[Foto: Dok. Pribadi] |
DENGGOL melewatkan masa kecil di Tanjung Beringin atau Beringin, sebuah kampung tua di daerah pedukuhan (kampung kecil), yang terdiri atas enam hingga tujuh rumah. Serengkah dalam bahasa setempat juga disebut Serongkah. Kampung itu terletak di wilayah bagian timur Kecamatan Tumbang Titi. Sebagian orang Beringin bermukim di tepi Sungai Pesaguan, sebuah anak sungai yang masih terisolir di pedalaman Ketapang.
Denggol merupakan anak tunggal buah perkawinan dari laki-laki bernama Bajir dan perempuan bernama Satar. Denggol lahir di Serengkah pada tahun 1916. Dia memiliki dua saudara tiri dari bapak yang sama dan ibu yang berbeda, yakni Bantang bin Bajir dan Banding bin Bajir
Dalam silsilah keluarga di Laman Serengkah, Denggol dan kedua saudara tirinya merupakan keturunan langsung dari Domong (pemimpin) Serengkah yang bergelar Upui Ukat Kebodah. Riwayat ini bisa dilihat dari silsilah kedomongan. Domong Punduhan (pemimpin) hanya bisa digantikan oleh keturunan langsung domong tersebut.
Adapun silsilahnya bisa dijelaskan sebagai berikut: Domong Serengkah Ukat Kebodah mempunyai banyak anak di antaranya bernama Unyai yang kawin dengan Petinggi Serawak Tuho. Dalam cerita masyarakat Pesaguan ada yang menceritakan, Petinggi Serawak Tuho berasal dari utara. Ada juga yang mengatakan berasal dari Matoari Hidup dari Arut, Kalimantan Tengah. Petinggi Serwak Tuho mempunyai gelar Urang Panungkung Pangapala, Pangorat Manjajalan (Orang Pengayau dan dan banyak ilmu). Konon, bila ia berjalan bersama isterinya, isterinya tidak boleh berjalan di depannya. Bila di depannya, ia akan menginginkan kepala isterinya.
Dari perkawinannya dengan Unyai, Petinggi Serawak Tuho mempunyai anak di antaranya Monang, Nyarak, dan Bontor. Monang kawin dengan anak tunggal Patih Juru yang menjadi domong di Jelayan dengan gelar Kenduruhan. Nyarak tinggal di daerah Gerunggang dengan gelar patih. Bontor menggantikan Ukat Kebodah menjadi domong di Serongkah dengan gelar Temonggong. Temonggong Bontor yang menjadi Domong Serongkah pada waktu itu. Petinggi Serawak Tuho tidak menjadi domong. Jadi Temonggong Bontor bukan menggantikan Petinggi Serawak Tuho, tetapi menggantikan Ukat Kebodah, kakeknya. Jika Temonggong Bontor menjadi domong di Serongkah, maka Patih Nyarak menjadi domong di Gerunggang. (Al. Yan Sukanda & Rajiin “Kanjan Serayong” hal.7).
Temonggong Bontor digantikan oleh anak Lombit yang bergelar Patih Naliyuda. Selanjutnya Patih Naliyuda digantikan anaknya yang bergelar Kenduruhan Torahan. Kemudian digantikan oleh Durmala Lalau. Durmala Lalau mempunyai tiga orang anak, yakni Sigan, Mangkasar, dan Gegulak. Dari ketiga anaknya, Mangkasar yang menjadi punduhan Serengkah menggantikan ayah mereka. Kemudian diteruskan Urang Kayo Mahawar. Kemudian Urang Kayo Meriyal (Gemalo Moerial), bergelar Durmala yang memerintah sampai akhir abad ke-19. Orang Serengkah yang pertama memeluk agama Katolik dengan nama baptis Josef Gumalo Moerial.
