Alunan musik pelan kudengar dari speaker kecil di pojok atas coffee shop. Risa menatapku lagi sambil berdiri meraih buku di atas meja dekat cangkir kopinya.
“Bang Yudi, aku mengubah pikiran.
Aku tadak bise ngomong same Abang yang mulutnya tajam gitu,” cetusnya tiba-tiba
meletupkan amarah.
“Maaf. Duduklah, Ris. Kamu kan yang
meminta aku datang ke sini, kenapa sekarang malah mau pergi?” bujukku
menenangkannya. Aku tahu Risa tak terima dengan pertanyaanku tadi yang hanya
menduga-duga.
“Aku memang sedang berpacaran,
Bang. Dah tujuh bulan. Budak asli sini ugak. Tinggal di Kalimas tetapi aku
tadak semurah itu, Bang. Enak jak dia
bisa pake aku sebelum nikah. Tadaklah aku mau gitu tuh, Bang,” katanya lantas kembali duduk.
“Jadi masalahmu apa? Aku nebak
salah, kamu malah marah,” kataku melirik perempuan muda berwajah oriental
datang membawa secangkir kopi saring pesananku, meletakkannya di meja lantas
segera berlalu.
“Masalahnya aku sekarang ilfeel
sama dia, Bang. Nak putus!”
“Lho koq gitu? Baru tujuh bulan pacaran
sudah mau putus?”
“Yaa mau gimana lagi. Aku udah tak
ada rasa sama dia. Aku malah kepikiran sama lelaki lain?”
“Haahh? Koq bisa semudah itu, Ris?”
“Bisalah, Bang. Lelaki tuh jauh
lebih tua dari cowokku sekarang. Mapan. Dewasa.”
“Perjaka?”
“Duda!” tegas Risa. Aku mengerutkan
dahi. “Sekarang dia malah mau nikah lagi.”
“Serius, Ris? Dia mau nikah sama
siapa?”
“Sama banci!”
“Ris?”
“Yaa sama perempuan, Abang. Masa
kan nikah sama lelaki. Abang kan tahu Adam tuh menikahi Inul bukan Bambang!”
kata Risa gemas. Aku mengulum senyum.
“Ciee senyum. Makin manis jak
mukanya kalo gitu,” gumamnya lantas beralih pandang ke pintu masuk coffee shop
hanya tiga meter saja jaraknya dari meja kami. Aku pura-pura tak mendengar.
“Apa? Barusan kamu bilang apa,
Ris?”
“Tadak, Bang. Minum kopinya, Bang.
Mumpung belum sejuk benar,” Wajah Risa bersemu merah. Aku menyeruput kopi
saring tanpa gula.
“Ris, kalo kamu mau putus sama
cowok tuh urusanmu sendiri. Selesaikan aja secara baik. Mungkin begitu lebih
bagus. Untuk apa pacaran lama-lama kalo ternyata hanya menghabiskan waktu jalan bareng sama
jodoh orang,” kataku serius lalu mengangkat cangkir, minum kopi.
“Gitu ye, Bang,” ujar Risa menatapku tak berkedip.
“Ris?” suaraku heran. Risa seakan
sadar dari lamunan.
“Iya, Bang.”
“Aku pulang,” kataku pamit.
“Bentar, Bang. Aku tanya Abang.”
“Apa, Ris?”
“Abang pernahkah membayangkan
menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda dari Abang?” tanyanya menatapku
menunggu jawaban. Pertanyaan senada ia
sampaikan di Taman Alun Kapuas. Aku menyungging senyum.
“Aku tak membayangkan, Ris. Aku
malah telah mengalaminya. Kamu tahu kan,
aku menikah dengan Paramita ketika umurnya belum genap dua puluh dua.”
“O, iya. Sekarang Abang mau nikah
lagi sama Kak Mita.”
“Doakan lancar ya, Ris. Besok kami
sudah mau urus berkas nikah ke KUA.”
