Keranda Amal

November 22, 2023
Last Updated


Ketika sinar matahari tepat di atas atap warung, satu pembeli tiba-tiba datang. Dia bilang minta dibuatkan kopi. Bapak memerhatikan pakaian yang dikenakannya. Memakai jaket tukang ojek daring. Dilihat dari wajahnya, usianya sepantar bapaknya. 

Hanya saja, kerut di dahi dan peluh di bawah mata menandakan hari ini ia terlihat begitu lelah. Panas dan terik di luar bisa saja telah menghabiskan tenaganya hari ini. 

“Pak, mohon maaf ya. Kopi hari ini bayar besok sama yang kemarin. Hari ini saya belum dapat penumpang.”

Raut wajah bapak terlihat mengerut. Tetapi bapak memaksakan tersenyum membalas ucapannya. Berkata “iya” dalam kepura-puraan. Lalu bersungut ke belakang setelah pembeli itu pergi. Bilang mau sampai kapan terus begini.

Sekali lagi ia pura-pura tak mendengar kekesalan bapaknya. Dalam diam, ia merapikan dan mengelap meja di depan etalase kaca yang di dalamnya banyak tersedia makanan dan sayuran siap santap. 

Sayur sop, tumis, mi, lauk telur balado, tempe tepung, tahu bacem, ikan, dan daging rendang. Di sebelahnya magic-com ukuran lima liter beras. Dua kaleng kerupuk besar terpajang di dinding sebelah pintu.

Seekor lalat membuatnya kesal lalu berusaha menaboknya dengan kain lap. Ia ingat jika buku sekolah bulan ini belum dibayar. Ia sejenak terdiam ketika melihat seekor semut mencoba mencicipi cipratan manis kopi. 

Dulu ibunya pernah bilang jika rezeki setiap makhluk telah ditetapkan oleh pencipta semesta. Jadi tak perlu takut. Bahkan semut-semut pun sudah pasti akan terus mendapat makanan jika ia tak pernah putus asa dalam mencari rezeki.

Belakangan ia kembali mengingat-ngingat di pasar tadi. Seorang bocah peminta-minta dengan kaus cokelat kedodoran nan lusuh mendekat ke tubunya, tepat di samping bapaknya ketika sedang belanja sayur dan perlengkapan lauk untuk usaha warung makannya. Namun, ia menggeleng. 

Ia tak punya uang receh. Bocah peminta itu balik badan. Ia baru sadar bocah itu hanya punya kaki. Kedua tangannya tanpa telapak tangan yang utuh. Yang tampak hanya lengan sampai siku. Hatinya pilu melihatnya.

Terus diingatnya bocah tadi pagi yang merintih lirih, “aku lapar”. Ia memang sudah tak punya ibu. Namun, ia masih punya bapak yang setia merawatnya. Mendadak, ia punya pikiran berencana memberikan makanan untuk diberikan kepada mereka-mereka yang membutuhkan di pasar. 

Ia bisa memberikannya ke tukang ojek daring yang belum mendapat penumpang, pedagang balon dan mainan yang belum laku-laku, atau pengemis jalanan di perempatan. 

Siapa saja yang terlihat kesusahan akan ia beri. Awalnya bapaknya tak setuju. Sudah warungnya banyak yang utang, malah diberikan ke orang.

“Dulu ibu pernah bilang padaku kalau beramal itu tak perlu menunggu kita kaya. Keburu mati malah tak pernah jadi beramal. Lagi pula aku sudah menyiapkan nomor telepon di kotak kardus makanan itu nanti. Sekalian promosi warung kita ini. Sepuluh bungkus saja setiap hari Minggu. Itu pun jika Bapak setuju.”

“Modal utama bapak tinggal sedikit. Motor sudah dijual. Tinggal sepeda butut.Kasihan juga kalau kamu mengantar makanan-makanan itu dengan sepeda. Kamu tidak sedang bercanda bukan?”

“Tidak Pak. Aku juga tahu kesusahan mereka. Tetapi mereka juga saudara-saudara kita. Nantinya, di dalam warung makan kita, aku akan membuatkan kotak amal berbentuk keranda, akan aku tulis jika uang itu akan kembali ke masyarakat kurang mampu lewat nasi bungkus buatan kita. Setiap pembeli di sini akan tahu, beramal tak harus menunggu di saat kita senang saja. Kata ibu dulu, Tuhan lebih senang jika kita mau beramal di saat kesusahan. Itu lebih banyak pahalanya. Bukankah amal akan kita bawa mati juga.”

