Uskup Agustinus Ajak Peduli Terhadap Kelompok Rentan yang Tersingkir Akibat Krisis Iklim

February 23, 2023
Last Updated


Uskup Agung Pontianak, Mgr Agustinus Agus mengingatkan dampak perubahan iklim terhadap kualitas juga kuantitas air dan tanah, keanekaragaman hayati yang terancam punah, dan berkurangnya luas hutan. Ia juga mengingatkan, kesehatan yang terus memburuk dan semakin berkurangnya lahan pertanian.

Hal tersebut diungkapkan Uskup Agustinus dalam Surat Gembala Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Pontianak. Surat gembala itu diterbitkan pada 22 Februari 2023, bertepatan dengan Hari Rabu Abu, sebagai tanda dimulainya masa prapaskah yang lebih sering dikenal dengan masa puasa atau masa tobat selama 40 hari. Masa tobat adalah masa ketika semua orang diajak, “untuk mengoyakan hati dan berbalik kepada Allah, Pencipta langit dan bumi.” (Bdk.Yoel.2:12-18).

Uskup Agung menjelaskan, tobat adalah soal hati namun perlu diungkapkan dengan cara-cara yang nyata bukan hanya secara pribadi tetapi juga secara bersama-sama sebagai Keluarga Besar Umat Allah.

Tobat diungkapkan dengan doa, pantang-puasa dan amal-kasih yang diarahkan kepada Allah Bapa Sang Pencipta. Bukan untuk pamer apalagi gengsi.

Tahun 2023, Konferensi Waligereja Indonesia mengambil tema “Keadilan Ekologis bagi Seluruh Ciptaan untuk aksi puasa pembangunan. Keadilan ekologis berarti adil terhadap sesama manusia (sosial) sekaligus adil terhadap ciptaan lainnya. Keadilan ekologis bertumpu pada prisip bahwa seluruh ciptaan saling terhubung dan tergantung satu sama lain.

“Bagi kita umat kristiani kepedulian akan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan adalah bagian dari pewartaan,” kata Uskup Agustinus di Pontianak, kemarin.

Menurut dia, rusaknya lingkungan hidup mengakibat krisis iklim, di mana cuaca, musim hujan atau musim kemarau tidak bisa diperkirakan kapan akan terjadi. Di Kalimantan Barat ini, tiga tahun terakhir ini musim buah sudah tidak menentu. Secara nyata ini tentu berdampak pada berkurangnya penghasilan bagi petani-petani di kampung-kampung, di pedesaan atau di pesisir pantai.

“Kita sedih melihat kenyataan bahwa hutan yang menjadi sumber hidup baik bagi manusia maupun hewan-hewan menjadi rusak akibat diolah dengan tidak memperhatikan aturan yang berlaku dan berkeadilan serta tidak dihargai hak-hak petani-petani asli khususnya yang tinggal dikawasan hutan,” katanya.

Bahkan, dia melanjutkan, miris ketika masyarakat miskin yang tinggal di kawasan hutan dituding sebagai perusak lingkungan atau pembakar hutan, yang ditindak secara tidak adil tanpa ada solusi atau jalan keluar yang nyata dan berkeadilan serta berkesinambungan. Padahal apa yang mereka lakukan hanya demi sesuap nasi.

“Hati kita miris melihat kenyataan bahwa mereka diasingkan dari tanahnya sendiri yang sudah mereka huni sejak ratusan tahun lalu. Seolah-olah tidak diperhitungkan,” ungkap Uskup Agustinus.

Ketika para misionaris katolik pertama berkarya di Kalimantan, pada permulaan abad ke- 19, selain membuka sekolah dan rumah sakit, mereka juga membawa bibit karet unggul di daerah Sejiram, Kabupaten Kapuas Hulu. Mendirikan pelatihan pertanian bagi petani tradisional. Artinya sangat jelas bahwa para missionaries tersebut sudah melihat sangat jauh kedepan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, tidak bisa bertahan dengan cara bertani yang tradisional dan memberikan jalan keluar yang nyata agar mereka terbebaskan dari belenggu kemiskinan.

“Perhatian dan kepedulian gereja nyata terhadap masalah-masah sosial-ekonomi sangat dirasakan, bukan hanya oleh orang Katolik tetapi masyarakat lain tanpa membeda-bedakan,” kata Uskup Agustinus.

Uskup mengundang semua orang untuk lebih peduli dan aktif dalam melindungi alam ciptaan dan saudara-saudara yang paling hina, yang rentan dan tersingkir akibat krisis iklim ini. “Kita juga dipanggil untuk berani menyuarakan jeritan-jeritan dan membela orang-orang kecil yang menderita akibat kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pengelolaan dan pemeliharaan alam ciptaan yang masih jauh dari berkeadilan,” katanya. (*)

Artikel Lain: Film Bernafaskan Katolik Ini Tidak Dianjurkan untuk Ditonton

Selengkapnya