Gelar santo (atau Santa bagi perempuan) adalah pengakuan resmi dari Gereja Katolik atas kehidupan dan karya seorang Kristen yang dianggap kudus dan dijadikan teladan dalam iman dan kehidupan Kristiani. Proses pengangkatan santo ini disebut kanonisasi.
Proses kanonisasi dimulai dengan
pengumpulan bukti-bukti kehidupan santo yang diusulkan. Jika bukti-bukti
tersebut memenuhi persyaratan, Gereja Katolik dapat mengumumkan bahwa santo
tersebut diangkat sebagai "dihormati" atau "venerabilis",
tahap awal dalam proses kanonisasi.
Selanjutnya, Gereja akan mengevaluasi
mukjizat-mukjizat yang dianggap terjadi atas perantaraan santo tersebut. Jika
mukjizat yang terjadi dianggap sah dan tidak dapat dijelaskan secara ilmiah,
maka santo tersebut dapat diangkat sebagai beato atau "diberkati".
Pada tahap ini, santo tersebut diizinkan untuk disembah di tempat-tempat ibadah
tertentu, tetapi tidak secara universal.
Tahap terakhir dalam proses kanonisasi
adalah pengangkatan sebagai santo. Untuk mencapai tahap ini, Gereja Katolik
harus menemukan minimal satu mukjizat tambahan yang terjadi atas perantaraan
santo tersebut setelah diangkat sebagai beato. Jika mukjizat tersebut dianggap
sah dan tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, maka Gereja Katolik akan
mengangkat santo tersebut ke dalam daftar orang-orang kudus.
Gelar santo bukanlah pengakuan bahwa santo
tersebut sempurna atau bebas dari dosa, tetapi sebagai teladan bagi umat
Kristiani dalam iman dan kehidupan. Setiap santo juga memiliki hari perayaan
tersendiri dalam kalender Gereja Katolik dan dapat diperingati oleh umat dalam
peribadahan.
Beberapa santo dianggap kontroversial
karena beberapa faktor. Beberapa santo hidup pada masa ketika pandangan dan
tindakan sosial, politik, dan keagamaan yang berbeda dengan pandangan dan nilai
yang dianut saat ini. Beberapa tindakan atau kebijakan yang dianggap biasa pada
masa itu dapat dianggap kontroversial dan bahkan tidak dapat diterima oleh
standar saat ini. Misalnya, Santo Junipero Serra yang dianggap sebagai
kontroversial karena terlibat dalam penjajahan dan penindasan terhadap penduduk
asli Amerika.
Beberapa santo melakukan keputusan yang
kontroversial selama hidup mereka. Misalnya, Santo Yohanes Paulus II yang
dianggap kontroversial karena beberapa keputusan yang diambilnya selama masa
kepausannya, termasuk penanganan skandal pelecehan seksual dalam Gereja
Katolik, serta kebijakan gereja terkait kontrasepsi dan hak LGBT.
Ada juga santo memiliki ajaran atau
kepercayaan yang kontroversial atau dianggap tidak sesuai dengan pandangan dan
nilai yang dianut saat ini. Misalnya, Santo Josemaría Escrivá yang dianggap
kontroversial karena ajarannya yang kontroversial terkait dengan disiplin
spiritual dan kritik atas hubungannya dengan rezim Francisco Franco selama masa
pemerintahannya di Spanyol.
Namun, penting untuk diingat bahwa santo
dianggap kudus dan dijadikan teladan oleh Gereja Katolik karena kehidupan dan
karya mereka dalam mengikuti ajaran Kristus dan melayani sesama. Kontroversi
yang terkait dengan sejumlah santo bukan berarti mereka tidak dapat dihormati,
tetapi mengajarkan kita untuk selalu berpikir kritis dan terus mempertanyakan
tindakan dan keputusan yang diambil oleh para pemimpin agama.
Sejumlah orang yang diangkat sebagai santo
oleh Gereja Katolik telah menjadi subjek kontroversi karena sejumlah faktor.
Santo Yohanes Paulus II
Ada
kritik yang menilai bahwa Santo Yohanes Paulus II tidak cukup responsif dalam
menangani skandal pelecehan seksual yang melibatkan imam Katolik. Beberapa
orang merasa bahwa ia terlalu lambat dalam mengambil tindakan tegas terhadap
para pelaku dan mengatasi masalah ini di dalam gereja.
Beberapa
orang mengkritik Santo Yohanes Paulus II karena pandangannya yang konservatif
terhadap LGBT. Ia menolak pernikahan sesama jenis dan homoseksualitas dalam
ajaran gereja, dan beberapa pengamat berpendapat bahwa pandangannya ini tidak
sesuai dengan nilai-nilai inklusif dan toleransi.
Ada
beberapa kontroversi terkait dengan hubungan Santo Yohanes Paulus II dengan
Vatikan Bank. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa ia kurang proaktif dalam
mengatasi kasus keuangan yang melibatkan bank, dan beberapa spekulasi
menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan yang erat dengan beberapa anggota bank
tersebut.
