Sore aku pulang dari kantor singgah ke kedai Misna dekat Pasar Inpres Tanjung Nipah. Aku hendak membeli lauk dan sayur jadi untuk ibu dan Paramita. Ibu tak repot lagi memasak menu makan malam. Paramita juga begitu. Tinggal bersama bibi dan adik sepupu dalam satu rumah tentu tak nyaman jika tak ikut membantu masak di dapur, setidaknya ada belanja kebutuhan dapur juga. Dengan lauk dan sayur jadi yang kubeli cukuplah nanti untuk makan malam mereka berempat.
Kedai
Misna yang kecil itu sedang sepi ketika aku datang. Mungkin sudah bukan
waktunya makan. Hanya ada tiga pengunjung lelaki sedang makan di meja
masing-masing. Misna pun sendiri.
“Makan
di sinikah, Bang?” sapanya tersenyum ramah ketika aku masuk kedai.
“Ndak.
Beli sayur dan lauk jadi aja,” kataku berdiri dekat etalase kaca alumunium
tempat Misna menaruh semua masakannya yang telah siap santap.
“Mau
lauk apa?”
“Ayam
bakar dada sepuluh potong, tempe sepuluh ribu.”
“Sayur?”
“Tumis
kol nih boleh. Tambah oseng kacang panjang dan terong balado,” kataku.
“Sayur
paling murah lima ribu ya, Bang,” ujar Misna memegang penjepit makanan. “Maklum
apa-apa harga udah naik semua.”
“Iyaa.
Pisahin dua bungkus masing-masing sepuluh ribu. Ayam bakar dan tempe juga pisahin jadi dua kantong isi lima potong
yaa,” pintaku teringat sayur dan lauk jadi kubeli untuk dua tempat berbeda, ibu
dan Paramita.
“Siap,
Abang. Ditunggu yaa,” ucap Misna cepat tangannya bergerak mengambil dan
membungkus lauk sayur jadi yang kubeli.
Tak lama semua telah siap masuk dalam dua kantong kresek putih langsung
kubayar.
Dari
kedai Misna aku ke rumah Risa dulu mengantarkan sayur dan lauk jadi. Risa yang
membuka pintu.
“Eeh
ada papa Umar yang lawar. Nak nyari siape? Aku atau mama Umar nih?” Senyum Risa
cerah merekah memamerkan deretan giginya yang bersih tak terlalu putih.
Rambutnya tergerai basah mengenai kerah t-shirt. Harum pembersih rambut tercium
hidungku.
“Nyari
kamu aja, Ris. Nih, lauk dan sayur jadi untuk kalian. Dah ya, gitu aja,”
kataku.
“Waah
papa Umar baeknyee gaa,” Risa menerima dua kantong kresek putih berisi sayur
dan lauk jadi dari tanganku. “Emang misua idaman daah. Nanti kusampaikan ke Kak
Mita yaa misuaaa.”
“Apaan
sih kamu, Ris. Oke!” Aku mengacungkan jempol jari lantas men-starter sepeda
motor segera pulang ke rumah.
‘Assalamualaikum,”
kataku di muka pintu.
“Waalaikum
salam,” jawab suara perempuan, bukan suara ibu. Mardiana muncul dan berdiri di
ambang pintu. “Ibu sedang mengaji.”
Aku
diam melangkah melewatinya masih berdiri
di ambang pintu sambil membawa dua kantong sayur dan lauk jadi menuju kamar
ibu. Kudengar jelas suara ibu sedang mengaji. Ya, begitu kebiasaan ibu hampir
saban hari. Di waktu luang setelah Asar ibu pasti menyempatkan diri untuk
mengaji dua atau tiga halaman.
Dari
depan kamar ibu aku beralih ke meja makan meletakkan lauk dan sayur jadi dalam
tudung saji. Jika mau ibu tinggal memanaskannya lagi nanti untuk makan malam
kami.
Aku
hendak masuk ke kamar ketika ibu keluar masih mengenakan mukena biru muda corak bunga-bunga.
“Yud,
ayo kita ngobrol di ruang tamu,” pinta ibu.
“Iya,
Bu,” kataku di belakang ibu melangkah ke ruang tamu. Di situ Mardiana telah
duduk manis. Ibu langsung membuka pembicaraan.
