Tentang Dia dan Paramita (bag - 5)

February 10, 2023
Last Updated


Belum lama meninggalkan Taman Alun-Alun Kapuas, terdengar kumandang azan. Aku mengajak Paramita dan Umar singgah di surau di pertigaan lampu merah Jalan Kom. Yos Sudarso-Hasanudin. 

“Bang, koq kita ke sini? Bukannya kita pulang ke Kota Baru ujung?” Paramita mengamati bangunan surau yang didatangi beberapa orang lelaki langsung masuk mengenakan sarung, baju koko, dan berkopiah. Ada pula yang bergamis. 

“Aku sengaja mengajak kalian ke sini, surau tua yang jadi saksi bisu perkembangan Kota Pontianak. Tiga kali pindah tempat, dua kali ganti nama,” kataku menyingsingkan ujung kaos lengan panjang sampai ke siku, bersiap hendak wudu. 

“Dulu namanya Langgar Gertak I (satu). Tahun tujuh puluhan ganti  nama As-Shulhu oleh Ustad Abdul Rani Al-Yamani, seorang ulama terkenal yang menyusun jadwal waktu salat sepanjang masa untuk wilayah Kalimantan Barat. As-Shulhu artinya perdamaian karena orang-orang atau jemaah yang datang berasal dari kampung sekitar agar bisa menjaga suasana tetap rukun dan damai. Nama ini yang dipakai sampai sekarang. Dulu letak surau di pinggir jalan kecil. Setiap ada proyek pelebaran jalan, posisi surau juga ikut berpindah sampai berada di tempat sekarang.”

“Surau bersejarah ya, Bang,” Paramita mengamati suasana sekitar. Aku mengangguk. Umar sempat duduk santai di satu anak tangga beranda surau yang telah ditambah dengan kanopi. 

Nama Surau As-Shulhu terpasang jelas di papan atas beranda sepertinya terbuat dari bahan akrilik. Berpagar tembok hijau dan kayu segi empat bersilang di bawah deretan beberapa pohon berbatang kecil. Beranda surau ditopang pilar-pilar persegi empat juga dicat hijau. Dinding luar berupa papan kayu cokelat, dinding dalam tembok semen. Di sisi kanan jendelanya tinggi berteralis besi hitam. Dua kipas angin terpasang di langit-langit dalam ruang surau. Berada tepat di pertigaan jalan beraspal mulus, deru mesin kendaraan terus terdengar karena arus lalu lintas yang padat  kendaraan ke tiga arah; pusat Kota Pontianak, Jeruju dan Sungai Jawi Dalam. Di sebelah surau, seberang jalan Kom. Yos Sudarso menuju Jeruju adalah tempat aktivitas bongkar muat peti kemas dari dan keluar Pelabuhan Dwikora Pontianak. 

“Kata orang dulu ada bak penampungan air untuk wudu tertera angka 1937 sebagai penanda tahun pembuatan," kataku. 

“Waah udah lama banget, Bang," ujar Paramita berdiri di samping Umar. 

“Yaa, begitulah. Keberadaan surau ini memang sangat bernilai sejarah.” Aku menggandeng Umar, bergegas wudu lantas turut salat Magrib berjemaah. Paramita menunggu di halaman, mengaku sedang datang bulan. Ya, dalam syariat Islam seorang muslimah yang mengalami datang bulan atau haid dilarang melakukan ibadah salat, puasa, berhubungan suami istri, tawaf, bercerai, masuk masjid dan menyentuh Al-Quran. 

Usai salat aku dan Paramita yang membawa Umar segera pulang ke Tanjung Nipah. Selama di jalan beberapa kali ponselku bergetar. Sampai di batas kota kawasan Kota Baru kuhentikan sepeda motor di pinggir jalan membuka ponsel. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan satu pesan dari Risa. Aku balik meneleponnya:

“Ris?”

“Bang Yudi di mana? Lama gaa. Aku di Gajah Mada nih menunggu Abang.”

“Aku di Kota Baru mengantar Mita dan Umar pulang, Ris.”

“Kita ndak bisa ketemu?”

“Apa ndak bisa ditunda? Maksudku bisa ndak kita ketemu besok aja Gimana, Ris?” Aku balik bertanya dengan suara keras di antara deru mesin kendaraan yang melintas. 

“Kapan? Bang Yudi masih mau terus same Kak Mita ye?” sahut Risa. 

“Iyalah, Ris. Kami telah bertahun-tahun ndak pernah ketemu,”

“Hhmm, Abang!” suara Risa tak dapat menyembunyikan kecewa. 

“Ya, udah. Share loc. Aku ke sana,” kataku menutup ponsel. Paramita yang telah berjalan beberapa belas meter di depanku putar balik kanan menghampiri tanpa mematikan mesin sepeda motor. 

“Ada apa, Bang?”

“Maaf aku ndak bisa mengantar kamu dan Umar pulang, Mita. Aku ada janji ketemu seseorang di Gajah Mada."

