Maryam menatap gerbang pelabuhan Pontianak. Selangkah lagi, kapal raksasa itu akan membawanya berlayar ke pulau Jawa. Bersama suaminya. Malang, adalah sebuah kota paling dingin di Jawa Timur yang akan menjadi tujuannya untuk berlibur. Tidak akan lama, rencananya hanya sepekan di sana.
Sambil menenteng barang bawaan, ia masuk ke dalam pelabuhan. Lalu duduk di samping suaminya sambil mendekap tas hitam sebesar bantal orang dewasa. Beberapa menit kemudian petugas pelabuhan memberikan informasi melalui pengeras suara, mempersilahkan penumpang untuk bersiap-siap masuk menuju kapal Bukit Raya.
Beberapa portir berbaju oren silih berganti menawarkan jasa angkut barang. Namun tak satu pun dari mereka yang berhasil merayu Maryam dan Seno. Lantas ia menuju posisi kapal yang sedang bersandar di dermaga. Ia ingin secepatnya masuk ke dalam perut kapal itu. Terik matahari dan letih menggendong tas, membuatnya ingin cepat-cepat masuk ke kamar dalam kapal besi itu lalu merebahkan tubuhnya dengan tenang. Sebuah perjalanan cukup panjang yang akan dilaluinya bersama sampan raksasa selama dua hari dua malam ke depan.
Pikirannya kosong, dan ingin segera sampai ke kota tujuan. Baginya, Malang adalah kota kenangan, sebab ia lahir dan besar di sana sebelum suaminya memboyong dirinya ke Pontianak tepat satu minggu setelah dirinya diperhalal Seno.
***
Suaminya tipikal lelaki yang irit bicara. Seperlunya. Tidak romantis dan tidak terlalu perhatian. Barangkali karena umurnya yang lebih tua sepuluh tahun itu membuat dirinya belum mampu memahami Maryam secara utuh. Tak ubahnya sikap mereka seperti seorang bapak dan anak. Namun, soal tanggung jawab dan kewajiban, Seno, tetap sebagai suami idaman.
Bukan tanpa alasan kenapa Maryam menggunakan moda air dari pada udara, selain karena barang bawaan banyak, tentu ia ingin mengulang masa-masa indah saat usia pernikahannya masih seumur kecambah. Maryam berusaha menghidup-hidupkan lagi rasa cinta kepada Seno yang mulai layu di tanah rantau. Mencari dalih yang kuat sehingga dirinya dapat betah tinggal di Kalimantan.
Meninggalkan Pontianak adalah keputusan yang amat berat baginya. Melihat suami semampainya itu adalah orang yang paling sabar dan tak pernah menuntut apa-apa darinya. Membuat dirinya khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan terhadap pria berkulit putih itu.
Sebenarnya, Maryam ingin liburan di awal tahun ini bukanlah karena ada kesempatan sebab suaminya cuti dari kantor. Namun, niat Maryam berlibur ke Malang tidak untuk satu minggu saja. Melainkan selamanya. Ya, ia ingin hidup selamanya di kota pendidikan itu. Ia tak pernah menceritakan kepada siapa pun kecuali pada hatinya sendiri.
Maryam berencana akan tinggal dan menetap di Malang tempat tanah lahirnya. Di rumah orang tuanya. Tanpa sepengetahuan suaminya. Yang jelas, ketika ia sampai di bumi Arema itu, ia tak akan kembali lagi ke kota seribu parit. Meski Seno memaksanya.
Keinginan kembali pulang ke Malang telah ia pendam selama lima tahun lamanya. Maryam merasa tidak betah hidup di Kalimantan. Selain panas, ia merasa sendirian dan tak memiliki teman atau pun keluarga kecuali Seno semata.
Maryam tidak menceritakan apa pun soal niatnya itu. Boleh jadi, jika Maryam menceritakan rencananya itu, pastilah Seno akan menolaknya mentah-mentah.
Maryam tahu, bahwa Seno tak akan lagi adu dadu soal nasibnya jika hidup di Jawa. Betapa sulitnya di sana mencari pekerjaan. Meski ia lulusan S-2, mempertahankan tesis di depan tiga penguji jauh lebih mudah dari pada mempertahankan fotocopi ijazahnya agar laku di mata orang lain.
Sementara itu Seno sudah nyaman dan memiliki pekerjaan layak dan tetap di Pontianak. Setidaknya cukup baginya untuk menafkahi Maryam dan keluarganya.
***
Dua hari satu setengah malam kapal itu bertolak dari Pontianak menuju Tanjung Perak, Surabaya. Kini kapal raksasa itu terlihat kecil sekali di tengah-tengah laut. Bak agas yang sedang menempel di punggung manusia. Kecil sekali.
