Salah Menaruh Perasaan

March 04, 2023
Last Updated


Semua berawal dari perkenalan singkat antara aku dan dia. Aku tak pernah menyangka bahwa pertemuan ini mampu menimbulkan rasa yang begitu dalam. Pertama kali aku melihatnya, tak terpikirkan olehku akan menyimpan rasa terhadapnya. Namun, semua tak kesampaian sebab aku menaruh rasa terhadap orang yang salah.

Bulan September, sekolahku mengadakan kegiatan school meeting. Kegiatan ini diikuti oleh beberapa SMA dan diadakan di sekolahku. Sehari sebelum kegiatan berlangsung, dipandu oleh wali kelas, aku dan teman sekolah sibuk mempersiapkan segala yang diperlukan dalam kegiatan. Aku dipilih dan dipercaya sebagai kapten sekaligus pemandu bagi timku dalam pertandingan bola voli. Tanggung jawab yang besar kini menjadi bagianku sehingga harus benar-benar mempersiapkan diri dengan baik.

Malam berlalu. Awan begitu cerahmenandakan bahwa cuaca sangat baik. Hari kegiatan pun berlangsung. Sebagai pemandu, aku diminta oleh guru untuk datang lebih awal. Aku dan beberapa teman lainnya diminta menyambut kedatangan teman-teman dari SMA lain. Empat SMA tetangga datang bersamaan. Kami sedikit kewaalahan, sebab jumlah mereka begitu banyak. Namun, kami tidak mengeluh. Kedatangan mereka kami sambut dengan hangat. Kami memberikan sapaan serta senyuman yang manis. Kini tinggal satu SMA lagi. Sembari menunggu kedatangan mereka, aku dan tim voliku segera mengganti pakaian. Kami memakai seragam yang sama, di belakangnya tertulis “SMA Harapan Bisa”. Pink adalah warna seragam kami. Aku sangat menyukainya.

Satu jam berlalu, SMA terakhir pun tiba. SMA Pelita Hidup, itulah namanya. Kami menyambut mereka dengan gembira. Mereka sangat ramah kepada kami. Dari kejauhan, aku melihat satu siswa SMA Pelita Hidup. Dia tinggi, manis, ditambah lagi dia pemain voli.

Aku berkata dalam hati, “Wow, idaman banget.”

Tanpa rasa malu, aku menegurnya.

“Hai, selamat datang di SMA kami, silakan,” kataku kepadanya.

“Hai juga, terima kasih,” jawabnya.

SMA terakhir yang ditunggu sudah tiba. Pertandingan segera dimulai. Persiapan demi persiapan dari berbagai SMA ditunjukkan. Antusias dan semangat dalam mengikuti kegiatan begitu membara, mengadakan lima pertandingan selama satu hari.

“SMA Harapan melawan SMA Pelita Hidup!” suara wasit dari kejauhan. Aku dan tim voliku segera menuju lapangan berhadapan dengan tim dari SMA Pelita Hidup. Sorak penonton begitu riuh. Pinggir lapangan dipenuhi suporter masing-masing tim. Dari jarak dekat, kembali kulihat wajahnya yang datang memberi dukungan kepada timnya. Sekilas dia tersenyum melihatku.

Meledak! Jantungku berdetak kencang. Sejenak berkhayal, lapangan voli itu seolah berubah menjadi taman bunga yang begitu indah. Bahagia tak terkira menghampiriku.

Pertandingan dimulai. Aku dan tim harus fokus. Semangatku memuncak. Aku tahu dia berada di lapangan, tepatnya di bagian lawanku. Pukulan demi pukulan. Prakkkkk! aku memberikan smash yang keras. Bola memasuki lapangan lawan. Tepuk tangan dan sorak yang begitu keras diberikan kepada timku. Pertandingan berlangsung lama. Timku memenangkan pertandingan itu. Sorakan yang begitu keras.