“O ya, udah. Kami pulang duluan,“ ujar Paramita menepuk bahu Umar yang duduk di jok bagian depan. “Ucapkan salam untuk papa, Sayang.”

“Assalamualaikum, Papa,” ucap Umar menuruti kata Paramita. 

“Waalaikum salam, Umar.” jawabku lantas menatap Paramita yang tak membalas tatapanku. Pandangannya lurus ke depan. Di bawah terang lampu jalan jelas benar wajahnya cemberut. “Mita, Hati-hati di jalan ya.”

Paramita diam seakan tak mendengar ucapanku, perlahan bergerak melanjutkan perjalanan pulang ke Tanjung Nipah. Kubuka ponsel. Risa share loc. Aku segera mendatanginya ke lokasi sesuai peta yang kulihat di ponsel. 

Berselang tujuh menit, aku tiba di Jalan Gajah Mada yang yang dikenal sebagai kawasan pecinan Kota Pontianak di mana banyak kafe berdiri. Jalan Gajah Mada lantas disebut cafe street. Di sebuah coffee shop yang sepi pengunjung Risa duduk sendiri. Tangannya memegang ponsel, memotret secangkir kopi latte dan sebuah buku di atas meja. 

“Ris,” sapaku mendekatinya.

“Eh, Bang,” katanya menoleh. Aku menebar pandang ke suasana sekitar. Meja dan kursi-kursi berbahan kayu tanpa cat tersusun rapi. Di sudut ruang yang dindingnya didominasi warna cokelat, tiga orang anak-anak muda duduk diam, sibuk dengan ponsel masing-masing. Musik instrumentalia mengalun pelan dari speaker kecil. 

“Ris, kenapa kita mesti ketemu di sini?” tanyaku duduk di depannya. 

“Emang ngape, Bang? Ada masalah?”

“Ya, jelaslah masalah. Kita dikira orang sedang nge-date di sini. Aku ndak mau,”

“O, itu. Santuy, Bang,” katanya menyeruput kopi. 

“Harusnya kita bertiga.”

“Iya, tahu aku, Bang. Jika ada laki-laki dan perempuan berduaan yang ketiga adalah setan,” Risa memandang ke sudut ruang di belakang sambil tertawa. “Tuh setannya. Hhihii! Ini ruang publik, Bang. Tenang jak.”

“Apa jadinya kalo Paramita tahu kita di sini?”

“Udahlah, Bang. Biasa jak. Kak Mita ndak pernah tahu kalo Abang ndak bilang.”

“Kamu mau bicara soal apa sampe kita harus ketemu di sini?” tanyaku to the point. 

“Aku...!” Risa lantas diam. Wajahnya yang semula ceria berubah muram. 

“Ris.”

“Aku ada masalah, Bang. Berat!” Mata Risa berkaca-kaca. Setetes air bening lalu jatuh dari kelopak matanya perlahan membasahi pipi. 

“Risa, kamu kenapa?” desakku menatap wajahnya yang kecil berbibir mungil dipoles lipstik merah jambu. Rambutnya lurus sebagian atas dicat pirang tergerai lembut sebatas leher. Jantungku berdesir seketika. Ternyata Risa cantik juga, bisik hatiku lantas tersadar sedang mempersiapkan diri hendak kembali menikahi Paramita. Astagfirullah! Aku harus tetap konsisten menjadi laki-laki yang tak mudah jatuh hati pada perempuan lain, apa lagi Risa. Diminumnya lagi air kopi dalam cangkir cokelat  beberapa teguk. Mengambil tissu. Menyeka wajahnya yang basah. 

“Aku tak mau emak dan Kak Mita tahu masalah ini, Bang.” suara Risa pelan.

“Aku khawatir mereka turut kepikiran.”

“Iya. Masalahmu apa? Dari tadi aku di sini kamu belum menyampaikan apapun,” kataku tak sabar. 

“Maaf aku jadi merepotkan Abang, udah berani meminta Abang datang ke sini, mendengarkan keluh kesahku.”

“Yaa, ndak apa-apa. Sekali lagi aku tanya masalahmu apa, Ris? Kamu pacaran?” tanyaku asal menerka saja. Ia mengangguk. “Siapa laki-laki itu? Sekarang dia di mana? Kamu hamil? Sudah berapa bulan?”

Mendengar pertanyaan dari mulutku yang bertubi-tubi itu Risa menatap tajam. Wajahnya merah padam. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Ia membuka mulut seperti hendak bicara ketika seorang perempuan muda seusianya berwajah oriental menghampiriku. 

“Mau pesan apa, Pak?”

“Kopi saring tanpa gula,” kataku sadar beberapa saat di coffee shop ini belum memesan minuman. 

“Panas atau dingin?’

“Dingin.”

“Ditunggu ya, Pak  Terima kasih."

“Sama-sama,” kataku membiarkan perempuan muda itu berlalu dari hadapanku.[]

Penulis: E. Widiantoro

Artikel Lain: Tentang Dia dan Paramita (bag - 4)

Selengkapnya