Tentang Dia dan Paramita (bag – 8)

February 21, 2023
Last Updated


Sore aku pulang dari kantor singgah ke kedai Misna dekat Pasar Inpres Tanjung Nipah. Aku hendak membeli lauk dan sayur jadi untuk ibu dan Paramita. Ibu tak repot lagi memasak menu makan malam. Paramita juga begitu. Tinggal bersama bibi dan adik sepupu dalam satu rumah tentu tak nyaman jika tak ikut membantu masak di dapur, setidaknya ada belanja kebutuhan dapur juga. Dengan lauk dan sayur jadi yang kubeli cukuplah nanti untuk makan malam mereka berempat.

Kedai Misna yang kecil itu sedang sepi ketika aku datang. Mungkin sudah bukan waktunya makan. Hanya ada tiga pengunjung lelaki sedang makan di meja masing-masing. Misna pun sendiri.

“Makan di sinikah, Bang?” sapanya tersenyum ramah ketika aku masuk kedai.

“Ndak. Beli sayur dan lauk jadi aja,” kataku berdiri dekat etalase kaca alumunium tempat Misna menaruh semua masakannya yang telah siap santap.

“Mau lauk apa?”

“Ayam bakar dada sepuluh potong, tempe sepuluh ribu.”

“Sayur?”

“Tumis kol nih boleh. Tambah oseng kacang panjang dan terong balado,” kataku.

“Sayur paling murah lima ribu ya, Bang,” ujar Misna memegang penjepit makanan. “Maklum apa-apa harga udah naik semua.”

“Iyaa. Pisahin dua bungkus masing-masing sepuluh ribu. Ayam bakar dan tempe juga  pisahin jadi dua kantong isi lima potong yaa,” pintaku teringat sayur dan lauk jadi kubeli untuk dua tempat berbeda, ibu dan Paramita.

“Siap, Abang. Ditunggu yaa,” ucap Misna cepat tangannya bergerak mengambil dan membungkus lauk  sayur jadi yang kubeli. Tak lama semua telah siap masuk dalam dua kantong kresek putih langsung kubayar.

Dari kedai Misna aku ke rumah Risa dulu mengantarkan sayur dan lauk jadi. Risa yang membuka pintu.

“Eeh ada papa Umar yang lawar. Nak nyari siape? Aku atau mama Umar nih?” Senyum Risa cerah merekah memamerkan deretan giginya yang bersih tak terlalu putih. Rambutnya tergerai basah mengenai kerah t-shirt. Harum pembersih rambut tercium hidungku.

“Nyari kamu aja, Ris. Nih, lauk dan sayur jadi untuk kalian. Dah ya, gitu aja,” kataku.

“Waah papa Umar baeknyee gaa,” Risa menerima dua kantong kresek putih berisi sayur dan lauk jadi dari tanganku. “Emang misua idaman daah. Nanti kusampaikan ke Kak Mita yaa misuaaa.”

“Apaan sih kamu, Ris. Oke!” Aku mengacungkan jempol jari lantas men-starter sepeda motor segera pulang ke rumah.

‘Assalamualaikum,” kataku di muka pintu.

“Waalaikum salam,” jawab suara perempuan, bukan suara ibu. Mardiana muncul dan berdiri di ambang pintu. “Ibu sedang mengaji.”

Aku diam melangkah melewatinya  masih berdiri di ambang pintu sambil membawa dua kantong sayur dan lauk jadi menuju kamar ibu. Kudengar jelas suara ibu sedang mengaji. Ya, begitu kebiasaan ibu hampir saban hari. Di waktu luang setelah Asar ibu pasti menyempatkan diri untuk mengaji dua atau tiga halaman.

Dari depan kamar ibu aku beralih ke meja makan meletakkan lauk dan sayur jadi dalam tudung saji. Jika mau ibu tinggal memanaskannya lagi nanti untuk makan malam kami.

Aku hendak masuk ke kamar ketika ibu keluar masih mengenakan  mukena biru muda corak bunga-bunga.

“Yud, ayo kita ngobrol di ruang tamu,” pinta ibu.

