Tentang Dia dan Paramita (bag 9)

February 27, 2023
Last Updated


Setelah salat Isya aku menelepon Paramita. Sebenarnya aku bisa   datang menemuinya, langsung untuk bicara. Hanya perasaanku tak nyaman. Kami bukan muhrim. Apa kata orang-orang jika melihatku sering berkunjung ke rumah Risa yang menjadi tempat tinggalnya sementara. Bisa-bisa nanti dianggap meresahkan. Belum ada ikatan resmi pernikahan tetapi selalu bertemu dengan beragam alasan. Pemandangan yang sungguh tak elok. Sebaiknya Paramita kutelepon saja.

“Assalamualaikum,” sapaku ketika panggilan telah dijawab.

“Waalaikum salam,” suara Paramita di ponsel.

“Kamu sibuk, Mita? Ada yang pingin aku bicarakan serius soal rencana pernikahan kita. Aku juga mau beli mobil baru.”

“Aku lagi read aloud nih sama Umar,” katanya.

Read aloud?” tanyaku pernah mendengar istilah itu tetapi belum tahu yang sebenarnya.

“Iya, read aloud, Bang. Membaca nyaring. Aku baca cerita secara nyaring di buku, Umar yang mendengarkan. Aku berusaha membangun suasana yang interaktif dan menyenangkan gitu.”

“O ya, udah. Lanjutkan aja dulu,” kataku mendengar Paramita masih berujar.

“Melalui kegiatan read aloud, kita memberikan contoh cara membaca yang baik, benar, lancar, fasih dan bermakna. Aku mau Umar bisa memperluas kosakata serta menambah pengetahuan dari cerita yang dibacakan. Read aloud bagus banget, Bang,” ujar Paramita disusul suara Umar.

“Ma, gajahnya marah ya sama kelinci. Koq bisa, Ma. Terus gimana, Ma?”

“Sebentar ya, Sayang. Mama bicara dulu sama papa.”

“Gajahnya pasti marah tuh. Diledekin si kelinci. Gitu ya, Ma?”

“Iya, nanti mama lanjutkan,” suara Paramita lantas hilang. Pembicaraan terputus.

Aku tak berusaha menghubungi Paramita lagi. Biarlah ia melakukan kegiatan read aloud bersama Umar. Aku lantas menghadap laptop di meja kerja, membuka e-mail yang masuk dari klien di beberapa daerah. Ada juga e-mail dari kampus tempatku menjadi dosen luar biasa. Semua e-mail langsung kubalas. Setelah hampir satu jam, ponselku bergetar panjang. Paramita memanggil.

“Assalamualaikum, Mita,” sapaku.

“Waalaikumsalam, Bang. Umar barusan tidur setelah read aloud tadi. Abang pasti nunggu lama.”

“Ya, ndak apa-apa. Baguslah kalo dia udah tidur. Kita bisa leluasa bicara,” kataku masih menatap layar laptop. Tiga-empat e-mail yang masuk tak segera kubalas.

“Bang, tadi Abang bilang mau beli mobil baru ya?” tanya Paramita jelas kudengar.

“Yaa, insyaAllah gitu, Mita.”

“Yakin?”

“Maksudmu?” Aku balik bertanya.

“Maksudku, Abang yakin mau beli mobil baru? Abang kan takut kalo nyetir mobil sendiri. Dulu Abang gitu,” jawab Paramita.

“Oh! Iya, ya.” Aku menepuk jidat. Sejak dulu aku memang ndak bisa nyetir mobil sendiri. Setiap kali hendak nyetir mobil pasti deg-degan. Aku selalu khawatir, ketakutan, mobil yang kubawa akan menabrak sesuatu di jalan. Jika sudah dalam kondisi begitu, keringat dingin biasa mengucur deras membasahi dahi, harus kulap dengan sapu tangan. “Aku nyari sopir pribadi aja nanti, Mita.”

“Sopir pribadi? Koq nyari sopir pribadi? Aku kan bisa nyetir, Abang.” Paramita mengingatkan. Sejak dulu masih gadis ia adalah pemegang SIM A.

“Okee, kamu yang nyetir. Aku jadi penumpang.” kataku.

“Satu lagi.”

“Apa?”

“Mabuk ndak?”

“Aduuhh,” kataku singkat. Paramita memang perempuan yang tahu pasti aku biasa mengalami mual dan muntah setiap berkendara dengan mobil meski telah duduk di depan, pendingin udara dalam pun disetel tak terlalu dingin. Jika kemudian aku bisa aman berada dalam mobil tanpa mual dan muntah itu karena aku telah minum pil kecil warna merah muda yang biasa disebut obat anti mabuk. Hhmm, sepertinya aku memang belum bisa punya mobil sendiri.

“Kalo boleh aku saran ya Bang, tunda aja dulu beli mobil baru. Ndak apa-apa Abang ke mana-mana masih  pake sepeda motor.”

“Aku pingin bisa punya mobil sendiri. Kita bisa jalan bareng tanpa khawatir panas dan kehujanan. Ndak mesti bayar juga kayak taksi online,” kilahku masih ingin membeli mobil keluaran terbaru.

“Nanti-nanti aja kalo Abang udah ndak deg-degan dan mabuk darat. Budget untuk beli mobil bisa jadi donasi Abang ke panti asuhan yatim piatu, pondok tahfiz santri penghapal Al-Quran atau panitia pembangunan masjid lho, Bang. Itu pun kalo Abang mau,” Paramita menyampaikan saran yang tak kuduga sebelumnya. “Kalo bisa secepatnya, Bang. Jangan ditunda.”

“Maasya Allah. Saran yang baik, Mita. Aku setuju. Yaa, pasti aku mau. Tak perlu menunda untuk melakukan kebaikan karena itulah yang jadi bekal kita kelak menghadap Tuhan,” kataku masih membuka e-mail masuk. “Obrolan kita sambung besok ya. Di Livin Cafe.”

“Di mana tuh, Bang?”

“Jalan Sidas, belakang Bank Mandiri. Aku mau menikmati kopi Vietnam dan siomay ayam udang yang enak di situ. Masih ada lagi menu makanan dan minuman yang lain. Harganya juga terjangkau.”

“Waaah, aku jadi langsung ngiler dengernya, Bang. Baiklah. Kita ke situ pukul sepuluh ya.”

“Okee, Mita.”

“Eh, Bang. Umar dibawa ndak?”

“Umar biar sama Risa aja.”

“Kita hanya berdua? Kayak orang pacaran dong. Hhahaaa,” tawa Paramita berderai.

“Kamu mau kan?”

“Sebenarnya malu, Bang. Risih. Kita belum halal, masih jadi orang lain. Bukan muhrim!” ujar Paramita tegas.

“Jadi gimana?” Aku masih berharap bisa bertemu dan ngobrol dengan Paramita di tempat yang kupilih sendiri.

“Bawa Risa dan Umar aja,” usul Paramita. “Mereka bisa berada di meja yang berbeda.”

“Ya udah kalo maunya kamu gitu. Aku setuju,” kataku tak mengatakan yang sebenarnya bagaimana sikap Risa terhadapku di hari-hari belakangan. Entah seperti apa ekspresi wajahnya nanti melihat aku dan Paramita duduk di satu meja dan ngobrol hangat.

“Bang Yudi, udah ya. InsyaAllah sampe ketemu besok. Assalamualaikum, Papa Umar.”

“Waalaikum salam, Mama Umar,” ucapnya menutup pembicaraan.

Penulis: E. Widiantoro

Selengkapnya