Di Bawah Jejeran Pohon Tanjung

November 03, 2023
Last Updated

[Foto: Ilustrasi/Int]

Azan subuh telah lewat satu setengah jam ketika kemarin aku dan Ifah berdiri di pertigaan Jalan Flores--Jalan Sutan Syahrir di depan Taman Akcaya Kota Pontianak. Aku dari Sungai Jawi, Ifah di ujung Kota Baru janjian bertemu hendak jalan bareng pagi-pagi. Rute yang kami pilih jalur Sutan Syahrir—Sultan Syarif Abdul Rahman pergi-pulang cukuplah, tak belok kanan kiri melewati jalur lain, tak jalan-jalan terlalu jauh. Sambil jalan, Ifah bicara lagi soal bapaknya dan bapakku sejak chatting dua hari kemarin.

“Bapakku mana mau punya menantu dan besan yang ndak qunut subuh seperti Mas Pram dan bapak,” Ifah merentangkan kedua tangan, menghirup udara segar. Jilbabnya hitam, kaos hitam lengan panjang dipadu celana training biru muda bergaris putih dan sepatu sneaker putih. Aku sendiri malah ber-jeans hitam, kaos oblong biru tua dan memakai sandal kulit cokelat muda. Tak lupa kusandang tas kulit hitam kecil.

“Bapakku juga ndak mau punya besan yang qunut subuh, yasinan dan tahlilan seperti bapakmu,” kataku di sisi kanan Ifah. Kami berjalan di bawah jejeran pohon Tanjung. 

“Jadi gimana, Mas. Aku ndak mau pernikahan kita bulan depan gagal hanya karena perbedaan pendapat begitu.” 

“Aku mau,” cetusku spontan.

“Mau apa...??! Mas Pram mau kita putus, kita gagal nikah?! Mas Pram serius?” cecar Ifah.

“Ya. Eh, ndak!”

Artikel Lain: Tentang Dia dan Paramita (bag-10)

“Ih, Mas Pram nihh...! Hati-hati kalo ngomong. Ucapan tuh doa lho.”

Kuhentikan langkah. Kutatap Ifah menyeka keringat di dahi dengan sapu tangan dari saku celana. “Kita harus cari jalan agar tetap bisa menikah.”

“Yaa gimana caranya?”

“Itu yang harus kita pikirkan, Sayang.”

“Kita lari aja.”

“Silakan. Tinggal lari apa susahnya dari pada jalan terus dari tadi.”

“Itu lari pagi, Mas Pram. Kita nikah lari!”

“Jangan! Nanti kita jadi ndak karuan. Aku ndak mau kita nikah malah capek dan keringetan. Mana keringetnya bau bawang lagi.”

“Hadeh, Mas Pram becanda mulu dah!” rungut Ifah meremas-remas sapu tangan cokelat tua bergaris-garis putih pertanda sedang menahan gusar. “Kita nih lagi ngomongin hal yang serius, Mas. Bapakku beda dengan bapak Mas Pram yang biasa aja salat subuh ndak qunut, ndak tahlilan, ndak yasinan, ndak wiridan, ndak doa bersama, ndak salawatan rame-rame. Kebayang kan Mas gimana kacaunya kalo nanti malam mereka ketemu, mungkin bisa berantem lagi, debat kusir kayak pertemuan seminggu lalu.”

Ifah melangkah lagi, aku menjejerinya di sisi kanan. Sampai di halte, Ifah menghentikan langkah, menoleh kiri-kiri kanan bersiap hendak menyeberang jalan. Diam-diam aku melangkah di jalur kecil cor semen kemiringan empat puluh lima derajat, naik di halte yang atapnya melengkung ditopang tiang-tiang besi tinggi warna biru tua, duduk di kursi halte sepanjang lima meter dari besi putih. Menyadari aku tak ada di sisinya Ifah membalik tubuh.

“Lho, Mas? Koq malah duduk di situ?”

“Kita di sini aja dulu,” kataku menepuk-nepuk kursi halte dengan telapak tangan kiri, memberi isyarat agar ia mau naik di halte tingginya kira-kira lima puluh centi meter dari tanah, duduk di sisiku. Ornamen halte di bagian bawah berupa corak insang warnanya telah memudar. “Jalan-jalan kita tunda sebentar.”

“Hhmm, berubah lagi dari rencana Mas Pram kemarin kita chatting nih,” Ifah cemberut, duduk di sisiku. “Soal bapak-bapak kita, Ifah. Aku ndak mengkhawatirkan apapun. Beliau berdua tuh orang-orang yang bijak, menghargai perbedaan dalam masalah furu’iyah atau cabang agama dan saling berlomba dalam kebaikan. Mereka sangat menyadari pentingnya ukhuwah lho, Fah. Apa lagi jika kelak mereka berbesan, sama-sama jadi mertua karena adanya peristiwa pernikahan kita.”