“Iya, Bu,” kataku di belakang ibu melangkah ke ruang tamu. Di situ Mardiana telah duduk manis. Ibu langsung membuka pembicaraan.

“Tadi ibunya Risa ke sini. Katanya besok malam Risa mau dilamar kekasihnya. Awal bulan depan mereka hendak menikah.”

“Waah senangnya dilamar kekasih!” cetus Yana tiba-tiba. “Aku juga mau dilamar, Pak Yudi.”

Aku dan ibu menatapnya hampir bersamaan. Perilaku perempuan satu ini sungguh menjengkelkan!

“Yana, maaf. Bisa tinggalkan kami sekarang?” ujarku menatapnya tajam.

“Bisa. Aku langsung permisi pulang,” katanya beranjak lantas keluar ruang tamu. Sebentar kemudian terdengar suara mesin sepeda motor menjauh.

“Yud, kamu tahu calon suami Risa orang mana?” tanya ibu.

“Katanya orang Kalimas, Bu.”

“Oo, dekat sini ya.”

“Ibunya Risa meminta kamu yang mewakili pihak keluarga Risa untuk menerima lamaran dari calon suaminya itu. Bisa kan, Yud?”

“InsyaAllah, Bu. Aku bisa,” kataku tanpa pikir panjang. Toh mereka juga nanti akan kembali jadi keluargaku karena pernikahan dengan Paramita.

“Alhamdulillah. Waktunya besok malam lho, Yud. Kamu ndak ada rencana ke mana-mana kan?”

“Ndak ada, Bu. Aman!” kataku. “O ya, aku tadi beli sayur dan lauk jadi untuk kita makan malam ini.”

“Kamu beli apa?”

“Ayam bakar kesukaan ibu. Sayurnya juga ada terong balado. Sayur garing, Bu.”

“Kamu tahu aja kesukaan Ibu, Yud,” Wajah ibu tersenyum cerah. “Terima kasih yaa.”

“Iya, Bu. Biasa aja,” kataku.

“Eh, Mita dan Umar dibelikan juga ndak, Yud?”

“Ada, Bu. Sudah kuantar tadi.”

“Bagus, alhamdulillah. Kamu harus cepet juga tuh ngelamar Paramita. Ibu ndak terus-terusan didatangi perempuan tadi dengan alasan macem-macem.”

“Hhmm, Yana!” kataku tak suka dengan caranya mendekati ibu padahal tak ada urusan serius yang dibicarakan. “Tadi jam berapa dia ke sini, Bu?”

“Jam delapan pagi.”

“Hhaahh?” Aku terkejut. Yana berada di rumah setelah pulang dari kantorku, tak pergi ke mana-mana. “Dia ke sini ngapain aja?”

“Ndak ada. Hanya ngobrol ngalor ngidul. Duduk-duduk. Ya, udah. Waktunya makan ya kita makan bareng,” kata ibu. Aku percaya ibu bicara apa adanya.

Seketika aku merasa sangat kesal. Entah apa maksud Yana yang sebenarnya sehingga beberapa kali mendatangi ibu dengan waktu lama. Apakah karena pertanyaannya dulu yang tak pernah kujawab lalu ingin mendapatkan jawaban melalui ibu?

“Astagfirullah,” ucapku.

“Dia tadi nanya soal Paramita. Ibu bilang aja kalo Paramita itu calon menantu ibu. Mukanya berubah ndak suka gitu dengar kata ibu," ujar Ibu jeda sejenak. “Lho, kita koq malah ghibah ya, Yud.”

“Kalo dia ndak suka dengar kata ibu terserah aja. Ibu telah mengatakan yang sebenarnya. Besok aku persiapkan semua berkas untuk peristiwa nikah yang akan dimasukkan ke KUA. Rencanaku, akhir minggu ini aku berangkat ke Ketapang menemui bapaknya untuk melamar Mita lagi, menyampaikan niat hendak kembali menikahi Paramita. Gimana, Bu?”

“Insya Allah ibu mendukung dan merestui semua niatmu selama untuk kebaikan, Yudi.”

“Alhamdulillah. Terima kasih, Bu,” ucapku girang mendapat restu ibu.[]

Penulis: E. Widiantoro

Selengkapnya