Para penumpang tidur di atas kasur masing-masing. Maryam termenung menatap kosong langit-langit dek kapal. Sementara suaminya tidur menganga di sampingnya dari dua jam yang lalu. Tidak ada suara manusia. Hanya bunyi ombak yang menerjang pipi-pipi kapal. Goncangan ringan sangat terasa hingga membuat pusing dan mabuk. Tidak heran sebagian penumpang silih berganti memuntahkan isi perutnya.
Bagi penumpang yang biasa naik kapal laut, mereka sudah menganggap biasa soal keadaan di dalam kapal. Asal tidak ada angin dan gelombang yang besarnya melebihi kapal, semuanya akan baik-baik saja.
Televisi di pojok dek kamar tetap menyala. Seolah menyaksikan orang-orang yang sedang lelap. Sementara layarnya menayangkan orang-orang Jakarta dalam sebuah persidangan soal tragedi pembunuhan. Sepertinya orang-orang tidak ada yang minat menonton. Bosan. Ya, memang tidak menarik untuk ditonton.
Perasaan Maryam bercampur aduk. Antara senang dan sedih. Senang karena akan tinggal di Malang, sedih karena meninggalkan Pontianak. Ada kebimbangan dalam dirinya. Tinggal di rumah masa kecilnya atau kembali ke Kalimantan dengan suaminya. Perasaan itu mulai mengganggunya sejak pertama kakinya menginjak tangga kapal. Amat sulit. Pilihan yang berat dan tidak mudah baginya.
Agar tidak larut dalam perdebatan batin. ia coba selesaikan dengan menyeduh secangkir kopi di cafe yang berada di atas dek kamarnya di bagian belakang. Warna laut segelap warna kopi. Hanya ada lampu-lampu kecil di setiap sudut yang amat jauh. Lampu perahu nelayan. Sementara suaminya masih memeluk bantal. Ia duduk tepat di hadapan secangkir kopi yang ia pesan beberapa menit yang lalu. Sendirian. Tidak ada pengunjung lain. Hanya dirinya dan pegawai cafe yang mulai mengantuk. Serta suara musik yang lantunkan lagi Di Sini di Batas Kota Ini.
Angin mendesir. Di kursi yang memanjang terbayang betapa hangatnya pelukan suaminya saat lima tahun lalu. Maryam sangat merindukan pelukan itu dan ingin mengulanginya. Namun masa lalu hanya dapat dikenang tidak dapat diwujudkan kembali.
Lantas ia ingat dengan pesan almarhum ibunya. Bahwa ketika cintamu mulai redup, maka nyalakanlah dengan cara mengulang atau mengingat-ingat ketika kamu pertama kali jatuh cinta pada suamimu. Kalimat itu selalu jadi cara bagaimana ia bisa bertahan hingga saat ini.
***
Pukul sebelas malam. Maryam kembali tidur di samping suaminya. Wajah Seno begitu lelah. Pejaman matanya penuh pasrah. Polos.
Belum sempat menutup kelopak mata, telinga Maryam tiba-tiba mendengar kalimat lirih yang sangat menyentuh perasaannya.
"Jangan tinggalkan aku, Bunda. Aku tak sanggup ziarah ke makam anak kita sendirian."
Perlahan Maryam mengarahkan kepalanya ke sumber suara itu. Ya. Suara dari Seno kepada Bunda, sapaan cinta dari seorang suami kepada istrinya.
Lantas Maryam meneteskan air mata. Betapa sakitnya ia dan suaminya kehilangan anaknya empat tahun lalu. Adalah anak satu-satunya. Kalimat itu menusuk dalam jantungnya yang amat dalam. Rasa kasih sayang kepada seorang anak lantas membuyarkan segala isi kepalanya. Hatinya seolah tidak ingin memluk dan mencium pipi anaknya itu.
"Bagaimana aku mampu memeluk rasa kehilangan ini sendirian. Tanpa sosok perempuan yang hebat sepertimu?" kata Seno sambil memejamkan mata.
"Doa siapa lagi dari atas pusara selain doa bundanya yang ditunggu-tunggu bagi seorang anak?" Seno lantas meraih kedua tangan Maryam dan menggenggamnya erat.
Maryam terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya meronta antara Malang, Pontianak, dan anaknya. Air matanya deras mengalir. Malam begitu dingin dan kapal Pelni itu telah membawanya jauh menyeberangi lautan. Dalam banyak pertimbangan ia harus memilih dengan mata terpejam.[]
Oleh: Sutriyadi
Sumber: Pontianak Post