Perjalanan dari Tanjung Nipah ke Kota Pontianak hanya lima belas menit berkendara sepeda motor, kecepatan rata-rata lima puluh kilo meter per jam. Tak laju benar. Lewat ujung Kota Baru aku membawa Paramita, Umar dan Risa ke Taman Alun-Alun Kapuas yang telah ada sejak zaman dulu namanya Larive Park. Terletak di tepian Sungai Kapuas, taman Alun-Alun Kapuas selalu ramai dikunjungi warga biasanya waktu sore untuk sekadar jalan-jalan menikmati view tepian sungai besar yang terpanjang di Indonesia.
Sesaat memasuki kawasan taman, Umar berlari
girang di atas jalur paving block yang tersusun rapi dan lebar, letaknya di
antara kursi-kursi di kiri-kanan, pohon rindang dan bunga-bunga yang tertata
asri.
“Hati-hati jatuh, Umar!” seru Paramita
turut berlari kecil di belakang bocah yang baru pertama datang ke tempat wisata
lokal itu. Aku mengawasi dari belakang. Risa berjalan di sampingku.
“Bang Yudi senang ye ketemu Kak Mita,”
katanya menghentikan langkah. Aku mengangguk.
“Yaa begitulah. Sudah sejak lama aku
menunggunya datang, Ris.”
“Bang Yudi serius mau menikahi Kak Mita
lagi?”
“Maksudmu, Ris?” Aku balik bertanya, turut
menghentikan langkah.
“Eemm, gini, Bang. Maksudku Abang kan,
eee... Anu! Eemm, mungkin ada cewek lain yang lebih muda bisa jadi istri Abang,”
Risa mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepasang pipinya bersemu merah. Jari
telunjuk kanannya dilekatkan ke pangkal hidung yang mancung.
“Apa sih, Ris?” Aku penasaran. “Cewek yang
lebih muda? Maksudmu apa ya.”
“Dah ah. Ayo jalan, Bang,” katanya, “Tak
enak dilihat Kak Mita.”
“Hhmm,” Aku mengikuti Risa melangkah
bersihkan sampai kami tiba di waterfront tepian Sungai Kapuas.
Umar memandang air putih yang terus
memancar indah beberapa meter ke udara dari semacam wadah berbentuk mangkok
yang mengalirkan air seakan tumpah ke wadah lain di bawahnya dengan diameter
lebih lebar melalui jalur-jalur kecil
mengarah ke segala penjuru angin. Konstruksi tugu air mancur itu memang
tersusun dari tiga bagian berbentuk lingkaran menyatu eksotis di tengah kolam,
jadi pemandangan yang tak membosankan. Di sebelah tugu air mancur berdiri
replika tugu Khatulistiwa. Sebagai replika, tentu ukurannya jauh lebih kecil
dari tugu sebenarnya yang ada di Batu Layang.
Umar, Mita dan Risa jalan-jalan di sekitar
waterfront, pembatasnya dengan tepian Sungai Kapuas berupa pagar besi yang
panjang. Mereka ingin membeli jajanan seperti jagung bakar, sosis goreng dan
lain-lain dijual beberapa pedagang yang membuka lapak di atas sampan dilengkapi
payung besar warna-warni. Bolehlah disebut lapak apung.
Matahari kian condong ke ufuk barat. Sore
perlahan mulai temaram. Aku yang menyaksikan view tepian Sungai Kapuas beberapa
kali beradu pandang dengan Risa yang selalu berdiri dekat Paramita. Jika sudah
begitu, cepat ia beralih memandang tempat lain; deretan rumah warga nun jauh di
Siantan, tugu Tanjak Melayu bekas venue STQ Nasional beberapa tahun lalu, kapal
roro yang mondar-mandir membawa penumpang melayari lintasan Siantan—Bardan Nadi
dan kapal-kapal bertonase besar yang lempar jangkar dekat Pelabuhan Dwikora
Pontianak. Hheem, Risa!
Selama ini aku tak terlalu dekat dengan dia
kecuali sekadar chatting karena ada pesan dari Paramita yang masih tinggal di
Ketapang, biasanya minta kiriman uang untuk kebutuhan Umar. Aku pun tak pernah
tahu apakah dia sedang berpacaran dengan seorang lelaki atau telah memiliki
calon suami. Hubungan pribadiku dengan Risa biasa saja, sebatas dia keluarga
Paramita, adik sepupunya, bibi Umar yang biasa dipanggil makcik karena postur
tubuhnya yang kecil. Tak lebih. Kubuka ponsel mode silent bergetar di saku celana.
Dahiku berkerut. Pandanganku menyapu suasana sekitar, mencari-cari Risa sedang
berada di mana ketika dia berkirim WhatsApp telah terlihat di display. Aku tak
menyadari cepat benar dia pergi memisahkan diri dari kami.