“Amin,” jawabnya lantas diam, wajah
berubah muram. Larut dalam lamunan. Kubiarkan saja Risa begitu sambil menikmati
air kopi yang mulai dingin.
Beberapa menit berlalu, ia masih
juga diam, sempat mengusap pipi yang ada titik-titik hitam seperti bekas
jerawat. Sebagian rambutnya sesekali bergoyang lembut terembus angin. Jemari
kanannya bergerak-gerak saja di sudut sampul buku di atas meja dekat cangkir
kopinya sisa sedikit. Risa mengenakan kemeja lengan pendek warna biru tua
kombinasi abu-abu bergaris-garis putih dipadu celana jeans hitam.
“Kalo sudah ndak ada lagi yang kita
bicarakan, aku pulang ya, Ris,” kataku sengaja membuyarkan lamunannya. Ditariknya napas, menatapku
sejurus.
“Aku masih ingin bersama Abang,”
suaranya lirih.
“Jangan. Kita harus pulang,” kataku
menolak.
“Bang,” Risa meletakkan telapak
tangannya di atas tanganku. “Jangan tinggalkan aku.”
“Ris!” kataku cepat melepaskan
tangan dari sentuhan jemarinya, toleh kiri-kanan. “Ini apa sih? Malu dilihat
orang.”
“Maaf,” ucapnya makin lirih.
“Kamu kenapa, Ris?”
“Akuu...” suaranya tercekat, menatapku
lekat-lekat. Wajahnya bersemu merah. “Duuuhh, Abang nih memang tadak tahu atau
pura-pura tadak tahu maksudku sih?”
“Aku ndak tahu, Ris.” kataku heran.
“Maumu sebenarnya apa? Masalahmu apa?”
“Ya, udahlah. Aku pulang, Bang.”
Risa cepat berdiri lantas bergegas melangkah ke pintu keluar. Kutepuk jidat.
Bingung. Kenapa kelakuan Risa tiba-tiba
begitu. Kubiarkan ia pulang sendiri. Aku melangkah ke meja kasir
membayar minuman. Pulang.
Tiba di rumah suasana sepi. Ibu
telah tidur di kamarnya padahal waktu belum sampai pukul sembilan. Aku langsung
masuk ke kamar. Kubayangkan sebentar lagi kamar ini akan jadi kamarku dan
Paramita setelah kami menikah lagi. Aku akan mengganti warna cat dinding
sekarang yang kuning gading sesuai warna kesukaan Paramita yaitu biru muda.
Ganti gorden. Semua harus tertata rapi. Jadi kamar pengantin baru. Aih, aku tak
sabar menanti saat itu.
Kubuka ponsel. Banyak pesan masuk
yang belum kubuka. Pesan di grup. Pesan pribadi. Pesan dari Risa.
“Selamat malam, Bang Yudi. Selamat
istirahat,” tulisnya disertai emoticon hati
warna merah marun. Dikirimnya pula satu foto yang langsung kubuka. Fotonya
tersenyum tetapi langsung dihapus
lantas masuk pesan baru: “Maaf salah
kirim.”
Kututup ponsel, heran dengan sikap
Risa hari ini sejak di Taman Alun Kapuas sampai di coffee shop. Aneh! Apa yang
dia inginkan dari aku? Selama ini sikapnya denganku tak ada yang aneh.
Biasa-biasa saja. Sekarang berbeda seratus delapan puluh derajat. Ia malah
berani berkirim foto dengan kedua bahu terbuka. Apa maksudnya! Apa
jangan-jangan.. Ya, Allah! Aku menerka saja, jadi bertanya-tanya; apakah Risa
menyukaiku? O, jangan! Tak boleh. Aku akan kembali menikahi Paramita. Tak boleh
ada orang ketiga di antara kami setelah menikah nanti, apa lagi Risa.
Penulis: E. Widiantoro