Aku ke Livin Cafe menyusul Paramita yang datang lebih dulu. Dalam coffee shop itu ia memilih duduk di kursi sofa putih dekat meja barista. Di meja yang lain Risa duduk bersama Umar.
Kuhampiri Paramita yang sedang membuka daftar menu. Di
sebelahnya perempuan muda sebagai waiter sengaja berdiri menunggu dan bersiap
mencatat menu yang hendak kami pesan. Aku duduk tepat di
depan Paramita.
“Bang Yudi mau makan apa? Menunya banyak nih,” tanya
Paramita. Jari telunjuknya bergerak di
atas tulisan daftar menu. “Dimsum-nya ada mantau, bakpao pandan, siomay ayam
udang, siomay nori, lumpia kulit
tahu, ceker ayam dan pangsit udang.”
“Aku pesan siomay ayam udang aja, Mita,” kataku.
“Siomay ayam udang satu,” timpal waiter sambil mencatat. “Apa
lagi?”
“Minuman kopi yang ada di sini prosesnya gimana?” Paramita bertanya pada waiter yang menjawab
ramah.
“Espresso, Ibu. Espresso merupakan kopi yang dihasilkan dari
proses penyeduhan kopi dengan tekanan dan suhu tinggi. Ibu bisa menyaksikan
barista rekan saya menggiling kopi hingga halus lalu dipadatkan, kemudian kopi
diseduh dengan tekanan tinggi, suhu yang tinggi sehingga menghasilkan ekstrak
kopi yang kental.”
Mendengar penjelasan waiter, Paramita mengangguk. Di dekat
kami, di balik meja tinggi memang ada seorang lelaki muda mengenakan celemek
sedang sibuk meracik kopi pesanan pengunjung.
“Mau, Bang?” tanyanya menatapku langsung menggeleng.
“Aku pesan yang manual aja. Vietnam Drip,” kataku. Paramita
yang masih memegang daftar menu bicara lagi dengan waiter.
“Aku coba siomay nori dan pangsit udang ya. Minumnya lemon
tea dingin,” kata Paramita.
“Iced lomon tea?” timpal waiter memastikan. Paramita
mengangguk, mengalihkan pandangan ke meja Risa dan Umar, letaknya dua meja dari
kami. “Kamu pesan apa, Ris? Umar juga.”
“Aku nak keluar, Kak. Ada janji ketemu budak di kafe lain,”
kata Risa berdiri. Wajahnya menyiratkan rasa gusar. Ia lantas melangkah
keluar coffee shop tanpa sedikitpun
memandangku.
“Ris. Risa!” panggil Paramita tak digubris. Risa tetap
melangkah keluar meninggalkan kafe.
Suara Paramita memanggil Risa sempat menarik perhatian beberapa pengunjung
lain. Sesaat pandangan mereka sempat
tertuju ke Paramita
“Risa kenapa sih, Bang? Tiba-tiba ndak jelas gitu,” katanya
heran. Aku menggeleng. Masih ada waiter berdiri di dekat kami.
“Pesan apa lagi, Ibu?” tanyanya menatap Paramita.
“Tambah bakpao pandan aja untuk Umar ya, Bang?” Paramita
menatapku.
“Boleh,” kataku mendengar waiter berujar lagi, “Saya baca
menu pesanannya, Ibu. Siomay ayam udang, siomay nori, pangsit udang masing-masing
satu porsi, bakpao pandan, vietnam drip dan ice lemon tea satu. Masih ada
lagi?”
“Air mineral tiga botol,” jawab Paramita.
“Baik, Ibu. Ditunggu pesanannya.”
“Ya, Terima kasih,” ucap Paramita. Waiter berlalu dari depan
kami. Umar asyik sendiri di kursi kayu kaki besi dengan sebuah ponsel.
“Besok aku berangkat ke Jakarta, Mita,” kataku membuka
perbincangan. “Ada klien yang menunggu di sana.”
“Berapa hari, Bang? Urusan pernikahan kita gimana?”
tanya Paramita memakai kaca mata stylish
bentuknya bundar.
“Tak lama, insya Allah hanya tiga hari. Aku serahkan
persiapan pernikahan sama kamu ya. Aku ikut aja,” kataku.
“Kita mau nikah di mana? Maksudku, kita nikah di rumah atau
di balai nikah, Bang?”
“Terserah kamu aja,” kataku.
“Lho, Bang. Gimana sih? Koq terserah aku? Kita kan bisa
bicarakan sama-sama. Jadi kalo nanti ada apa-apa yang ndak nyaman ndak mudah
menyalahkan,” kilah Paramita.