“Bang, dari sini nanti bisa ndak kita meet
up di kafe?”
“Kafe mana, Ris? Kita meet up dengan siapa?”
balasku terkirim langsung cepat dibalas;
“Kite berdua jak.”
Haah?! Jantungku berdesir. Kenapa harus
berdua? Ada apa? Risa mau bicara denganku soal apa? Kenapa tak bicara di rumah
saja? Duuuh Risa kenapa jadi gini sih.
Jelang magrib, Taman Alun-Alun Kapuas makin ramai dikunjungi orang. Ada yang langsung naik ke kapal pariwisata, sebuah kapal kecil dengan dek terbuka dilengkapi meja dan kursi-kursi untuk penumpang. Dari sini penumpang dapat menyaksikan view tepian sungai ketika kapal berjalan sampai ke bawah Jembatan Kapuas Satu lalu balik lagi ke tempat semula.
“Risa di mana sekarang?” balasku.
“Perpustakaan, Bang. Sinilah.”
“Aku lagi ngobrol dengan Paramita, Ris.”
“Hhmm, Abang!” balasnya kecewa menyertakan
emoticon wajah bulat kuning bibirnya melengkung ke bawah. Kututup ponsel.
Chatting selesai. Kumasukkan ponsel ke saku celana.
“Chatting sama siapa? Kayaknya serius
banget. Perempuan itu lagi ya? Siapa namanya? Siii.. Ah, aku lupa!” cecar
Paramita di depanku. Wajahnya masam mengamati Umar duduk menikmati jagung bakar
hampir habis.
“Orang lain, Mita. Bukan Yana,” kataku tak
bisa berterus-terang telah chatting dengan adik sepupunya sendiri apa lagi jika
sampai tahu kita ada janji bertemu. Ternyata Paramita masih seperti dulu.
Posesif.
“O, iya. Namanya Yana. Chatting yang tadi,
lelaki atau perempuan?”
“Perempuan.”
“Eh, maunya apa?” tanya Paramita, suaranya
agak keras. Umar menoleh lantas berdiri, katanya hendak mencari tempat sampah
membuang bonggol jagung bakar.
“Nanti saja aku jelaskan. Kita pulang?”
kataku. Paramita membuka ponsel menghubungi seseorang.
“Di mana, Ris? Oo, di perpustakaan. Aku dan
Bang Yudi mau pulang. Jadi gimana nih. Umar sama aku, awak balek pake ojol?”
Paramita diam sebelum memutus pembicaraan, memasukkan ponsel dalam tas kecil
yang dibawanya.
“Umar, kita pulang ya,” ajak Paramita
memandang bocah itu menyaksikan kapal wisata yang berjalan perlahan.
“Umar mau naik kapal itu, Ma,” pintanya
menunjuk kapal wisata.
“Nanti ya, Sayang. Kita jalan-jalan ke sini
lagi baru bisa naik kapal. Gitu ya, Pa?”
Paramita menatapku mengedipkan sebelah mata agar aku mengiyakan kata-katanya.
“Iya, Sayang. Papa janji, insya Allah bisa
ajak Umar main ke sini, kita naik kapal,” kataku. Umar mengangguk riang
mengangkat kedua tangan.
“Yeeay! Asyik,” katanya. Kami lantas
beranjak meninggalkan waterfront pulang ke Tanjung Nipah. Di tempat parkir
ponselku bergetar panjang. Satu panggilan masuk. Dari Yana.
“Siapa?” tanya Paramita.
“Yana,” kataku. Wajah Paramita memerah.
“Angkatlah, Bang. Boleh kan aku tahu dia
mau bicara apa sama Abang?”
“Boleh,” kataku menerima telepon dengan
pengeras suara agar Paramita juga bisa mendengar pembicaraan.
“Assalamualaikum, Pak Yudi,” suara Yana jelas.
“Waalaikumussalam,“ jawabku.
“Pak Yudi boleh ndak nanti malam Yana ke
rumah Bapak. Ada draft novel Yana yang bisa Bapak baca.”
“Maaf aku sibuk.”
“Jadi ndak bisa ya, Pak.”
“Ndak bisa,” kataku memutus pembicaraan,
mematikan pengeras suara, menggenggam ponsel. Kutarik napas, menatap Paramita.
“Kenapa harus Abang yang baca draft
novelnya?” tanyanya tak dapat menyembunyikan rasa gusar. Aku menggeleng. “Apa
dia punya maksud lain?”
“Nanti saja kita bicarakan ya. Sebentar
lagi magrib. Aku mau ajak Umar salat berjemaah di masjid,” kataku. Paramita
diam menggandeng Umar mendekat ke sepeda motor milik Risa lantas keluar area
parkir. Kota Pontianak kian temaram. Lampu-lampu jalan telah menyala.
Penulis: E. Widiantoro