Leo Geers; Bruder yang Menguasai 10 Bahasa, jadi Penerjemah bagi Tentara Jepang di Kamp Internir Kuching

March 24, 2023
Last Updated

Bruder Leo Geers (kedua dari kiri, berdiri) bersama Br. Damianus, Br. Rufinus, Br. Serafinus, Br. Canisius, Br, Edmundus, dan Br. Maternus yang duduk bersama Pemimpin Umum Bruder MTB, Br. Silvester pada waktu visitasi di Pontianak, tahun 1930. [Foto: Arsip Bruder MTB]

Leo Geers lahir pada 18 April 1894 di Roosendaal, Provinsi Nord Brabant, Belanda. Setelah memperoleh ijazah guru SD dan guru olahraga, Leo masuk Konggregasi MTB di Huijbergen. Ia menerima kaul kekal sebagai Bruder MTB pada 23 Agustus 1919. Bruder Leo kemudian bekerja sebagai guru di Huijbergen dan Bergen op Zoom.

Bruder Stanislaus memiliki catatan sendiri atas Bruder Leo. “Ia berpandangan obyektif. Kadang punya pemikiran yang berbeda dengan orang lain. Sulit baginya untuk menanggung ketertiban novisiat,” kata Bruder Stanislaus.

Stanislaus menambahkan, bimbingan tegas waktu studi, belajar sungguh-sungguh untuk memperoleh ijazah sangat tidak cocok bagi Bruder Leo. Tetapi, lanjut Bruder Stanislaus, “Leo senang membaca buku. Ini cara ini mengumpulkan banyak pengetahuan, termasuk bahasa asing.”

Bruder Amandus kenal baik Leo. Magister itu tahu bagaimana memperlakukan Leo. Ketika tinggal di komunitas Bergen op Zoom, Leo diuji. Setiap Sabtu, sepulang sekolah harus berjalan kaki dari Bergen op Zoom ke Huijbergen lewat jalan pasir kering. Perjalanan harus ditempuh dalam waktu dua jam. Sedangkan Minggu pagi di Huijbergen, Leo harus mengikuti renungan, doa berkala, dan dua kali misa suci. Kemudian, Leo juga harus mengatur tempat tidur anak asrama di St. Marie.  

Pada 1920, sesudah Mgr Pasifikus Bos, Vikaris Apostolik dari Borneo Belanda berkunjung ke Huijbergen, Bruder Leo berharap diutus ke Borneo. Namun, namanya tidak tercantum saat diumumkan. Bruder Leo kecewa. Tetapi, seorang bruder yang ditunjuk, Bruder Winfridus, saudara Bruder Rufinus dan Borromeus sakit maag yang perlu segera dioperasi. Bruder Leo kemudian ditunjuk untuk menggantikan Bruder Winfridus berangkat ke Borneo.

Pada 10 Maret 1921, Bruder Leo bersama empat bruder lainnya tiba di Singkawang. Mereka muulai membuka sekolah dengan asrama. Selama dua tahun menumpang rumah orang Melayu. Bruder Leo belajar bahasa Melayu dan Tionghoa. Sebelas tahun pertama di Borneo, Bruder Leo sering pindah dari Singkawang atau Pontianak. Ia kurang cocok dengan pemimpin komunitas.

Ketika cuti ke Belanda, Leo diberitahu tak akan kembali lagi ke Borneo. Dia kecewa. Janggutnya yang panjang harus dicukur. Bruder Leo diberi tugas mengajar di Huijbergen. Namun, empat tahun kemudian, Bruder Leo diizinkan kembali ke Borneo mengganti bruder yang pensiun.

Ketika tiba di Singkawang untuk kedua kalinya, Bruder Leo ditugaskan mengajar di Hindie Chinesse School (HCS). Ketika Mgr. Tarcisius van Valenberg diangkat sebagai Uskup Pontianak, para bruder diwajibkan belajar bahasa Tionghoa, baik di Pontianak maupun Singkawang. Bruder Leo menyusun buku pelajaran bahasa Tionghoa Hakka dalam dua jilid. Ketika Jepang berkuasa, Bruder Leo belajar bahasa Jepang. Fotografer dan dokter gigi Jepang membantunya dalam belajar bahasa.  

