Tentang Dia dan Paramita (bag 10)

March 03, 2023
Last Updated


Aku ke Livin Cafe menyusul Paramita yang datang lebih dulu. Dalam coffee shop itu ia memilih duduk di kursi sofa putih dekat meja barista. Di meja yang lain Risa duduk bersama Umar.

Kuhampiri Paramita yang sedang membuka daftar menu. Di sebelahnya perempuan muda sebagai waiter sengaja berdiri menunggu dan bersiap mencatat  menu  yang hendak kami pesan. Aku duduk tepat di depan Paramita.

“Bang Yudi mau makan apa? Menunya banyak nih,” tanya Paramita.  Jari telunjuknya bergerak di atas tulisan daftar menu. “Dimsum-nya ada mantau, bakpao pandan, siomay ayam udang, siomay nori,  lumpia kulit tahu,  ceker ayam dan pangsit udang.”

“Aku pesan siomay ayam udang aja, Mita,” kataku.

“Siomay ayam udang satu,” timpal waiter sambil mencatat. “Apa lagi?”

“Minuman kopi yang ada di sini prosesnya gimana?”  Paramita bertanya pada waiter yang menjawab ramah.

“Espresso, Ibu. Espresso merupakan kopi yang dihasilkan dari proses penyeduhan kopi dengan tekanan dan suhu tinggi. Ibu bisa menyaksikan barista rekan saya menggiling kopi hingga halus lalu dipadatkan, kemudian kopi diseduh dengan tekanan tinggi, suhu yang tinggi sehingga menghasilkan ekstrak kopi yang kental.”

Mendengar penjelasan waiter, Paramita mengangguk. Di dekat kami, di balik meja tinggi memang ada seorang lelaki muda mengenakan celemek sedang sibuk meracik kopi pesanan pengunjung.

“Mau, Bang?” tanyanya menatapku langsung menggeleng.

“Aku pesan yang manual aja. Vietnam Drip,” kataku. Paramita yang masih memegang daftar menu bicara lagi dengan waiter.

“Aku coba siomay nori dan pangsit udang ya. Minumnya lemon tea dingin,” kata Paramita.

“Iced lomon tea?” timpal waiter memastikan. Paramita mengangguk, mengalihkan pandangan ke meja Risa dan Umar, letaknya dua meja dari kami. “Kamu pesan apa, Ris? Umar juga.”

“Aku nak keluar, Kak. Ada janji ketemu budak di kafe lain,” kata Risa berdiri. Wajahnya menyiratkan rasa gusar. Ia lantas melangkah keluar  coffee shop tanpa sedikitpun memandangku.

“Ris. Risa!” panggil Paramita tak digubris. Risa tetap melangkah  keluar meninggalkan kafe. Suara Paramita memanggil Risa sempat menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Sesaat pandangan mereka  sempat tertuju ke Paramita

“Risa kenapa sih, Bang? Tiba-tiba ndak jelas gitu,” katanya heran. Aku menggeleng. Masih ada waiter berdiri di dekat kami.

“Pesan apa lagi, Ibu?” tanyanya menatap Paramita.

“Tambah bakpao pandan aja untuk Umar ya, Bang?” Paramita menatapku.

“Boleh,” kataku mendengar waiter berujar lagi, “Saya baca menu pesanannya, Ibu. Siomay ayam udang, siomay nori, pangsit udang masing-masing satu porsi, bakpao pandan, vietnam drip dan ice lemon tea satu. Masih ada lagi?”

“Air mineral tiga botol,” jawab Paramita.

“Baik, Ibu. Ditunggu pesanannya.”

“Ya, Terima kasih,” ucap Paramita. Waiter berlalu dari depan kami. Umar asyik sendiri di kursi kayu kaki besi dengan sebuah ponsel.

“Besok aku berangkat ke Jakarta, Mita,” kataku membuka perbincangan. “Ada klien yang menunggu di sana.”

“Berapa hari, Bang? Urusan pernikahan kita gimana?” tanya  Paramita memakai kaca mata stylish bentuknya bundar.

“Tak lama, insya Allah hanya tiga hari. Aku serahkan persiapan pernikahan sama kamu ya. Aku ikut aja,” kataku.

“Kita mau nikah di mana? Maksudku, kita nikah di rumah atau di balai nikah, Bang?”

“Terserah kamu aja,” kataku.

“Lho, Bang. Gimana sih? Koq terserah aku? Kita kan bisa bicarakan sama-sama. Jadi kalo nanti ada apa-apa yang ndak nyaman ndak mudah menyalahkan,” kilah Paramita.