“Mas Pram yakin bapak-bapak kita bisa begitu?”

“Insya Allah, kita ber-khusnudzon aja.”

“Aku koq ndak yakin ya, Mas? Pertemuan kemarin aja gitu, mereka berantem gara-gara dalil qunut dalam salat. Hilang dah agenda hendak bicara persiapan pernikahan kita.” 

Ifah mengingat peristiwa seminggu yang lalu. Bapakku dan bapak Ifah ketika itu sangat akrab berbincang di ruang tamu rumah Ifah. Mereka bertemu untuk membicarakan detil rencana prosesi akad pernikahan kami. Entah dari mana mulanya, perbincangan bapakku dan bapak Ifah setelah Isya lantas memanas. Suara keduanya terdengar keras tak ada yang mau mengalah. Aku dan Ifah sontak heran saling pandang kenapa mereka begitu. Bertengkar mulut. Debat kusir. Ternyata, hhmmm, aku geleng-geleng kepala. Mereka adu argumen tentang qunut dan tidak qunut. Ya, Allah! Aku buru-buru berdiri menyalami bapak Ifah dan memohon maaf lantas menggamit tangan bapak mengajak pulang ke rumah. Kuhela napas menatap Ifah yang mengenakan jilbab hitam polos, usianya tahun ini dua puluh tiga 

“Ifah, nanti kusampaikan pada bapak kisah yang patut kita teladani dalam menjaga ukhuwah yang terjadi antara KH. Idham Cholid dan Buya Hamka ketika keduanya dalam perjalanan ke tanah suci dengan menumpang sebuah kapal laut. Sewaktu melakukan salat subuh berjemaah, orang-orang heran KH. Idham Cholid yang biasa menggunakan doa qunut dalam kesehariannya malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya Hamka menjadi makmum. Sebaliknya, Buya Hamka yang tak memakai doa qunut jadi imam salat subuh justeru membaca doa qunut karena makmumnya KH. Idham Cholid. Ternyata mereka saling menghormati dalam perbedaan, tidak memaksakan kehendak bahwa amalan mereka masing-masing yang paling benar. Mereka berpelukan mesra setelah salat dan saling berkasih sayang.”

“Masya Allah! Mereka orang-orang arif yang luar biasa ya, Mas. Sungguh layak jadi anutan kita,” ujar Ifah turut kagum dengan akhlak mulia dua tokoh besar bangsa Indonesia itu.

“Mereka para ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam masih bisa bersama dalam perbedaan, apa lagi kita, bapakku dan bapakmu yang masih fakir ilmu,” kataku. Ifah mengangguk. Aku mengambil ponsel yang tiba-tiba berdering dari dalam tas kecil. 

Artikel Lain: Salah Menaruh Perasaan

“Assalamualaikum, Pak.” Aku menyambut telepon dari bapak. 

“Waalaikum salam. Pram, nanti malam bapak bisa ketemu bapaknya Ifah mau bicara soal rencana pernikahan kalian bulan depan. Kalo sampe waktunya salat Isya berjemaah di surau dekat rumah Ifah bapak mesti ikut wiridan.” suara bapak di ponsel jelas kudengar.

“Lho, kenapa harus gitu, Pak? Bukannya selama ini bapak ndak mau wiridan bareng setelah salat?”

“Ndak apa-apa. Bapak menghormati bapaknya Ifah yang biasa wiridan bareng bada salat. Bapak ikut aja. Ya sudah, gitu aja ya, Pram.” suara bapak menutup pembicaraan.

“Alhamdulillah,” ucapku girang menatap Az-Zahra Latifah yang biasa kupanggil Ifah.

“Nanti malam bapakku ke rumahmu hendak mematangkan rencana pernikahan kita. Salat Isya berjemaah di surau, bapak mau wiridan bareng.”

“Benar begitu, Mas?” Ifah sumringah. Kedua matanya berbinar cerah. Aku mengangguk. 

“Alhamdulillah!” ucapnya menyapukan kedua telapak tangan di wajah.

“Ayo kita jalan lagi,” ajakku berdiri. Ifah menurut, bangkit dari duduk. Kami lantas melangkah turun dari halte ke pinggiran Jalan Sutan Syahrir, jalur pembatasnya kanstin beton warna hitam putih. Aku dan Ifah jalan-jalan di bawah jejeran Pohon Tanjung. (*)

Oleh: E. Widiantoro

Sumber: Pontianak Post

Selengkapnya