Perang Tumbang Titi
Denggol menjadi saksi sejarah ketika terjadi perang Tumbang Titi. Ibunya, Satar ketika itu sedang mengandung diantar oleh ayahnya, Bajir untuk mengungsi dan tinggal di pondok ladang, di Beringin. Denggol dilahirkan di pondok ladang. Ketika berusia empat atau lima tahun, ibunya bercerita bahwa ayahnya ikut berperang melawan Belanda dan berjanji akan pulang setelah perang. Ayahnya juga berpesan, jika perang selesai dan tidak kembali pulang, tidak perlu dicari, berarti sudah gugur.
Setelah beberapa tahun, ayahnya tidak pernah kembali. Keluarga sudah menganggapnya gugur. Saat itu, kesehatan ibunya semakin menurun dan meninggal dunia. Denggol kemudian dirawat oleh Sali, saudara dari ibunya. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar ia dipertemukan dengan sang ayah. Sampai perang berakhir, ia tidak pernah berjumpa dengan ayahnya. Saudara ibunya yang menjadi orangtua angkat, yang merawatnya sejak kecil, kelak diingatnya sebagai orangtua kandung.
Pada 1914, Perang Tumbang Titi terjadi ketika Kerajaan Matan harus menerima dan menandatangani Korte Verklaring (plakat pendek), yang isinya memaksa rakyat membayar blasting (pajak) kepada Belanda. Seperti dikutip dalam buku Sejarah Kalimantan Barat.Hal ini membuat rakyat gelisah. Tindakan kerajaan begitu ceroboh tanpa berunding terlebih dahulu sebelum menandatangani plakat tersebut.
Beberapa tokoh Tumbang Titi dari Matan Hulu kesal. Mereka mulai berunding. Mereka bersatu mengatur siasat untuk berontak terhadap penjajah yang tak tahu malu dan tak berperikemanusiaan memeras bagaikan minta utang yang telah lama tak terbayarkan.
Rakyat yang tertindas harus
dibela. Maka dibentuklah pasukan-pasukan tempur, pasukan penghadang, dan pasukan bertahan.
(Sejarah Hukum Adat dan Adat
istiadat Kalimantan Barat hal 97).
Pada 22 Mei 1914, pecah perang Tumbang Titi. Pasukan Belanda yang terkenal dengan sebutan kompeni dipimpin oleh Kapten Frederik Hendrix Alexander Brans dikerahkan untuk menyerang. Terjadi pertempuran di Natai Bedug, suatu tempat padang lalang yang dipimpin oleh Tentemak. Dari kedua belah pihak banyak jatuh korban termasuk pemimpin kedua pasukan, baik Tumbang Titi maupun Belanda meninggal dunia dalam pertempuran tersebut. Setelah pertempuran reda, pemimpin dicari anak buahnya, tapi tak ditemukan jenazahnya. Hingga kini tak dijumpai seorangpun. Sedangkan makam Kapten Brans rapi berhias rantai kelilingnya dengan tulisan nama lengkap disudut jalan di Kota Ketapang berseberangan dengan lapangan olahraga Rahadi Oesman.
Sejak perang itu, Bajir (ayah Denggol) tidak pernah kembali. Karena pengikut perang tersebut tetap dikejar oleh Belanda. Banyak rakyat yang mati termasuk, para keturunan domong di Serengkah sebagai akibat perang tersebut. Oleh karena itu, banyak anak–anak di daerah Serengkah yang tidak mempunyai ayah.
Dalam pelariannya, Bajir selalu berpindah tempat ke daerah Semapau di Kecamatan Laur sekarang. Kemudian ke daerah Lamandau di Kalimantan Tengah, kemudian berpindah lagi ke daerah Batutajam. Karena pada waktu itu keadaan alam masih berupa rimba belantara dan tidak mungkin pulang, dalam perjalanan waktu Bajir, lolos dari penangkapan Belanda.
Penulis: Paulus Lukas Denggol
Editor: Budi Atemba