“SMA Harapan, the best!” kata siswa dari SMA-ku. Pertandingan berakhir, aku dan tim meninggalkan lapangan.

Sekarang, giliran tim putra yang bertanding. SMA Pelita Hidup kembali berhadapan dengan SMA Harapan. Aku dan tim segera menuju lapangan untuk memberi dukungan pada mereka. Setibanya di lapangan, aku kembali melihat dia yang belum tahu siapa namanya. Dia bersama timnya memasuki lapangan. Diam-diam aku menatap wajahnya. Tanpa disadari dia juga melihat aku. Segera kupalingkan pandangan seolah tak melihatnya.

“Ih malu sekali,” kataku dalam hati.

Dia melirik ke arahku. Menyungging senyuman  manis. Jantungku kembali berdetak, kali ini benar-benar kencang. Sekencang puting beliung. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Prittttttt! Peluit panjang ditiup, menandakan pertandingan segera dimulai. Pukulan demi pukulan, smash demi smash ditunjukkan kedua tim. Aku berdiri di antara kedua tim. Aku bingung harus mendukung siapa. Aku hanya diam seperti batu tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Tidak seperti biasa jika melihat pertandingan, suaraku yang paling kuat. Namun, sekarang aku hanya diam.

“Tumben kamu diam, biasanya kamu yang paling heboh, kamu sakit ya?” tanya Melly.

“Tidak. Aku baik-baik saja kok, aku lagi malas aja,” jawabku sedikit tegang.

“Tidak mungkin, pasti ada sesuatu,” kata Melly.

“Ihhhhhh kamu. Benar lo, aku lagi malas aja,” jawabku lagi.

“Okelah,” jawab Melly.

Pertandingan berakhir. SMA Pelita Hidup, merekalah yang menjadi pemenang. Sorak kembali riuh

“Pelita Hidup, hebat!” para suporter memasuki lapangan sambil bergoyang riang. Karena tidak terlalu menyukai keriuhan, aku mengajak temanku meninggalkan lapangan.

Matahari perlahan tenggelam. Menandakan bahwa malam akan tiba. Pertandingan selesai. Semua SMA berkumpul di halaman menerima piala kemenangan. Aku berada di atas pentas, membantu panitia membagikan hadiah. Panggilan kepada SMA Pelita Hidup untuk maju ke depan. Mereka meraih piala sebagai juara umum. Sekali lagi  panitia memanggil perwakilan dari mereka. Ternyata dia yang maju. Dengan semangat dan senyuman lebar di wajah, dia melangkah menuju pentas. Kulihat wajahnya, jantungku kembali bergetar bahkan lebih kencang dari tadi.

“Tuhan, betapa gantengnya dia,” kataku dalam hati. Tanganku mulai dingin, seluruh tubuh dibanjiri keringat. Aku bertanya dalam hati: “Tuhan ada apa denganku? Benar-benar aku menyukainya.”

Dia mulai mendekat. Panitia memintaku untuk menyerahkan piala itu kepadanya. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri agar tidak keihatan grogi. Aku melangkah sampai tepat di depannya.

“Hai, selamat ya kalian hebat,” ucapku menyerahkan piala.

“Terima kasih,” katanya sambil tersenyum menerima piala.

“Nanti selesai kegiatan, ngobrol yuk sebentar.”

“Oke, aku tunggu di depan ya,” jawabku dengan semangat.

Setelah menerima piala, dia kembali turun ke bawah. Kegiatan pun selesai. Semua SMA peserta pertandingan bubar meninggalkan lapangan. Satu persatu beranjak meninggalkan sekolah kami.

Seperti biasa, aku diminta untuk mengantar tamu-tamu menuju gerbang. “Hai, terima kasih ya. Sampai bertemu di kegiatan school metting berikutnya,” kataku kepada setiap siswa SMA yang hendak keluar gerbang.  Kulihat tim SMA Pelita Hidup. Mereka pun segera menuju gerbang. Tiba-tiba dia menghampiriku.