“Tadi
ibunya Risa ke sini. Katanya besok malam Risa mau dilamar kekasihnya. Awal
bulan depan mereka hendak menikah.”
“Waah
senangnya dilamar kekasih!” cetus Yana tiba-tiba. “Aku juga mau dilamar, Pak
Yudi.”
Aku
dan ibu menatapnya hampir bersamaan. Perilaku perempuan satu ini sungguh
menjengkelkan!
“Yana,
maaf. Bisa tinggalkan kami sekarang?” ujarku menatapnya tajam.
“Bisa.
Aku langsung permisi pulang,” katanya beranjak lantas keluar ruang tamu.
Sebentar kemudian terdengar suara mesin sepeda motor menjauh.
“Yud,
kamu tahu calon suami Risa orang mana?” tanya ibu.
“Katanya
orang Kalimas, Bu.”
“Oo,
dekat sini ya.”
“Ibunya
Risa meminta kamu yang mewakili pihak keluarga Risa untuk menerima lamaran dari
calon suaminya itu. Bisa kan, Yud?”
“InsyaAllah,
Bu. Aku bisa,” kataku tanpa pikir panjang. Toh mereka juga nanti akan kembali
jadi keluargaku karena pernikahan dengan Paramita.
“Alhamdulillah.
Waktunya besok malam lho, Yud. Kamu ndak ada rencana ke mana-mana kan?”
“Ndak
ada, Bu. Aman!” kataku. “O ya, aku tadi beli sayur dan lauk jadi untuk kita
makan malam ini.”
“Kamu
beli apa?”
“Ayam
bakar kesukaan ibu. Sayurnya juga ada terong balado. Sayur garing, Bu.”
“Kamu
tahu aja kesukaan Ibu, Yud,” Wajah ibu tersenyum cerah. “Terima kasih yaa.”
“Iya,
Bu. Biasa aja,” kataku.
“Eh,
Mita dan Umar dibelikan juga ndak, Yud?”
“Ada,
Bu. Sudah kuantar tadi.”
“Bagus,
alhamdulillah. Kamu harus cepet juga tuh ngelamar Paramita. Ibu ndak
terus-terusan didatangi perempuan tadi dengan alasan macem-macem.”
“Hhmm,
Yana!” kataku tak suka dengan caranya mendekati ibu padahal tak ada urusan
serius yang dibicarakan. “Tadi jam berapa dia ke sini, Bu?”
“Jam
delapan pagi.”
“Hhaahh?”
Aku terkejut. Yana berada di rumah setelah pulang dari kantorku, tak pergi ke
mana-mana. “Dia ke sini ngapain aja?”
“Ndak
ada. Hanya ngobrol ngalor ngidul. Duduk-duduk. Ya, udah. Waktunya makan ya kita
makan bareng,” kata ibu. Aku percaya ibu bicara apa adanya.
Seketika
aku merasa sangat kesal. Entah apa maksud Yana yang sebenarnya sehingga
beberapa kali mendatangi ibu dengan waktu lama. Apakah karena pertanyaannya
dulu yang tak pernah kujawab lalu ingin mendapatkan jawaban melalui ibu?
“Astagfirullah,”
ucapku.
“Dia
tadi nanya soal Paramita. Ibu bilang aja kalo Paramita itu calon menantu ibu.
Mukanya berubah ndak suka gitu dengar kata ibu," ujar Ibu jeda sejenak.
“Lho, kita koq malah ghibah ya, Yud.”
“Kalo
dia ndak suka dengar kata ibu terserah aja. Ibu telah mengatakan yang
sebenarnya. Besok aku persiapkan semua berkas untuk peristiwa nikah yang akan
dimasukkan ke KUA. Rencanaku, akhir minggu ini aku berangkat ke Ketapang
menemui bapaknya untuk melamar Mita lagi, menyampaikan niat hendak kembali
menikahi Paramita. Gimana, Bu?”
“Insya
Allah ibu mendukung dan merestui semua niatmu selama untuk kebaikan, Yudi.”
“Alhamdulillah.
Terima kasih, Bu,” ucapku girang mendapat restu ibu.[]
Penulis: E. Widiantoro