Pagi ketika hendak sarapan bersama ibu ponselku di meja makan bergetar panjang. Pasti ada panggilan masuk. Tertera di display. Yana memanggil. Hhmm. Aku enggan menerima telepon dari perempuan yang mengaku sebagai novelis itu.
“Siapa yang telepon?” tanya ibu hendak
menyendok nasi ke mulut.
“Mardiana, Bu.” kataku memegang centong
kayu mengambil nasi dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Kumasukkan
secentong nasi ke dalam piring. Mengambil sepotong ayam goreng. Sayurnya tumis
kangkung saus tiram masakan ibu. Tak
lupa kuambil kerupuk dalam stoples.
“Terima saja, mungkin ada hal penting
hendak dia sampaikan,” pinta ibu. Kuraih ponsel menerima telepon dari Yana.
“Ya,” sambutku.
“Pak Yudi tolong baca draft novel Yana ya.
Ada lima bab. Nanti Yana datang ke rumah Bapak antar print out-nya. O ya,
sekalian mau ketemu ibu juga. Yana ada beli bahan kain batik yang cocok dipake
ibu,”
“Oo, ndak perlu repot. Berikan pada orang
lain aja yang lebih membutuhkan. Paramita sudah belikan bahan batik untuk ibu,
rencananya nanti mau dipakai di acara akad nikah kami. Hallo? Hallooo?” kataku.
Sambungan telepon terputus.
“Yana mau apa?” tanya ibu.
“Biasalah, Bu. Mau ke sini. Katanya ada
bahan kain batik untuk ibu.”
“Bilang sama dia terima kasih. Ibu sudah
ada bahan kain batik dari calon menantu ibu.”
“Aku juga sudah bilang begitu tadi.”
“Ya, sudah. Ayo makanlah. Kamu ndak telat
ke kantor.”
“Iya, Bu,” kataku menundukkan kepala
menghadap piring di meja bersiap makan. “Bismillah.”
Usai sarapan aku segera berangkat ke kantor
melewati rumah Risa, tempat Paramita dan Umar tinggal sementara sebelum kami menikah lagi.
Kutoleh rumah kecil yang memiliki halaman
luas ditumbuhi beberapa pohon bunga kenanga, terletak di pinggir jalan poros Tanjung Nipah menuju Kota
Pontianak. Kuhentikan sepeda motor ketika melihat Umar berdiri di beranda bersama Risa yang sedang
menyiram bunga dalam pot-pot kecil.
“Umar!” panggilku mengarahkan sepeda motor
masuk halaman rumah. Umar menoleh. Pun Risa yang tersenyum kepadaku sedang
membuka helmet.
“Assalamualaikum, Bang Yudi. Lawarnye papa
Umar nih. Lawar emang eeehh."
“Waalaikumussalam. Apa sih, Ris?” kataku
malu.
“Papa!” seru Umar berlari turun
menghampiriku, salam, cium tangan. “Papa mau berangkat kerja ya?”
“Iya, Sayang,” kataku. “Mama di mana?”
“Tadi nyuci baju,” kata Umar polos menoleh
ke belakang mendengar suara.
“Bang,” Paramita keluar langsung ikut turun
pula menghampiriku. Tangannya memegang kerah jaket yang kukenakan. “Posisi
kerah jaket nih kurang rapi. Rambutmu juga sudah panjang, Bang. Sudah waktunya
dipangkas biar lebih rapi, jadi makin ganteng.”
“Ehemm!” Risa berdehem keras lantas melepas
selang air yang dipergunakan menyiram bunga, buru-buru masuk rumah. Sempat
kulihat wajahnya memerah dan cemberut.
“Ngape biyak tuh?” tanya Paramita memandang
sebentar ke pintu rumah. Risa tak terlihat lagi.
“Entahlah,” kataku merogoh tiga lembar uang
kertas merah dari dalam tas. “Untuk belanja dan jajan Umar.”
