Tentang Dia dan Paramita (bag-6)

February 14, 2023
Last Updated


Alunan musik pelan kudengar dari speaker kecil di pojok atas coffee shop. Risa menatapku lagi sambil berdiri meraih buku di atas meja dekat cangkir kopinya.

“Bang Yudi, aku mengubah pikiran. Aku tadak bise ngomong same Abang yang mulutnya tajam gitu,” cetusnya tiba-tiba meletupkan amarah.

“Maaf. Duduklah, Ris. Kamu kan yang meminta aku datang ke sini, kenapa sekarang malah mau pergi?” bujukku menenangkannya. Aku tahu Risa tak terima dengan pertanyaanku tadi yang hanya menduga-duga.

“Aku memang sedang berpacaran, Bang. Dah tujuh bulan. Budak asli sini ugak. Tinggal di Kalimas tetapi aku tadak semurah itu, Bang. Enak jak dia  bisa pake aku sebelum nikah. Tadaklah aku  mau gitu tuh, Bang,” katanya lantas kembali duduk.

“Jadi masalahmu apa? Aku nebak salah, kamu malah marah,” kataku melirik perempuan muda berwajah oriental datang membawa secangkir kopi saring pesananku, meletakkannya di meja lantas segera berlalu.

“Masalahnya aku sekarang ilfeel sama dia, Bang. Nak putus!”

“Lho koq gitu? Baru tujuh bulan pacaran sudah mau putus?”

“Yaa mau gimana lagi. Aku udah tak ada rasa sama dia. Aku malah kepikiran sama lelaki lain?

“Haahh? Koq bisa semudah itu, Ris?”

“Bisalah, Bang. Lelaki tuh jauh lebih tua dari cowokku sekarang. Mapan. Dewasa.”

“Perjaka?”

“Duda!” tegas Risa. Aku mengerutkan dahi. “Sekarang dia malah mau nikah lagi.”

“Serius, Ris? Dia mau nikah sama siapa?”

“Sama banci!”

“Ris?”

“Yaa sama perempuan, Abang. Masa kan nikah sama lelaki. Abang kan tahu Adam tuh menikahi Inul bukan Bambang!” kata Risa gemas. Aku mengulum senyum.

“Ciee senyum. Makin manis jak mukanya kalo gitu,” gumamnya lantas beralih pandang ke pintu masuk coffee shop hanya tiga meter saja jaraknya dari meja kami. Aku pura-pura tak mendengar.

“Apa? Barusan kamu bilang apa, Ris?”

“Tadak, Bang. Minum kopinya, Bang. Mumpung belum sejuk benar,” Wajah Risa bersemu merah. Aku menyeruput kopi saring tanpa gula.

“Ris, kalo kamu mau putus sama cowok tuh urusanmu sendiri. Selesaikan aja secara baik. Mungkin begitu lebih bagus. Untuk apa pacaran lama-lama kalo ternyata  hanya menghabiskan waktu jalan bareng sama jodoh orang,” kataku serius lalu mengangkat cangkir, minum  kopi.

“Gitu ye, Bang,” ujar Risa menatapku tak berkedip.

“Ris?” suaraku heran. Risa seakan sadar dari lamunan.

“Iya, Bang.”

“Aku pulang,” kataku pamit.

“Bentar, Bang. Aku tanya Abang.”

“Apa, Ris?”

“Abang pernahkah membayangkan menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda dari Abang?” tanyanya menatapku menunggu jawaban. Pertanyaan senada  ia sampaikan di Taman Alun Kapuas. Aku menyungging senyum.

“Aku tak membayangkan, Ris. Aku malah  telah mengalaminya. Kamu tahu kan, aku menikah dengan Paramita ketika umurnya belum genap dua puluh dua.

“O, iya. Sekarang Abang mau nikah lagi sama Kak Mita.

“Doakan lancar ya, Ris. Besok kami sudah mau urus berkas nikah ke KUA.

“Amin,” jawabnya lantas diam, wajah berubah muram. Larut dalam lamunan. Kubiarkan saja Risa begitu sambil menikmati air kopi yang mulai dingin.

Beberapa menit berlalu, ia masih juga diam, sempat mengusap pipi yang ada titik-titik hitam seperti bekas jerawat. Sebagian rambutnya sesekali bergoyang lembut terembus angin. Jemari kanannya bergerak-gerak saja di sudut sampul buku di atas meja dekat cangkir kopinya sisa sedikit. Risa mengenakan kemeja lengan pendek warna biru tua kombinasi abu-abu bergaris-garis putih dipadu celana jeans hitam.

“Kalo sudah ndak ada lagi yang kita bicarakan, aku pulang ya, Ris,” kataku sengaja membuyarkan lamunannya. Ditariknya napas, menatapku sejurus.

“Aku masih ingin bersama Abang,” suaranya lirih.

“Jangan. Kita harus pulang,” kataku menolak.

“Bang,” Risa meletakkan telapak tangannya di atas tanganku. “Jangan tinggalkan aku.

“Ris!” kataku cepat melepaskan tangan dari sentuhan jemarinya, toleh kiri-kanan. “Ini apa sih? Malu dilihat orang.

“Maaf,” ucapnya makin lirih.

“Kamu kenapa, Ris?”

“Akuu... suaranya tercekat, menatapku lekat-lekat. Wajahnya bersemu merah. “Duuuhh, Abang nih memang tadak tahu atau pura-pura tadak tahu  maksudku sih?”

“Aku ndak tahu, Ris.” kataku heran. “Maumu sebenarnya apa? Masalahmu apa?”

“Ya, udahlah. Aku pulang, Bang.” Risa cepat berdiri lantas bergegas melangkah ke pintu keluar. Kutepuk jidat. Bingung. Kenapa kelakuan Risa tiba-tiba  begitu. Kubiarkan ia pulang sendiri. Aku melangkah ke meja kasir membayar minuman. Pulang.

Tiba di rumah suasana sepi. Ibu telah tidur di kamarnya padahal waktu belum sampai pukul sembilan. Aku langsung masuk ke kamar. Kubayangkan sebentar lagi kamar ini akan jadi kamarku dan Paramita setelah kami menikah lagi. Aku akan mengganti warna cat dinding sekarang yang kuning gading sesuai warna kesukaan Paramita yaitu biru muda. Ganti gorden. Semua harus tertata rapi. Jadi kamar pengantin baru. Aih, aku tak sabar menanti saat itu.

Kubuka ponsel. Banyak pesan masuk yang belum kubuka. Pesan di grup. Pesan pribadi. Pesan dari Risa.

“Selamat malam, Bang Yudi. Selamat istirahat,” tulisnya disertai emoticon hati warna merah marun. Dikirimnya pula satu foto yang langsung kubuka. Fotonya tersenyum  tetapi langsung dihapus lantas  masuk pesan baru: “Maaf salah kirim.

Kututup ponsel, heran dengan sikap Risa hari ini sejak di Taman Alun Kapuas sampai di coffee shop. Aneh! Apa yang dia inginkan dari aku? Selama ini sikapnya denganku tak ada yang aneh. Biasa-biasa saja. Sekarang berbeda seratus delapan puluh derajat. Ia malah berani berkirim foto dengan kedua bahu terbuka. Apa maksudnya! Apa jangan-jangan.. Ya, Allah! Aku menerka saja, jadi bertanya-tanya; apakah Risa menyukaiku? O, jangan! Tak boleh. Aku akan kembali menikahi Paramita. Tak boleh ada orang ketiga di antara kami setelah menikah nanti, apa lagi Risa. 

Penulis: E. Widiantoro

Selengkapnya