“Bapak sebenarnya masih ragu dengan rencanamu. Namun, apa salahnya kita coba. Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu kotak amal bentuk keranda? Memang ada?”

“Ada Pak. Temanku sering membuatnya. Awalnya iseng, tetapi setelah kulihat malah menarik. Akhirnya aku belajar membuatnya sendiri dari bambu. Bentuknya lucu, tetapi tetap bisa mengingatkan akan kematian. Begitu.”

Maka esoknya ia memutuskan menjalankan semua rencana setelah kotak amal bentuk keranda buatannya sendiri telah jadi. Lalu membagi-bagi nasi bungkus untuk dibagikan kepada orang-orang yang ia temui. 

Ia tulis nomor telepon bapaknya di atas kotak karton makanan. Ia pasang kotak amal berbentuk keranda dari kayu buatannya sendiri di sepeda. Ia tulis di kotak amal itu, “hanya amal dan kebaikan yang akan kita bawa mati.”

“Tenang Pak. Uang di dalam kotak keranda ini tak akan tercampur dengan uang kita. Nanti aku yang akan memisahkan. Membelikannya lagi bahan-bahan makanan untuk dibagikan ke mereka lagi yang membutuhkan. Semoga kebaikan yang kita tanam akan berbuah kebaikan pula.”

“Amin.” 

***

Siang hari, seseorang datang ke warungnya setelah gegap gempita perayaaan Imlek pagi hari tadi. Kami sudah paham siapa dia. Pria paruh baya mata sipit dengan nyala mata tipis segaris. Sejak membaur dengan warga kota ini, ia jadi tahu budaya kami. Pun sebaliknya. 

Kami juga sering merayakan pesta malam Imlek dengan nyala kembang api, seperti anak-anaknya yang juga ikut arak-arakan obor saat malam lebaran tiba. Dengan beliau, kami sudah seperti saudara. 

“Pak, Salim? Silakan masuk.”

Bapak menyilakan orang Tionghoa yang sering mampir di warung kami itu ke rumahku. Lalu percakapan-percakapan hangat mengambang di depan kotak kaca di dalam warung makan kami. Dua gelas kopi tersaji kemudian.

“Begini Pak, kemarin aku lihat anak Bapak ngasih makanan ke pengemis dan pengamen jalanan yang kebetulan lewat di depan toko kelontomg kami. Kalau boleh tahu, kotak amal bentuk keranda itu buatan anak Bapak? Bagus. Unik. Kalau bisa saya pesan, saya ingin pesan seribu buah. Mau saya kirim ke masjid-masjid dan musala.”

“Duh, bagaimana ya.”

“Kalau bapak keberatan, sebagai pertimbangan awal, ini untuk uang muka. Juga untuk beli bambunya. Jangan ditolak. Seperti belum kenal saja. Lebihnya anggap saja angpau Imlek. Hahaha.”

Bapak sangat kaget dan bingung mau menjawab apa ketika menerima amplop besar warna merah bergambar naga emas. Tebal. Sudah pasti terbayang nilainya. Nominal nilai utang di kepala bapak kepada rentenir seolah memudar. 

Ia tersenyum. Mendadak sudut matanya menggenang. Dalam diam, bapak menggeser duduk ke sebelah, memeluk tubuh anaknya. Betapa benar perkataan istrinya dulu. Menanam kebaikan dengan keikhlasan akan bertunas kebaikan pula.

“Eh, ada kue juga dari saya. Nian Gao. Kalau orang sini bilang kue keranjang. Dua yang besar ini buat bapak dan anak bapak. Kalau lebaran, anak-anak saya juga sering ke sini makan semur ayam gratis. Anggap ini timbal balik dari saya.”

Sekali lagi bapak tak bisa berucap apa-apa. Merasakan jika Tuhan selalu menyayangi orang yang berbagi pada sesama. Entah esok, entah lusa, entah kapan, Tuhan seperti ingin segera membalasnya.(*)

Penulis: Dody Widianto 

Sumber: Pontianak Post

Selengkapnya