“Terima kasih, Bang. Aku masih ada uang
tabungan. Bisalah untuk keperluan sehari-hari di sini, ada tambahan biaya untuk
acara akad nikah kita nanti,” ucap Paramita menerima uang pemberianku.
“Simpan aja uangmu. Keperluan sehari-hari
kamu dan Umar biar jadi urusanku,” kataku memasang helmet lagi. “O ya, Umar
harus segera didaftarkan ke sekolah dasar di sini. Aku ndak mau Umar
ketinggalan pelajaran di sekolah.”
“Iya, Bang. Semua berkas pindah dari
Ketapang ada kubawa.”
“Sip! Aku berangkat ke kantor ya.”
“Iya, Bang.”
“Umar jangan nakal sama mama,” kataku
menatap Umar.
“Iya, Pa.”
“Hati-hati di jalan, Bang,” pesan Paramita.
Aku mengangguk.
“Assalamualaikum,” ucapku men-starter sepeda motor.
“Waalaikum salam,” jawab Paramita dan Umar
hampir bersamaan.
Aku melanjutkan perjalanan menuju kantor.
Sampai di tempat parkir, Bang Ali petugas sekuriti keluar dari pos jaga.
“Selamat pagi, Pak Yudi.”
“Pagi, Bang Ali.”
“Ada yang menunggu Bapak tuh dari tadi,”
katanya.
“O, ya?” Aku heran masih pagi telah ada
yang datang ke kantor. Ada urusan apa sih? Kuingat lagi janji-janji dengan orang lain tiga hari
terakhir. Tak ada. Aku tak membuat janji dengan siapapun apa lagi bertemu di kantor waktu pagi. “Siapa, Bang?”
“Aku, Pak Yudi,” suara Mardiana telah
berdiri dekat sepeda motorku. Bang Ali menundukkan kepala berlalu dari
hadapanku.
“Pagi banget ke sini,” kataku.
“Maaf,” ucapnya singkat.
“Ada apa?”
“Mohon dibaca, Pak. Draft novel Yana,”
katanya menunjukkan satu bandel kertas putih.
“Maaf. Berikan saja pada orang lain. Aku
permisi,” kataku bergegas melangkah masuk kantor. “Bang Ali!”
“Siap, Pak!”
“Pak! Pak Yudi! Iiih koq gitu sih?” teriak
Yana.
“Maaf, Bu. Pak Yudi tak mau diganggu,”
suara Bang Ali masih kudengar sambil terus melangkah di lobi kantor.
“Aku ndak mengganggu. Aku bukan
pengganggu!” suara Yana bicara dengan Bang Ali. Setelah itu aku tak mendengar
apa-apa lagi dari tempat parkir kantor. Aku ke titik lokasi mesin finger print,
melakukan presensi lantas masuk ruang kerja.
Aku sedang larut dalam rutinitas pekerjaan
ketika ponsel di meja bergetar. Satu pesan WhatsApp masuk. Dari Risa.
“Cowokku tadak mau kami putus, Bang. Dia
malah hendak melamarku jadi istrinya tiga hari lagi, kami segera menikah.”
“Alhamdulillah,” balasku terkirim.
“Eh, suka yee.”
“Iyalah, Ris. Apapun urusannya selama
mengandung kebaikan harus bersegera, jangan ditunda lagi.”
“Termasuk nikah, Bang?’
“Ris, seingatku nih ya, ada lima perkara
yang tidak boleh ditunda. Pertama, memberi makan tamu. Kedua, menikahkan
seorang perawan. Ketiga, menguburkan jenazah. Keempat, membayar utang. Kelima,
bertobat dari segala dosa.”
“Iyeee, Pak Ustaz. Terima kasih untuk
tausiyah pagi ini,” tulis Risa kubaca. Tak lupa ia menyertakan simbol hati
warna merah tua. Aku geleng-geleng kepala, menanggapi pesannya dengan menekan
emoticon jempol kuning.
Penulis: E. Widiantoro