Bruder Leo kemudian menguasai 10 bahasa, yakni Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Melayu (Indonesia), Tionghoa, Jepang, Spanyol, Portugis, dan Rusia. Ia bahkan mengajarkan bahasa tiga bahasa, yakni Tionghoa, Jepang, dan Rusia kepada orang lain. Ketika menjadi tawanan Jepang di Kamp Bukit Lintang, Kuching, Bruder Leo menjadi juru bahasa untuk orang Jepang. Beberapa kali Bruder Leo dipanggil komandan Jepang untuk menerjemahkan suatu perintah dan lain sebagainya.

Pada 1941, ketika Pontianak dan sebagian besar wilayah Borneo Barat dibom oleh Jepang, Bruder Leo yang sedang berada di Singkawang bersembunyi di gubuk yang berada di luar kota. Pada 14 Juli 1942, semua orang Belanda dari Onder-Afdeling Singkawang/Sambas diangkut ke kamp interner, Kuching. Mereka hanya boleh membawa barang seperlunya.

Bruder Leo yang fasih berbahasa Jepang menjadi juru bahasa di kamp. Ia bebas tugas dari pekerja berat di luar kamp. Leo menjadi satu-satunya tawanan yang boleh keluar kawat berduri tanpa dikawal oleh prajurit bersenjata. Bruder Leo kerap menghadap pemimpin kamp untuk membela tawanan yang telah dihukum. Setiap hari Leo dipanggil komandan Oepange, wanita yang jadi juru tulis di kantor komandan.

“Liiiiioooooo,” teriak Oepange. Teriakan itu diteruskan dari kamp ke kamp hingga sampai ke kamp Bruder Leo ditahan.

“Leo, engkau dipanggil lagi.” Leo bergegas untuk menerima perintah atau larangan, bahkan untuk menerjemahkan. Leo juga kadang bernegosiasi degan prajurit Jepang agar bersedia untuk menyelundukan sesuatu ke dalam kamp.

Pada 3 Desember 1945, Bruder Leo diangkut menggunakan kapal perang penyapu ranjau Belanda Willem van der Zwaan kembali ke Pontianak. Pada tengah malam, 5 dan 6 Desember 1945, Bruder Leo memanjat ke atas ‘Boom’ di Pontianak. Bersama beberapa bruder lainnya, ia membangun kembali segalanya yang dtinggalkan pada 14 Juli 1942. Pada 1946, Bruder Leo kembali mengajar lagi di de Herstel School, Singkawang.

Saat mengajar, Leo sangat pandai menarik perhatian para murid. Di luar jam sekolah, Bruder Leo mengajar keterampilan, seperti melukis, membuat patung dari kayu dan tanah liat. Pada 1950, pemerintah memutuskan pengajaran bahasa Belanda harus diganti dengan Bahasa Indonesia. Bruder Leo tidak mau menjadi warga negara Indonesia. Ia memilih pulang ke Belanda. Ia merasa tidak tenang lagi berada di Kalimantan Barat. Pada 28 Mei 1951, Leo tiba di Belanda. Ia kemudian menjadi guru SD di Breda.

Pada 1959, Bruder Leo dipensiunkan. Kini, ia punya banyak waktu untuk menyalurkan hobi dan bergaul dengan pekerja-pekerja asing. Namun, kesehatan Bruder Leo terus menurun. Bruder Kepala Komunitas kemudian memindahkan Bruder Leo ke Wisma St. Elizabeth di Princenhageg. Bruder Leo dirawat oleh suster-suster.

Pada 25 April 1968, Bruder Leo meninggal dunia di Wisma St. Elizabeth di Princenhageg. Selama 74 tahun usianya, Bruder Leo berkarya di Kalimantan Barat selama 27 tahun. Sungguh, misionaris yang luar biasa.[]

Sumber: Mengenang para Pendahulu MTB di Indonesia

Artikel Lain: Canisius, Bruder MTB yang Namanya Diabadikan Menjadi Sekolah di Siantan

Selengkapnya