“Sudahlah, Mita. Kamu atur aja semuanya rencana pernikahan
kita. Aku percaya apa yang kamu lakukan untuk persiapan pernikahan kita jadi
pilihan terbaik,” kataku menegaskan bukan lelaki yang mau tahu detil persiapan
pernikahan.
“Kalo Abang maunya gitu, oke, janji ya, semua rencana
pernikahan aku yang atur,” ujar Paramita meminta ketegasan sikapku untuk
menyerahkan semua urusan pernikahan kami kepada dirinya.
“Oke!” kataku. “Silakan kamu atur persiapan pernikahan kita
sebaik-baiknya.”
“Insya Allah kita nikah bulan depan di Tanjung Nipah, di
rumah Mak Ngah Jelita aja ya, Bang. Resepsi sederhana hanya mengundang tetangga
kiri-kanan. Kita kan udah pernah berumah tangga. Biaya administrasi peristiwa
nikah yang menjadi pendapatan negara bukan pajak enam ratus ribu rupiah disetor
langsung ke bank penerima sebelum peristiwa akad nikah,” ujar Paramita menyebut
nama ibunya Risa.
“Iya aku tahu. Nikah di KUA atau di Balai Nikah nol rupiah,”
kataku.
“Kalo nikah di rumah Mak Ngah Jelita, ayahmu gimana? Bisa
datang ke Tanjung Nipah ndak? Kenapa kita ndak nikah di Ketapang aja, bisa
langsung dihadiri ayah,” Aku mengingatkan Paramita tentang kehadiran ayahnya
selaku wali nikah sehingga pernikahan kami nantinya berstatus wali nasab.
“Bapak sakit, Bang. Ndak mungkin bapak bisa datang ke Tanjung
Nipah,” ujarnya berubah muram. Aku tahu ayah Paramita memang menderita stroke
sejak lama.
“Kalo gitu harus ada surat pernyataan taukil wali bil kitabah
untuk melengkapi berkas nikah dari kamu sebagai calon pengantin perempuan
karena orang tua wali yang berhak menikahkan berhalangan hadir pada saat
peristiwa akad nikah,” kataku teringat mekanisme administrasi yang harus diurus
karena seorang wali yang tak dapat menghadiri peristiwa nikah karena alasan
syar’i.
“Apa nama suratnya tadi, Bang?” tanya Paramita lagi.
“Taukil wali bil
kitabah atau sering juga disebut Surat Ikrar Berwakil Wali. Sekali lagi ya
Mita, hal ini biasa dilakukan apabila seorang wali yang berhalangan hadir di
saat pelaksanaan akad nikah, maka boleh diwakilkan kepada wali nasab atau
Kepala KUA/penghulu (wali hakim) yang ditunjuk. Dalam surat taukil wali nanti
ada tanda tangan ayah selaku wali, dua orang saksi dan Kepala KUA setempat,”
kataku menjelaskan. Paramita mengangguk.
“Kira-kira ayah ngurus surat ini bersama siapa ya, Bang? KUA
di sana lumayan jauh dari rumah padahal ayah sedang sakit.”
“Ya udah, kalo gitu kita nikah di Ketapang aja, Mita. Jadi
ayah ndak ribet mesti urus surat taukil wali bil kitabah. Kasihan juga ayah
yang sedang sakit harus keluar rumah hanya untuk mengurus rat itu,” saranku
tiba-tiba teringat sesuatu. “Berkas untuk pendaftaran nikah harus sudah masuk
ke KUA paling lambat sepuluh hari kerja sebelum peristiwa nikah berlangsung.”
“Iya, Abang. Berkas nikah segera diurus tetapi kita ndak bisa
nikah di Ketapang,” Paramita menolak. “Kalo ternyata kita akad nikah di
Ketapang untuk apa aku datang ke sini?”
“Kenapa ndak bisa, Mita?” tanyaku. Ia menggeleng lantas
terdiam. “Aku ke toilet dulu.”
Aku beranjak ke toilet coffee shop letaknya di belakang.
Sewaktu hendak masuk ke toilet pria, aku berpapasan dengan Risa padahal tadi
bilang mau ke kafe lain. Mengetahui kedatanganku cepat ia mengusap wajahnya
yang basah oleh air mata dengan sapu tangan.
“Ris?”
“Abang serius mau menikahi Kak Mita lagi?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk.
“Insya Allah bulan depan,” kataku. Tangis Risa pecah
seketika, bergegas pergi dari hadapanku.
Penulis: E. Widiantoro
Artikel Lain: Tentang Dia dan Paramita (bag 9)