“Hai, terima kasih ya sudah menyambut dan menerima kami dengan baik” katanya kepadaku.

“Ya, sama-sama. Sampai bertemu kembali di kegiatan school metting berikutnya,” kataku.

“Oke. Eh, kita belum kenalan lo,” ujarnya.

“Oh iya. Namaku Dorea, biasa dipanggil aku. Namamu siapa?” tanyaku.

“Namamu bagus. Nama panggilanmu juga lucu,” katanya sambil tersenyum.

Aku sedikit malu. “Ihhhh, kenapa aku harus kasih tahu nama panggilanku, kan jadi malu deh,” kataku dalam hati.

“Boleh minta nomor ponselmu?” tanyanya.

“Boleh, boleh,” kataku dengan senang. Aku menyebutkan nomor ponselku,” dia mencatat dengan teliti, menyimpan nomorku.

“Hai,” pesan pertama darinya.

“Oke,” aku membalasnya.

Perbincangan berlangsung lama. satu temannya berteriak “Doni, ayo cepat!

“Aku pamit ya,” katanya.

“Oke, silakan. Hati-hati,” ucapku. Dia hanya tersenyum dan menganggukan kepala kemudian pergi.

Malam semakin larut. Aku dan teman-temanku segera kembali ke asrama. Kebetulan asrama kami tidak terlalu jauh dari sekolah. Setiap hari kami hanya berjalan kaki. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku dan teman-temanku tiba di asrama. Aku langsung mandi. Setelah semuanya selesai, aku dan beberapa teman di asrama mengadakan doa bersama. Rutinitas ini kami lakukan setiap malam. Sekarang giliran aku yang memimpin. Lima belas menit berlalu, doa bersama pun selesai. Aku dan teman-teman menuju tempat tidur masing-masing.

Aku berbaring di ranjangku. Dengan mata terpejam, aku mengingat kembali kegiatan tadi siang. Sepertinya aku belum bisa move on. Mataku tidak bisa terlelap. Pikiranku melayang entah ke mana. Aku mengingat seorang siswa yang bernama Doni. Aku berkata dalam hati “Andai waktu bisa diulang, ingin rasanya kugenggam tangannya.” Aku tersenyum dan tertawa sendiri.

“Hai Aku, kamu kenapa?” tanya Melly kepadaku tidur di ranjang sebelah dalam satu kamar

“Ehhh, tidak apa-apa kok,” jawabku.

“Baiklah” kata Melly.

Kring, kring, kring! Ponselku berbunyi. Aku segera melihatnya. Ternyata pesan dari Doni.

“Hai,” sapanya.

“Hai juga,” balasku.

“Lagi ngapain?”

“Nggak lagi ngapa-ngapain.”

“Oh. Belum tidur?”

“Belum. Susah tidur soalnya.”

“Kenapa?”

“Masih memikirkan kegiatan tadi siang. Hehe.”

“Ngapa dipikirin? Kan sudah selesai.”

“Pengen aja.”

Pembicaraan pun berlangsung lama. Aku sangat senang. Pesan terakhir darinya, “Udah tidur sana, jangan begadang nanti sakit. Jangan lupa berdoa.”

Aku tertawa sendiri, inginku teriak tetpi sadar Melly berada di sampingku. Kalau aku teriak dia pasti kaget. Sepanjang malam, aku membayangkan wajahnya.

Satu bulan berlalu aku menjalin komunikasi dengannya. Banyak hal yang kami bicarakan. Sampai aku benar-benar menaruh harapan kepadanya. Perasaan ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Perhatian dan rasa nyaman yang diberikan,kepadanyku jatuh dalam zona nyaman dengan perlakuannya.  Suatu hari, tepatnya di depan asrama. Dia mengirim pesan kepadaku.

“Hai.”

“Hai juga,” balasku.

“Apa kabar?”

“Baik, bagaimana denganmu?”

“Syukurlah. Aku baik.”