“Sudahlah, Mita. Kamu atur aja semuanya rencana pernikahan kita. Aku percaya apa yang kamu lakukan untuk persiapan pernikahan kita jadi pilihan terbaik,” kataku menegaskan bukan lelaki yang mau tahu detil persiapan pernikahan.

“Kalo Abang maunya gitu, oke, janji ya, semua rencana pernikahan aku yang atur,” ujar Paramita meminta ketegasan sikapku untuk menyerahkan semua urusan pernikahan kami kepada dirinya.

“Oke!” kataku. “Silakan kamu atur persiapan pernikahan kita sebaik-baiknya.”

“Insya Allah kita nikah bulan depan di Tanjung Nipah, di rumah Mak Ngah Jelita aja ya, Bang. Resepsi sederhana hanya mengundang tetangga kiri-kanan. Kita kan udah pernah berumah tangga. Biaya administrasi peristiwa nikah yang menjadi pendapatan negara bukan pajak enam ratus ribu rupiah disetor langsung ke bank penerima sebelum peristiwa akad nikah,” ujar Paramita menyebut nama ibunya Risa.

“Iya aku tahu. Nikah di KUA atau di Balai Nikah nol rupiah,” kataku.

“Kalo nikah di rumah Mak Ngah Jelita, ayahmu gimana? Bisa datang ke Tanjung Nipah ndak? Kenapa kita ndak nikah di Ketapang aja, bisa langsung dihadiri ayah,” Aku mengingatkan Paramita tentang kehadiran ayahnya selaku wali nikah sehingga pernikahan kami nantinya berstatus wali nasab.

“Bapak sakit, Bang. Ndak mungkin bapak bisa datang ke Tanjung Nipah,” ujarnya berubah muram. Aku tahu ayah Paramita memang menderita stroke sejak lama.

“Kalo gitu harus ada surat pernyataan taukil wali bil kitabah untuk melengkapi berkas nikah dari kamu sebagai calon pengantin perempuan karena orang tua wali yang berhak menikahkan berhalangan hadir pada saat peristiwa akad nikah,” kataku teringat mekanisme administrasi yang harus diurus karena seorang wali yang tak dapat menghadiri peristiwa nikah karena alasan syar’i.

“Apa nama suratnya tadi, Bang?” tanya Paramita lagi.

 “Taukil wali bil kitabah atau sering juga disebut Surat Ikrar Berwakil Wali. Sekali lagi ya Mita, hal ini biasa dilakukan apabila seorang wali yang berhalangan hadir di saat pelaksanaan akad nikah, maka boleh diwakilkan kepada wali nasab atau Kepala KUA/penghulu (wali hakim) yang ditunjuk. Dalam surat taukil wali nanti ada tanda tangan ayah selaku wali, dua orang saksi dan Kepala KUA setempat,” kataku menjelaskan. Paramita mengangguk.

“Kira-kira ayah ngurus surat ini bersama siapa ya, Bang? KUA di sana lumayan jauh dari rumah padahal ayah sedang sakit.”

“Ya udah, kalo gitu kita nikah di Ketapang aja, Mita. Jadi ayah ndak ribet mesti urus surat taukil wali bil kitabah. Kasihan juga ayah yang sedang sakit harus keluar rumah hanya untuk mengurus rat itu,” saranku tiba-tiba teringat sesuatu. “Berkas untuk pendaftaran nikah harus sudah masuk ke KUA paling lambat sepuluh hari kerja sebelum peristiwa nikah berlangsung.”

“Iya, Abang. Berkas nikah segera diurus tetapi kita ndak bisa nikah di Ketapang,” Paramita menolak. “Kalo ternyata kita akad nikah di Ketapang untuk apa aku datang ke sini?”

“Kenapa ndak bisa, Mita?” tanyaku. Ia menggeleng lantas terdiam. “Aku ke toilet dulu.”

Aku beranjak ke toilet coffee shop letaknya di belakang. Sewaktu hendak masuk ke toilet pria, aku berpapasan dengan Risa padahal tadi bilang mau ke kafe lain. Mengetahui kedatanganku cepat ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dengan sapu tangan.

“Ris?”

“Abang serius mau menikahi Kak Mita lagi?” tanyanya pelan. Aku mengangguk.

“Insya Allah bulan depan,” kataku. Tangis Risa pecah seketika, bergegas pergi dari hadapanku.

Penulis: E. Widiantoro

Artikel Lain: Tentang Dia dan Paramita (bag 9)

Selengkapnya