan yang resmi dengan pemerintah di Batavia. Karena itu, Prefek Bos langsung mengirim permohonan kepada gubernur jenderal terkait pembiayaan perjalanan dinas di Borneo Barat.
“Kalian pasti sudah membaca surat kabar. Status Singkawang sebagai paroki sudah dihapus oleh pemerintah. Ini berakibat, biaya perjalanan dinas juga sudah ditarik,” tulis Prefek Bos dalam surat pada 29 Juni 1906. Surat tersebut tersimpan rapi di Arsip Kapusin Belanda. Pastor Amantius OFMCap mengalihbahasakan surat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Bahkan, lanjut Prefek Bos dalam suratnya, “permohonan Mgr Luypen agar biaya perjalanan dinas tahun ini yang dilakukan oleh misionaris Kapusin di Borneo dan pastor-pastor dari Surabaya juga ditolak. Borneo tidak memiliki hubungan yang resmi dengan pemerintah.”
Prefek Bos mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz, yang berkuasa periode 1904-1909. Namun tidak berarti apa-apa. Sebab, Batavia perlu penghematan. Prefek Bos kemudian mengirim surat kepada Provinsial Kapusin di Belanda agar bisa mengusahkan agar biaya perjalanan karya misi di Borneo bagian barat tersedia.
Pada 1 Maret 1909, Prefek Bos menerima surat dari provinsial kapusin di Belanda. Surat bertanggal 2 Februari 1909 itu menyatakan, cukup banyak umat di Belanda yang mau membantu karya misi di Borneo. Prefek Bos sangat berharap hal tersebut berhasil. Namun sangat disayangkan dalam korespondensi tuan van Bogaardt dengan kementerian terselip beberapa hal yang tidak teliti.
Tuan van Borgaardt menyebutkan bahwa bagian barat Borneo telah diserahkan kepada para Kapusin Belanda. Padahal tidak benar demikian. Hanya sebagian dari Borneo Barat yang diserahkan kepada Kapusin, yakni wilayah Pontianak dan sekitarnya, Sambas, dan Sintang.
Sementara subbagian lain telah diserahkan kepada para Methodis. Sejak setahun lalu, mereka sudah mendapatkan izin untuk bekerja pada tiga wilayah yang diserahkan kepada Kapusin. Sementara ketika Kapusin mau masuk ke wilayah pelayanan mereka, tidak diberikan izin.
“Saya menulis surat resmi agar diizinkan masuk ke dalam bagian Methodis, yakni Mempawah dan lain-lain. Namun, saya belum menerima keputusan terkait surat tersebut,” tulis Prefek Bos.
Pada 11 Juli 1909, Gubernurmen memutuskan, sub-bagian Mempawah dan lain-lain telah terbuka bagi misionaris Kapusin untuk berkarya. Sehingga pintu-pintu terbuka bagi Kapusin untuk mewartakan kasih Tuhan di Borneo Barat. Hanya saja, para imam harus mengajukan rekest (permohonan) secara pribadi untuk izin masuk secara resmi. Biaya yang bisa diajukan hanya tiga gulden per orang.
“Kunjungan saya ke Buitenzorg (Bogor) sudah menghasilkan sesuatu yang baik. Semoga ongkos perjalanan dinas dibayar kembali juga,” Prefek Bos menulis dalam surat-suratnya.
Artikel Lain: Pemerintah Larang Misionaris Belanda Masuk Indonesia Akibat Konflik Papua