Meskipun
Santo Yohanes Paulus II dikenal sebagai tokoh reformis dalam gereja, namun
beberapa pandangannya tentang kebijakan sosial terkesan konservatif. Misalnya,
ia menolak penggunaan kondom sebagai cara untuk mencegah penyebaran AIDS, dan
juga menolak praktik aborsi dan eutanasia.
Selama
masa jabatannya, Santo Yohanes Paulus II dikritik karena penanganannya terhadap
kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan imam. Beberapa pengamat menilai
bahwa ia gagal untuk mengambil tindakan yang tepat untuk menangani masalah ini
dan menegakkan keadilan bagi para korban.
Santo Josemaría Escrivá
Santo Josemaría Escrivá dikritik karena
dekat dengan diktator Spanyol, Francisco Franco. Beberapa pengamat menganggap
bahwa ia terlalu bersimpati dengan Franco dan tidak cukup vokal dalam menentang
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim tersebut.
Santo Josemaría Escrivá dikenal sebagai
tokoh yang konservatif dalam pandangan agama dan sosialnya. Misalnya, ia
menentang penggunaan kontrasepsi, perceraian, dan hak-hak LGBT.
Santo Josemaría Escrivá adalah pendiri dari
Opus Dei, sebuah organisasi keagamaan Katolik yang kontroversial. Beberapa
pengamat menyebutkan bahwa Opus Dei memiliki pengaruh politik yang signifikan
dan dianggap sebagai sebuah sekte oleh sebagian orang. Beberapa mantan anggota
Opus Dei telah mengkritik organisasi tersebut karena praktik-praktiknya yang
dituduh sebagai fanatik dan eksklusif. Misalnya, beberapa orang mengeluhkan
bahwa mereka harus hidup di rumah-rumah yang diatur oleh organisasi dan tidak
memiliki banyak kebebasan dalam keputusan pribadi mereka.
Opus Dei juga terlibat dalam beberapa
masalah keuangan yang kontroversial. Misalnya, ada laporan yang menyebutkan
bahwa organisasi tersebut menerima dana dari pemerintah Spanyol pada masa
Franco, dan beberapa pengamat mengkritiknya karena tidak transparan dalam
pengelolaan keuangan.
Santo Pius X
Santo
Pius X dikenal sebagai tokoh yang sangat anti-modernisme. Ia mengeluarkan
ensiklik yang menentang modernisme dan dianggap menghambat kemajuan dalam
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Beberapa kritikus menganggap pandangannya ini
terlalu sempit dan tidak responsif terhadap perubahan zaman.
Santo
Pius X dianggap memiliki sikap yang kurang inklusif terhadap Yahudi. Ia
mengeluarkan ensiklik yang menentang pengaruh Yahudi di dalam masyarakat dan
ekonomi, dan dianggap sebagai dukungan terhadap anti-Semitisme.
Santo
Pius X memimpin reformasi liturgi dalam Gereja Katolik, termasuk penghapusan
musik gereja yang populer pada saat itu, seperti musik opera dan operetta.
Langkah ini dianggap kontroversial oleh beberapa orang, karena musik gereja
tersebut dianggap mampu menarik lebih banyak orang ke dalam gereja.
Santo
Pius X menganggap bahwa kebebasan agama adalah ancaman bagi kekuasaan Gereja
Katolik. Ia memimpin kampanye untuk menghapus prinsip kebebasan agama dari
konstitusi Italia, dan dianggap oleh beberapa orang sebagai dukungan terhadap
teokrasi.
Santo
Pius X dikenal sebagai seorang tokoh yang konservatif dalam pandangan agama. Ia
menentang banyak hal yang dianggap sebagai modernisasi dalam Gereja Katolik,
termasuk teologi liberal, pembaruan dalam praktik liturgi, dan dialog
antaragama.
Santo Junípero Serra
Santo Junípero Serra adalah salah satu
tokoh yang memimpin upaya kolonisasi Spanyol di Amerika Selatan pada abad
ke-18. Beberapa pengkritik menyebutkan bahwa upaya kolonisasi ini menyebabkan
kehancuran bagi budaya dan tradisi penduduk asli di Amerika Selatan.
Santo Junípero Serra dan misionaris Spanyol
lainnya memaksa penduduk asli untuk memeluk agama Katolik. Beberapa pengamat
menganggap bahwa ini adalah bentuk imperialisme budaya dan agama.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa Santo
Junípero Serra dan misionaris Spanyol lainnya menindas dan memperlakukan buruk
penduduk asli Amerika Selatan. Mereka dipaksa untuk bekerja di misi dan
dianggap sebagai budak.
Santo Junípero Serra diduga mendukung
sistem encomienda, di mana para penjajah Spanyol memberikan hak kepemilikan
atas penduduk asli Amerika Selatan. Sistem ini sering kali mengakibatkan
eksploitasi dan pemerasan.
Beberapa pengamat menganggap bahwa Santo Junípero Serra dan misionaris Spanyol lainnya tidak menghargai budaya asli Amerika Selatan. Mereka menghancurkan struktur sosial dan agama yang sudah ada sebelum kedatangan Spanyol, dan memaksa penduduk asli untuk mengadopsi cara hidup dan agama Katolik.[]