“Oke.”

“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak. Dalam hatiku berkata, “Apa yang ingin dia tanyakan? Apakah mungkin dia akan menyatakan perasaannya kepadaku? Seandainya iya, betapa bahagianya aku.”

Pikiranku saat itu seolah dia juga menaruh rasa yang sama terhadapku. Dia kembali mengirim pesan.

“Hai, kok diam?”

“Maaf tadi jaringanku sedkit bermasalah,” jawabku berdalih.

“Bagaimana, boleh aku bertanya?” tulisnya lagi.

“Ohhh, silakan,” balasku terkirim lantas cepat dibalasnya.

“Kalau boleh tahu, teman yang bersamamu kemarin siapa ya?”

“Maksudmu Melly?”

“Mungkin, aku tidak tahu Namanya.”

“Dia Melly, teman karibku.”

“Ohhh. Dia cantik ya,” tulisnya dengan emot senyum.

“Ya, dia memang cantik, baik lagi.”

“Wow. Boleh aku minta nomor ponselnya?”

“Buat apa?”

“Aku hanya ingin berkenalan dengannya.”

“Sebentar ya, aku izin dulu,” Aku menghubungi Melly meminta izin, Melly mengiyakan. Perbincangan kembali dimulai.

“Ini nomornya,” tulisku.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Aku boleh bertanya lagi nggak?”

“Silakan.”

“Kamu kan teman karibnya Melly, boleh cerita sedikit nggak tentang kepribadiannya?”

“What? Buat apa?” tanyaku heran.

“Aku hanya ingin tahu saja.” jawabnya.

“Jawab dulu, kenapa pengen tahu?”

“Tapi janji ya, jangan kasih tahu dia dulu.”

“Oke.”

“Aku menyukainya.”

Membaca jawaban itu tubuhku lemas. Sejenak aku terdiam. Air mataku menetes. Hatiku sakitsakit.  Sakit sekali! Harapanku selama ini kandas. Berbulan-bulan aku menyimpan perasaan ini untuknya. Aku berusaha tidak membuka hati untuk  laki-laki lain, hanya untuk menunggu kepastian darinya. Tetapi sayang, ternyata dia menyukai sahabatku sendiri. Sakit teramat sakit! Tak ada tempat lagi untukku berharap. Semuanya hilang bagai ditelan bumi.

Aku berusaha kuat. Aku tidak ingin menunjukkan bahwa aku memiliki perasaan yang lebih terhadapnya.

“Ohhhh, bagus dong. Kamu beruntung. Kebetulan dia juga sedang jomblo,” tulisku dengan hati yang hancur.

“Wow, aku beruntung dong. Bisa bantu aku nggak?”

“Bantu apa lagi?” tanyaku.

“Bantu aku mendekati dia.”

Ihh! Ingin rasanya kupecahkan kaca yang ada di depanku. Namun, aku berusaha untuk sabar.

“Maaf, aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Kamu kan laki-laki, berusaha sendiri dong,” Aku kesal. “Selamat berjuang ya, semoga kalian bahagia.”

Ternyata kedekatan kami selama ini dimanfaatkannya untuk mencari informasi tentang sahabatku Melly. Kini aku benar-benar dilema. Sempat muncul rasa benci terhadap Melly. Namun, aku sadar ini bukan kesalahan Melly yang tidak tahu kalau aku menaruh rasa terhadap Doni. Ini memang kesalahanku, terlalu berharap pada orang yang tidak pernah mengharapkanku. Lantas aku memilih untuk tidak berkomunikasi lagi dengan Doni, memblokir WA-nya. Mundur adalah pilihan terbaik. Sejak peristiwa itu aku takut untuk jatuh cinta, masih belum bisa membuka hati untuk pria manapun sampai kelak benar-benar menemukan seseorang yang tepat.[]

Penulis: Mareti

Artikel Lain:  Perempuan yang Menunggu Hari Interview

Selengkapnya